Sekolah tatap muka di tahun 2021 rencananya akan dimulai. Bagaimana tanggapan psikolog berkaitan dengan hal ini?
Kedua sekolah anak-anak saya dalam beberapa bulan terakhir ini sudah dua kali mengirimkan link survey mengenai kesiapan orang tua dan siswa untuk kembali belajar tatap muka di tahun 2021. Hasil survey-nya, masih terbagi antara orang tua yang memberi izin dengan orang tua yang masih wait and see terhadap perkembangan situasi pandemi ke depannya.
Kemungkinan besar, survey ini dilakukan berkaitan dengan SKB 4 menteri yang menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka untuk semester genap 2020/2021 (mulai Januari 2021) dapat dilakukan, dengan kewenangan pengambilan keputusan diserahkan pada pemerintah daerah.
Salah satu dasar pembuatan keputusan ini adalah kekhawatiran akan meningkatnya masalah psikologis yang dialami siswa dan terjadinya learning-loss akibat BDR (Belajar Dari Rumah) yang berkepanjangan. Benarkah demikian?
Berikut hasil penelitian yang dilakukan oleh Satgas Penanggulangan COVID-19 Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia terhadap 15.304 siswa mulai dari SD, SMP hingga SMA/SMK di 32 provinsi. Pengukuran tingkat kondisi psikologis siswa dilakukan dengan menggunakan 3 skala:
- Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) untuk mengukur masalah emosi dan perilaku
- Children’s Revised Impact of Event Scale-13 (CRIES-13) untuk mengukur gejala trauma
- Psychological Well-Being Scale-18 (PWB-18) untuk mengukur kesejahteraan psikologis
Pada siswa SD dan SMP, siswa yang Belajar Dari Rumah menunjukkan tingkat masalah emosi dan perilaku yang paling rendah dibandingkan siswa yang menjalani sekolah tatap muka atau yang menjalani sistem belajar campuran antara belajar dari rumah dan tatap muka. Sedangkan untuk anak-anak di SMA/SMK berdasarkan cara belajar, baik itu belajar dari rumah, tatap muka atau campuran, tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal masalah emosi dan perilaku.
Baca juga: 3 Sebab Anak Stress Saat Belajar dari Rumah, Orangtua Wajib Tahu!
Pada anak usia SD, tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal gejala trauma pada siswa, mau itu mereka belajar dari rumah, tatap muka atau campuran. Hal ini berbeda hasilnya pada anak-anak yang berada di bangku SMP dan SMA, karena di usia SMP dan SMA, anak yang melakukan cara belajar campuran (Belajar Dari Rumah dan Tatap Muka) menunjukkan tingkat gejala tauma paling tinggi dibandingkan anak yang hanya belajar dari rumah atau yang hanya tatap muka. Namun, untuk siswa SMK, siswa yang melakukan BDR menunjukkan tingkat gejala trauma lebih tinggi.
Baca juga: Hybrid Learning, Kelebihan dan Kekurangannya
Untuk anak usia Sekolah Dasar, terbukti yang melakukan Belajar Dari Rumah menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis yang paling tinggi. Bagaimana dengan anak usia SMP? Siswa yang melakukan BDR menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis lebih tinggi dibandingkan cara belajar Campuran BDR-TM dan tidak berbeda dengan mereka yang tatap muka.
Untuk anak-anak yang duduk di bangku SMA, yang melakukan cara belajar campuran BDR-TM menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis lebih tinggi dibandingkan cara belajar BDR dan tidak berbeda dengan cara belajar TM.
- Untuk menunda pembelajaran tatap muka dan melanjutkan pembelajaran BDR hingga tingkat infeksi COVID-19 kurang dari 5% sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO). Keamanan dan kesehatan harus tetap menjadi prioritas utama demi menghindari life-loss ataupun health-loss. Adapun kekhawatiran terjadinya learning-loss dapat diantisipasi dengan meningkatkan efektivitas proses BDR serta mengejarnya di kemudian hari ketika kondisi sudah membaik.
- Pemerintah perlu memberikan perhatian dan melakukan upaya untuk meningkatkan kesehatan mental warga belajar, yaitu siswa, guru, serta pendamping belajar anak (orang tua atau wali) ketika menjalani BDR.
Jadi, bagaimana dengan Mommies? Masuk ke dalam golongan orang tua yang mengizinkan anak kembali sekolah tatap muka, atau merasa nyaman dan tenang untuk melanjutkan belajar dari rumah?
Baca juga: Teknik Menghapal Asyik Agar Anak dan Orang tua Tidak Stress Saat Belajar