Arkie Tumbelaka (35), ayah dari Keira (4) dan Karen (15 bulan), serta suami dari Jean Girsang (34) ini berbagi curhatan tentang kecemasannya sebagai seorang ayah, harapan pada anak dan istri, juga tentang hal-hal yang perlu dimengerti dan dipahami dari pria.
Selama beberapa bulan terakhir ini, hidup kami berubah. Sekarang, kecemasan terbesar sebagai seorang ayah dan suami adalah kalau salah satu anggota keluarga sakit. Bolak-balik ke rumah sakit di saat seperti ini, sangat tidak nyaman. Terlebih lagi, buat saya, yang masih punya bayi berusia 15 bulan. Masih harus sering vaksinasi dan ketemu dokter anak, jadi tambah paranoid kalau harus ke rumah sakit.
Berangkat dari kecemasan itulah, sekarang saya mengajak seluruh anggota keluarga untuk rajin berolahraga. Kalau sebelumnya, saya olahraga sendiri, thai boxing, basket, futsal, sekarang, saya olahraga bareng keluarga seperti jalan pagi bareng keliling kompleks, sepedaan bareng, atau roller blade. Tidak jauh-jauh dari rumah. Dulu, mana kepikiran. Saya akui, pandemi ini membuat kami satu keluarga menjadi lebih dekat.
Olahraga yang lebih serius, saya gowes bersama beberapa tetangga kompleks. Hampir tiap pagi sehabis subuh, kami pergi bersepeda blusukan kampung, kadang sampai 50 km jauhnya. Ternyata menjelajah itu seru, bisa menemukan tempat menarik yang kadang tidak bisa ditemukan kalau kita mengendarai mobil. Sehabis gowes jauh, baru deh, lanjut gowes bareng keluarga.
Hal yang sulit bagi saya sebagai seorang ayah adalah saat-saat WFH seperti sekarang. Dengan dua balita di rumah, wadaw! Anak kalau lihat ayahnya di rumah, pasti tahunya ayah nggak kerja. Saya ingin, anak (dan istri saya juga) mengerti, kalau saya dasarnya seorang workaholic, saya suka kerja. WFH buat saya bukan leyeh-leyeh, malah kerjaan makin banyak. Tantangan pekerjaan yang saya hadapi juga lebih berat. Banyak bisnis terdampak pandemi. Perubahan kebijakan dengan adanya relaksasi untuk hutang, banyak restruksturisasi. Jauh lebih repot lagi karena kerja di rumah tidak pakai jam kerja. Nyaris seluruh waktu bekerja. Main dengan anak harus curi-curi waktu.
Terkadang, anak ngajak main, keluar masuk ruangan kerja. Padahal, saya sering rapat berhadapan dengan direksi, tidak selalu bisa fleksibel, takut juga nanti kena semprot. Sedangkan, Istri inginnya ngajak jalan-jalan. Bosan di rumah, katanya. Atau ngajak ngobrol, tentang macam-macam. Atau bantuin kerjaan dia. Saya inginnya mereka bisa lebih memahami, selama ayahnya ada di ruangan kerja, itu artinya betul-betul lagi kerja. Anggap saja tidak di rumah. Begitu kerjaan selesai, baru saya akan ke luar dari ruangan. Walaupun di rumah, tapi rapat nggak berhenti, sambung-menyambung. Kadang sampai tengah malam. Makanya, saya sering ajak si sulung ke ruangan, biar dia lihat bagaimana ayahnya bekerja. Saya perlihatkan, di layar, ada video conference. Ada dokumen yang harus diketik. Jadi, dia bisa paham kalau ayahnya tidak santai-santai di rumah.
Sedang istri, karena dia juga bekerja sebagai pekerja lepas, sesekali dia harus membuat video di rumah. Kadang, dia inginnya, karena saya di rumah, saya juga bisa bantu-bantu dia. Kalau saya cuek, dia bisa komplain,”Kok, kamu nggak bantuin aku sih.” Hal ini saya coba siasati dengan komunikasi dengan istri. Misalnya, jangan mendadak kalau butuh bantuan. Saya bisa atur waktu jam-jam ketika tidak ada rapat. Pada akhirnya setelah dikomunikasikan, jadi sama-sama enak. Tidak bisa main telepati, pasangan otomatis tahu sendiri.
