Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sita Pujianto: Dari Berkebun di Balkon Hingga Mengompos Sampah
Dikenal menyulap balkon seluas 12 meter persegi menjadi kebun yang hingga kini menyuplai makanan sehari-hari untuknya dan keluarga, Sita Pujianto berbagi cerita.
Sekitar tiga bulan lalu, saya mengikuti kulwap (kuliah whatsapp) bertema Berdaya dari Kebun yang diadakan oleh Menimba Ilmu, dengan Sita Pujianto sebagai nara sumbernya. Saya, yang memang suka banget dengan tanam-menanam sejak kecil, dan mulai mencoba menanam serius sejak sekitar 10 tahun lalu (walau on-off), mencoba mencuri ilmu dari seorang Sita Pujianto tentang seluk-beluk berkebun sayuran. Ilmu yang dibagikan Sita nggak lain adalah hasil dari pengalamannya sendiri berkebun dari rumah, tepatnya dari atas balkon, berukuran 12 meter persegi. Kebun ini kemudian dijadikannya kulkas hidup. Sita mendobrak paradigma berkebun harus punya lahan luas dan rumit dilakukan. Dari berkebun, kemudian menjalar ke pola hidup less waste. Gaya hidupnya kini sudah banyak menginspirasi orang lain, termasuk saya.
Boleh diceritakan apa kesibukan Sita Pujianto sehari-hari?
Saya mengajar di universitas, selebihnya ibu rumah tangga, menjalankan hobi saya yaitu berkebun dan memberikan edukasi atau sharing.
Sejak kapan seorang Sita Pujianto mulai berdaya dari kebun sendiri?
Sejak 2013. Diawali dengan adanya kebutuhan sayur organik karena sedang merubah pola makan. Saat itu saya merasa sayuran organik ini kok mahal banget ya, dan harus didapat di supermarket. Nggak seperti sekarang, demandnya sudah semakin tinggi sehingga sudah cukup banyak yang jual dan harganya lebih terjangkau. Saat itu saya merasa, semestinya sehat nggak harus mahal, ya? Jadi kebutuhan itu yang memicu saya untuk menanam sayuran sendiri.
Kalau dalam hal less waste, bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari?
Sebetulnya menerapkan less waste belum terlalu lama. Saya baru mulai mengkompos sejak sekitar tiga tahun lalu. Saya memilah sampah di rumah: ada yang dijadikan kompos, pembersih atau makanan baru. Lama-kelamaan itu membentuk kebiasaan sebisa mungkin tidak terlalu sering membuang sampah, meskipun itu bisa dibuang ke komposter. Sebab, ternyata komposter itu juga cepat penuh. Sampah dari kupas-kupasan (sayur, buah) aja udah banyak banget. Sementara, proses dekomposisi membutuhkan waktu yang agak panjang. Jadi, dengan adanya komposter bukan berarti bisa “gampang” membuang sampah organik begitu aja. Dari situlah muncul kreativitas untuk mengolah sampah. Kemudian, saya juga jadi belajar untuk makan secukupnya, panen dari kebun secukupnya. Bagaimana caranya agar kebutuhan makan selama 30 hari, tercukupi dari kebun, ambil secukupnya, tidak perlu disimpan di kulkas, karena kulkas yang sesungguhnya itu adalah kebun.
Jadi ini sebetulnya bukan hanya soal mampu mengolah sampahnya saja, tetapi bagaimana caranya agar sampah itu (meskipun organik), tidak terlalu banyak, karena mostly manfaatnya sudah terserap ke dalam tubuh. Bisa dibilang cikal bakalnya itu yang menggerakkan saya untuk memulai pola hidup less waste.
Tadi disebutkan bahwa sampah bisa dibuat untuk menjadi makanan baru, contohnya seperti apa?
Misalnya, jika kita biasa menggunakan cuka apel untuk salad atau menyuci sayuran, kenapa kita nggak bikin sendiri? Beli juga harganya kan lumayan mahal, ya? Maka saya membuat sendiri dari bonggol dan kulit nanas yang sudah dicuci bersih dan usahakan yang organik atau bebas pestisida, nah, itu bisa dijadikan cuka nanas. Contoh lain bonggol semangka yang bewarna putih, itu bisa diolah menjadi tumisan, acar, kimchi. Kulit dan kepala udang bisa dibuat terasi dan kaldu bubuk. Sekarang saya udah nggak pernah beli terasi lagi.
Bagaimana cara membagi waktu antara kesibukan pekerjaan dan hobi berkebun serta menerapkan pola hidup less waste?
