Sorry, we couldn't find any article matching ''
6 Jenis Premarital Syndrome
“Sudah tepatkah pilihanku?” Itulah salah satu premarital syndrome yang paling umum. Kenali jenis-jenisnya agar tidak membuat rencana pernikahan berantakan.
Di masa pandemi, tidak menjadi penghalang bagi mereka yang sudah memantapkan hati untuk mengikatkan diri mengucapkan janji suci. Selain beberapa teman, ada pula para keponakan (kelahiran 2000-an) yang menyebar undangan resepsi.
Di antara ungkapan kebahagiaan, ada juga terselip keragu-raguan. Kegalauan menjelang pernikahan -atau dalam psikologi dikenal sebagai premarital syndrome atau premarital anxiety- adalah sesuatu yang wajar dan banyak dialami pasangan. Menurut CEO dari Anxiety Disorders Association of America, Jerilyn Ross, kecemasan dalam dosis yang wajar adalah normal dan sehat. "Kecemasan membantu kita keluar dari bahaya. Cemas membantu kita mempersiapkan diri, fokus dalam melakukan sesuatu, dan berusaha lebih keras. Cemas memaksa kita untuk mengambil tindakan yang diperlukan," tutur Jerilyn, sebagaimana dikutip dari webmd.com.
BACA JUGA: JANGAN MENIKAH KARENA 5 ALASAN SALAH BERIKUT INI
Jika diidentifikasi, beberapa jenis premarital syndrome bentuknya antara lain:
Diakah Orang yang Tepat?
Secara budaya, sudah tertanam kuat bahwa setelah besar nanti kita akan jatuh cinta dan menikah dengan ‘pangeran’ yang menyelamatkan kita dari ketidakbahagiaan dan kita akan hidup bahagia selamanya. Kecemasan muncul dari bayangan tentang pernikahan yang ideal tersebut. Muncul tuntutan dan pertanyaan, “Sudah tepatkah pilihanku?”, “Bisa nggak ya dia bikin saya happy?” atau sebaliknya, “Saya bikin dia happy?” Alih-alih memulai pernikahan dengan bayangan yang indah tentang romantisisme setelah menikah, ada baiknya mengawali dari kemungkinan terburuk. Bayangkan, bagaimana jika pasangan Anda mengalami titik terburuk, (misal, amit-amit, bangkrut, sakit parah atau apa pun), siapkah Anda mendampinginya? Dan sebaliknya, siapkah pasangan mendampingi Anda di situasi terburuk?
Mendadak Naksir yang Lain
Sudah dekat-dekat hari-H, masih suka lihat yang ganteng-ganteng? Tenang, yang sudah menikah lama pun suka kok memandang wajah tampan. Keindahan ciptaan itu memang untuk dikagumi, bukan? Yang jadi masalah kalau Anda bermain api, apalagi ketika si tampan yang membuat Anda bertekuk lutut dan siap meninggalkan calon suami itu lantas malah mendekati Anda. Nah, lho! Masalah menjadi rumit karena si tampan ternyata pria beristri. Jalani hidup yang simple-simpel saja, deh!
BACA JUGA: 10 ALASAN KENAPA PERSELINGKUHAN SUSAH DIAKHIRI
Jadi Lebih Sering Berantem
Kalau waktu masih pacaran jarang berantem, mendekati menikah malah berantem, itu satu pertanda yang bagus. Anda diuji bagaimana menghadapi perbedaan, sebab pernikahan bukanlah menyatukan isi kepala, tapi bagaimana dua kepala yang berbeda bisa tetap harmonis berjalan beriringan. Pertengkaran adalah hal yang tak bisa dielakkan. Anda dan dia sama-sama dalam tekanan yang tinggi: persiapan pesta, urusan keribetan keluarga besar, menyiapkan finansial, dan sebagainya, wajar jika ketegangan itu akan terbawa dalam setiap percakapan Anda berdua. Manfaatkan momen ini untuk melihat bagaimana kalian membangun keterampilan resolusi konflik yang akan dibutuhkan setelah pernikahan nanti. Jangan takut untuk mengungkapkan pikiran dan menjadi diri sendiri, meski harus mengonfrontasi pasangan.
Takut Memutuskan Terlalu Cepat
Berapa waktu yang ideal untuk saling mengenal? Pacaran lama belum tentu menjamin keawetan sebuah hubungan dibandingkan dengan mereka yang menikah kilat. Ada baiknya membuka diri terhadap saran dari lingkar terdekat tentang calon Anda. Kadang, ‘bucin’ bisa dibutakan oleh perasaan yang subyektif sehingga tidak bisa melihat sinyal-sinyal merah dari pasangan. Anda membutuhkan orang dekat yang netral yang bisa Anda percayai penilaiannya. Tetapi, semua keputusan tetap di tangan Anda.
Takut Menghadapi Peran Baru
Hidup akan berubah, itu sudah pasti. Tetapi, berubah itu tidak selalu menakutkan. Setiap saat kita juga berubah, dari anak-anak, menjadi remaja, jadi anak kuliah, orang kantoran, dan seterusnya. Menikah itu hanyalah salah satu fase dari setiap perubahan yang kita alami. Bagaimana dengan peran baru nanti? Peran sebagai pasangan, peran sebagai calon orangtua, peran sebagai menantu, dan sebagainya, yang dibutuhkan dari peran-peran baru tersebut adalah kesediaan untuk terus mau belajar dan bertumbuh. Setiap hari kita haruslah menjadi orang yang bertumbuh menjadi diri kita yang lebih baik dari yang kemarin, apa pun peran kita.
Photo by Fernanda Nuso on Unsplash
Share Article
COMMENTS