Penasaran dengan review film Soul yang semuanya mengatakan bagus, saya memutuskan untuk menontonnya. Seperti apa film yang membuat saya berpikir kembali, tentang tujuan hidup di dunia ini?
Film Soul sebagai salah satu film animasi dari Disney Pixar yang bisa kita nikmati sebagai tontonan akhir tahun 2020, sebenarnya bukan film yang bisa dinikmati bersama anak-anak. Terutama untuk anak-anak yang lebih kecil, ya. Tapi, Soul ketika dinikmati oleh kita (mungkin bersama anak-anak pra hingga remaja) sungguhlah membuat hati hangat dan membuat kita berpikir kembali apa, sih, tujuan hidup kita di dunia ini? Habis baca review film Soul ini, cus, langsung nonton biar hati menghangat :)
Joe Gardner ( Jamiex Foxx) adalah seorang pianis jazz yang bermimpi tampil di atas panggung. Walau sebagian besar orang yang mendengarkannya bermain piano akan menganggap dia sebagai pianis jazz spektakuler, tak begitu kata nasib. Joe sampai detik ini lebih banyak ditolak, daripada dikasih panggung. Akhirnya dia pun mengisi waktunya sebagai seorang guru musik di sekolah untuk menyambung hidup. Tak lama setelah ia diangkat sebagai guru tetap, Joe diajak main di sebuah kafe jazz impian bersama musisi idolanya. Sayangnya di hari ia akan memulai pertunjukan pertama, ia mengalami kecelakaan yang membawanya ke alam ‘barzah’ ala Pixar. Karena merasa belum pantas mati, masih punya banyak keinginan dalam hidup yang belum tercapai, maka Joe berusaha mencari jalan untuk hidup lagi.
Lari dari Great Beyond, Joe malah terdampar di alam Great Before, tempat para jiwa yang sebelum dilahirkan ke dunia, mendapatkan kepribadian dan ‘sparks’. Di sini kesalahpahaman muncul, Joe yang seharusnya sudah ditransfer ke alam baka, malah dikira mentor bagi jiwa-jiwa belum bernama. Joe pun diberikan tugas melatih jiwa no. 22 (Tina Fey) untuk menemukan spark-nya sebagai badge terakhir, tiket untuk turun ke bumi.
Oya, FYI, jiwa no. 22 merupakan jiwa paling ndableg, ngeselin, dan paling nggak tahu kenapa jiwa-jiwa lain semangat banget turun ke bumi yang sumpek, penuh dosa, pokoknya isinya negatif semua (we can’t blame her). Semua mentor terdahulunya macam Abraham Lincoln, hingga Mother Teresa aja nyerah sama jiwa satu ini. Mampukah Joe melatihnya? Pengalaman melatih si no.22 inilah yang akhirnya mengubah pandangan Joe terhadap tujuan hidupnya.
Baca juga: Review Drakor True Beauty: Ketika Body Shaming Datang dari Keluarga Sendiri
Sepertinya Soul mencoba untuk kembali mengajak kita bertanya tentang apa tujuan hidup kita sebenarnya sebagai manusia? Cita-cita seringkali disalahpahami sebagai tujuan hidup seseorang. Ketika kita mencintai dunia jurnalisme, apakah tujuan kita lantas jadi reporter paling idealis di negara ini? Ketika kita sangat mencintai dunia fashion, apakah bekerja menjadi designer, atau model adalah tujuan akhir hidup ini? Saat kita kuliah jurusan arsitektur, tapi malah bekerja sebagai Account Executive di sebuah perusahaan periklanan, apakah itu artinya gagal mencapai tujuan hidup?
Sering pula kita hidup berdasarkan ekspektasi orang lain. Harapan orangtua misalnya? Ketika ayah atau ibu berharap kita jadi pegawai negeri, hidup aman sampai akhir hayat, kita malah bekerja jadi graphic designer. Lantas ketika kita senang menjalaninya, haruskah kita merasa bersalah karena punya tujuan hidup berbeda dari yang diharapkan orangtua? Inilah yang dirasakan Joe Gardner ketika tujuan hidupnya berbeda dari yang diharapkan ibunya. Ini juga yang jadi pertanyaan si no.22, karena selama ini nggak pernah bisa mendapatkan jawaban soal tujuan hidup di bumi yang 'memuakkan'.
Pesan inti dari film yang disutradarai oleh Pete Docter (Inside Out, Up, dan Monster’s Inc) dan juga digawangi oleh salah satu animator asal Indonesia, Paulie Alam ini, adalah bahwa nggak apa-apa banget kita selalu memikirkan, apa, sih, tujuan hidup kita sebenarnya? Dan ini akan selalu ada. Karena ketika sudah sampai pada suatu pencapaian, lalu kita akan bertanya, setelah itu apa lagi? Ketika impian jadi seorang CEO yang mumpuni sudah tercapai, selanjutnya apa? Jika cita-cita jadi kaya sudah tercapai, mau apa lagi? Sama seperti yang kemudian dialami Joe (spoiler alert!) ketika ia sudah berhasil masuk band jazz impian, lantas apa?
Yang paling penting, rayakanlah setiap menit kehidupan dengan penuh arti. Rasakan hembusan angin yang menerpa saat kita jogging misalnya. Hirup udara segar dalam-dalam, berkah yang sering kali tak disadari, dan sampai saat ini masih bisa kita nikmati. Nikmati setiap kesedihan dan kegagalan. Dengarkan cerita orang lain. Karena setiap hal yang terjadi pada kita, itulah yang akan membentuk tujuan hidup kita sendiri.
Seperti yang sudah saya bilang, film ini mungkin nggak pas ditonton bareng anak-anak, terutama anak usia 9 tahun ke bawah, ya. Karena tema hidup sebelum dan sesudah kematian sepertinya belum terlalu mudah dipahami. Tapi aksi-aksi Joe dan 22 ketika salah masuk badan sebagai manusia dan kucing cukup lawak. Anak saya yang berusia 9 tahun tak henti tertawa melihat petualangan mereka saat mencari arti kehidupan sesungguhnya. Tapi giliran di bagian dialog yang in-depth, langsung dia tinggal. So, nggak apa-apa juga kalau mau ajak mereka nonton. Buat ketawa-ketawa serunya saja. Moral of the story-nya, buat kita orang dewasa.
Untuk mommies yang menyukai genre musik jazz, film ini bakal jadi ear candy. Scoring dan music soundtrack-nya bagus-bagus banget. Nah itu dia review film soul ala saya.