Buat saya kegiatan berkebun dan menerapkan less waste itu mengalir sejalan dengan adanya kebutuhan. Jadi saya nggak ngoyo banget. Pekerjaan utama tetap ada dan tentu prioritas. Tapi, saya juga orangnya nggak bisa diam. Ketika pekerjaan selesai, saya tengok ke jendela, melihat kebun sendiri, lalu timbul semangat sendiri untuk “ngurek-ngurek” tanah, lalu beresin ini beresin itu. Untuk less waste juga begitu. Saat belum sempat, simpan dulu bahan dari sisa-sisa bahan di kulkas. Pas lagi sambil masak, saya manfaatkan waktu menunggu masakan matang untuk mengolah sisa-sisa makanan tersebut. Intinya, kerjakan di saat senang dan senggang. Dengan begitu, semangat juga otomatis timbul.
Jadi intinya menerapkan pola hidup berdaya dari kebun dan less waste ini doable banget, ya?
Sangat! Mungkin terlihatnya ribet, tapi enggak, lho. Waktunya sangat bisa diatur, dan nggak perlu dipaksakan. Mengalir aja. Biasanya membayangkan ribet karena belum mencoba, atau niatnya kurang bulat sehingga terasa berat untuk memulai.
Bagaimana anak-anak melihat ibunya melakukan kegiatan atau pola hidup yang dijalankan?
Sejak kecil saya suka ajak anak-anak ikut ke pertemuan-pertemuan komunitas berkebun. Jadi anak-anak saya sudah hafal banget kegiatan ibunya. Namun seiring waktu mereka bertumbuh, mereka memiliki minat atau ketertarikan sendiri. Artinya, sekarang lebih memilih untuk ke kafe dari pada ikut ibunya ke pertemuan, hehehe.
Tapi bagi saya yang penting mereka melihat pola hidup yang saya terapkan. Saya percaya nantinya mereka bisa mengadopsi pola hidup yang saya lakukan ini entah 5 atau 10 tahun lagi, kita nggak tahu. Untuk pola hidup less waste, terutama anak saya yang sulung, sudah mengerti untuk memilah sampah. Misalnya, habis cuci beras, airnya dipisahkan, atau habis goreng telur cangkang dicuci dan diletakkan wadah khusus cangkang telur. Jadi, yang penting saya memberi contoh sekarang.
Apa kendala terberat dari gaya hidup yang dilakukan saat ini?
Soal kendala, pasti ada. Terutama sejak masa pandemi, dimana rutinitas yang sudah teratur sebelumnya jadi berubah cukup signifikan. Jadi jadwal berkebun pu menyesuaikan.
Kendala yang cukup pernah membuat saya merasa lalah yaitu, dalam hal menerapkan pola hidup seperti ini, ada kalanya orang jadi lebih menyorot kita, bahkan keluarga juga. Di saat ada anggota keluarga terkondisikan untuk menggunakan sesuatu yang menggunakan kemasan misalnya, orang jadi acap buru-buru menegur. Padahal, tidak tahu latar belakangnya apa, dan nggak mungkin saya ceritakan semuanya juga. Intinya, memang dari apa yang kita lakukan, belum tentu akan selalu dipandang baik.
Peran suami dalam hal mendukung kegiatan Sita Pujianto seperti apa?
Sangat mendukung. Dari awal saya ikut-ikut pertemuan juga suami yang antar. Malah, suami jadi tertarik dan terdorong untuk menerapkannya juga. Contoh sederhana, kalau belanja atau beli makanan dari luar, suami selalu bawa wadah sendiri, nggak malu bawa-bawa rantang.
Apa tips bagi para mommies yang baru ingin memulai pola hidup seperti yang Sita Pujianto jalankan?
Pertama, temukanlah teman-teman atau komunitas yang satu frekuensi dengan hobi berkebun juga agar bisa saling memotivasi. Kedua, lakukan dengan kondisi siap. Artinya, kalau belum siap, ya nggak apa-apa, jangan dipaksakan dan tunggu hingga siap. Karena, ketika kita sudah siap, akan lebih mudah untuk bergerak dan menggerakkan. Ketiga, ketika sudah memulai pola hidup berdaya dari kebun dan less waste nantinya, jangan sampai motivasinya berubah jadi niat untuk mengukir prestasi. Itu bahaya, karena jadi bisa membuat kita jadi sombong dan bahkan lebih mudah menghakimi gaya hidup orang lain.
Tiga hal yang paling disyukuri dalam hidup Sita Pujianto?
Suami saya. Saya bersyukur mempunyai suami seperti dia. Selalu mendukung apa yang saya lakukan, dan kami sudah seperti teman. Saya sangat nyaman berbicara tentang apapun dengannya, mungkin karena sudah semakin saling bisa terima satu sama lain. Kemudian, menemukan passion baru di usia saya yang sekarang, saat mungkin beberapa orang bilang terlambat. Tapi nggak ada kata terlambat buat saya. Lalu, dari passion yang satu, berkebun ini, lalu berkembang menjadi passion lain yaitu less waste, kemudian berkembang lagi menjadi senang sharing atau edukasi. Intinya, bersukur banget bahwa apa yang saya lakukan bisa bermanfaat buat orang lain.
Baca juga: Let’s Zero Waste, 5 Cara Kurangi Sampah Rumah Tangga
Share Article
COMMENTS