Baca juga: Cek Komunikasi Anda dengan Pasangan, Sehat atau Tidak?
Kedua, tentang disiplin. Saya tumbuh dengan didikan disiplin keras. Ke diri sendiri, saya sangat disiplin. Karena itu, saya juga ingin menerapkan hal yang sama ke anak. Hal-hal seperti, cuci kaki sebelum tidur, jaga kebersihan rumah, taruh baju kotor, saya agak bawel. Beda dengan gaya pengasuhan istri yang lebih santai. Kadang, ada mertua datang, mereka punya aturan sendiri yang berbeda, atau kadang ingin memanjakan cucu, dibebaskan. Apa yang sudah susah-susah ditanamkan ke anak, bisa bubar lagi.
Saya juga orang yang menjunjung tinggi kebersihan dan kerapian rumah. Mandi, buat saya hal yang penting. Salah satu yang saya syukuri di masa new normal ini, semua jadi nurut dengan aturan harus mandi tiap dari luar rumah. Jadi lebih bersih. Sebelum kami ada asisten, beberapa bulan lalu, semua pekerjaan bebersih rumah, saya yang pegang. Istri fokus mengurus anak. Pekerjaan seperti menyapu, mengepel, cuci piring, cuci mobil, urus anjing, semua saya yang lakukan, kecuali masak dan setrika baju. Saya tidak tahan kalau lihat rumah berantakan.
Hal lain yang saya ingin istri dan anak saya pahami dari saya, adalah kalau saya tipe orang yang penuh perencanaan. Segala sesuatu harus terencana. Bertolak-belakang dengan istri, yang tipenya easy going, “Ya udahlah, lihat besok aja.” Nah, saya nggak bisa kayak gitu. Makanya, saya berharap, istri bisa lebih sabar terhadap suaminya. Kalau saya kadang suka agak keras. Kadang bawel. Kalau lagi kerja, nggak bisa diganggu.
Baca juga: 17 Life skill yang Dipelajari Anak Selama Karantina
Saya bukan tipe suami yang terintimidasi dengan kesuksesan istri. Saya justru bangga. Istri memang sudah tidak kerja kantoran lagi. Dulu, dia seorang news anchor. Sekarang, dia bisa beraktualisasi dengan menjadi seorang influencer di Instagram, menerima endorse dari produk, ataupun sering diminta jadi MC di event. Saya ingin, dia bisa lebih banyak berkarya dan beraktualisasi.
Untuk anak, sebagai ayah, saya ingin mereka bisa jadi anak yang baik, pintar, berguna bagi bangsa dan negara. Saya dan istri akan selalu support untuk mengarahkan mereka jadi pribadi yang tangguh. Saya ingin, mereka tidak gampang menyerah, termasuk dalam meraih cita-cita.
Harapan saya secara umum, agar masyarakat bisa lebih menahan diri selama masa pandemi ini. Tidak berkerumun, tidak hang out atau bepergian kalau bukan untuk hal penting, sehingga tidak membuat klaster-klaster baru. Mbok ya, jaga diri. Sebab, sekarang angka penularan masih tinggi, sementara disiplin dalam protokol masih rendah. Ya, memang semua bosan. Ya, memang, semua sama-sama ingin pandemi ini segera berlalu.
Di masa susah ini, ada juga yang saya syukuri, dalam hal pendidikan. Saya bersyukur, anak saya yang baru masuk TK A, ternyata bisa juga mengikuti pembelajaran jarak jauh. Meski awalnya saya sempat ragu. Duduk di depan laptop selama 1,5 jam setiap hari? Awalnya dia masih harus ditemani, minta tolong ini itu. Ternyata lama kelamaan bisa sendiri sehingga ibunya bisa melakukan hal lain. Saya juga senang, sekolah anak mampu menggali potensi anak, dengan segala keterbatasan mengajar. Sekolah juga bisa membuat anak saya tidak stres, bahkan hepi. Saya merasakan banyak perubahan baik pada anak. Lagipula, saya percaya, kondisi PJJ ini toh hanya sementara. Kalau nanti sekolah sudah temu muka, saya berharap dia sudah bisa lebih mandiri.