6 Tips Ajarkan Anak Mampu Membela Diri Sendiri

Behavior & Development

Ficky Yusrini・06 Apr 2021

detail-thumb

Jika tidak mau si kecil menjadi pribadi yang tidak mampu membela diri sendiri, maka pastikan Anda melakukan 6 hal ini!

Cerita pilu tentang menghadapi teman anak yang bully, banyak kita dengar. Entah anak kita sebagai korban, sebagai teman korban, atau…bukan tidak mungkin, menjadi pelaku. Intinya, masalah ini selalu ada, di sekitar kita. Ketiga posisi yang sama-sama sulit. Kali ini, saya ingin bahas apabila anak kita punya kepribadian lemah, sulit bersosialiasi, dan pasif. Anak tipe ini biasanya mudah jadi sasaran bully. Sekalinya di-bully, dia juga enggan atau tidak mampu melawan si pembully sehingga rentan jadi bulan-bulanan.

Sebetulnya, anak saya memenuhi kriteria tersebut. Tipikal anak yang kurang bisa bergaul dan penakut. Ini menjadi struggling kami cukup lama. Beruntung, anak saya yang sekarang remaja, survive melewati masa-masa sulitnya dan sekarang keberaniannya berangsur meningkat sehingga tingkat kekhawatiran saya tidak lagi terlalu tinggi.

Berikut adalah beberapa tips ajarkan anak agar mampu membela dirinya sendiri yang bisa saya share dari pengalaman anak saya maupun teman-teman yang pernah mengalaminya.

BACA JUGA: SIKAP ORANG TUA YANG MEMBUAT ANAK MENJADI PELAKU BULLY

Jaga Keterbukaan

Tantangan menghadapi anak berkepribadian introvert adalah menjaga bonding tetap kuat agar ia mau menjadikan kita orang kepercayaannya untuk mengekspresikan segala emosi. Masalah dalam hubungan pertemanan akan selalu ada, pastikan anak terbuka pada kita tentang teman-temannya. Tingkat ketahanan anak menghadapi tekanan berbeda-beda. Bisa jadi, menurut kita sepele, tapi buat anak kita, itu adalah problem besar sampai mengganggu mood dan emosinya. Sebagai orang tua, kita tidak boleh menyepelekan masalah sekecil apa pun.

BACA JUGA: TIPS BESARKAN ANAK INTROVERT

Dengarkan dan Ajak Diskusi

Saya tipe orang tua yang kurang suka mendikte anak dan mencarikan solusi untuk setiap masalahnya. Buat saya, cukup jadi pendengar dulu. Tidak mudah, sebab seringnya kita sudah ‘panas’ duluan mendengarnya. Bawaannya pingin langsung face to face dengan ibu si anak. Suami juga seringnya tidak sabar dan langsung memberi saran agar menghadapinya dengan kejantanan layaknya laki-laki. “Pukul balas pukul, dong!” “Lawan! Jangan diam!”

Saya lebih suka membuka ruang diskusi dengan anak. “Kalau menurutmu, harus gimana?” Jika masalahnya berat pun, saya akan tawarkan dulu ke anak. “Menurutmu, ibu perlu turun tangan nggak?” Jika jawabannya tidak perlu, saya akan memberinya waktu untuk menemukan solusi sendiri bagi masalahnya, dengan menanyakan kondisinya setiap hari.

Saya ingat, waktu anak masih kelas 1 SD, dia kesulitan untuk masuk ke pergaulan teman-temannya dan menghadapi tekanan dari seorang anak yang dominan, yang melarang teman lainnya untuk mengajaknya main. Selama sekitar 2-3 minggu dia terlihat cukup tertekan. Tapi setelah itu dia bilang, “Aku udah tahu cara hadapinnya.” Bukan dengan melawan si alpha male, tapi dengan menunjukkan kalau dia nyaman dengan dirinya sendiri dan tidak terpengaruh dengan ancaman temannya. Sejak itu, dia nggak pernah diganggu lagi.

Belajar dari Bacaan

Ceritakan tentang masa kecil kita dan bagaimana dulu kita menghadapi teman-teman kita, saat masih seusia anak yang sekarang. Situasinya mungkin berbeda. Tapi, anak bisa belajar dari cerita kita. Entah dulu kita sebagai si penakut yang pasif, atau pemberani. Tidak selalu harus dari kisah kita sendiri, kita juga bisa membahas kisah-kisah keberanian dan ketegasan dari buku fiksi anak. Minta anak untuk menceritakan kembali dan setelah itu didiskusikan. Pelajaran tentang perlunya melindungi diri sendiri dan melawan penindasan tanpa harus menjadi agresif, akan lebih masuk ke anak bila disampaikan lewat diskusi bacaan, ketimbang dari ceramah kita.

Ajak Anak Bermain Peran

Simulasi juga bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengajari anak ketegasan. Ajak anak untuk berimajinasi dalam suatu peran, “Kalau kamu dipukul, kamu akan bilang apa?” “Kalau kamu diejek dengan kata-kata yang menyakitkan, kamu jawab apa?” Lakukan berulang kali sampai anak bisa mengekspresikan ketegasannya atau mengabaikannya sampai si pelaku bosan.

Berani Bukan Hanya untuk Diri Sendiri

Situasinya tidak selalu anak yang menjadi korban langsung. Bisa jadi, si bully mengincar teman main anak. Saat menghadapi kondisi tersebut, anak juga perlu diajari untuk tidak hanya diam saja, tapi menunjukkan empatinya pada teman. Pikirkan berbagai alternatif solusi yang bisa ia lakukan. Misalnya, jika ia tidak berani untuk mengingatkan si bully, ia bisa minta teman lain untuk mendukungnya membela teman yang lemah.

Kapan Perlu Intervensi

Teman saya pernah cerita, setelah mentok dengan berbagai cara membuat anaknya berani melawan bully, ia memutuskan intervensi. Saat itu, anaknya duduk di bangku SMP. Sengaja ia datangi si pelaku yang punya kebiasaan nongkrong di warung dekat sekolah. Lalu, di situ ia ajak bicara si pelaku, dengan sedikit menggertak agar ia tidak mengulang lagi perbuatannya. Teman lain juga pernah mengalami, ia sampai turun tangan mengadukan ke sekolah, bahkan menemui ibu si anak yang bersangkutan. Dan ketika cara itu pun mentok, ia memilih untuk memindahkan anaknya dari sekolah tersebut. Yang jelas, kita sebagai ibu harus tahu jika anak punya masalah, mencarikan solusi yang terbaik, dan kapan perlu bertindak. Tentunya dengan tahapan-tahapan dengan mempertimbangkan kemampuan anak menghadapi tekanan yang dialaminya.

BACA JUGA: JANGAN KATAKAN INI KEPADA KORBAN BULLYING

Photo by Ilayza Macayan on Unsplash