Terlalu mikirin hasil, sampai stres setiap kali tugas harus dikumpulkan, takut hasilnya nggak sempurna.
Buat anak perfeksionis, apapun yang dilakukan hasilnya harus sempurna. Memang, sih, mereka biasanya menghasilkan sesuatu yang memuaskan. Namun, apakah sifat ini selamanya baik? Setelah ngobrol dengan Kara Andrea Handali, M.Psi., Psikolog (Psikolog Pendidikan), banyak yang perlu orangtua ketahui di balik karakter ini. Karena bisa jadi, kitalah yang selama ini memicunya menjadi perfeksionis.
Apakah sebagai orangtua, kita punya standar tinggi yang kita berlakukan pada anak? Apakah selama ini orientasi kita selalu pada pencapaian? Apakah kita memberikan reward dan apresiasi pada anak hanya saat ia mencapai sesuatu yang sesuai dengan tolak ukur kita? Kalau jawabannya kebanyakan “ya”, jangan heran kalau anak kini menjadi perfeksionis.
Atau mungkin, kita sering mengomentari hasil karyanya dengan, “Oh, cuma segini aja? Kayanya kamu bisa lebih bagus, deh!” atau, “Kayanya bagian sini ada yang kurang, deh!” Kalimat kritik ini pada akhirnya menuntut anak untuk membuat segalanya harus sempurna. Lebih lagi, ketika kita secara nggak sadar membandingkan, “Si A aja kemarin bisa, lho, harusnya kamu juga bisa.”
Segala yang kita anggap “harus”, di mata anak pun menjadi keharusan. Kalau kitanya sendiri perfeksionis, ya, anak bakalan seperti kita.
Ketika anak terlalu fokus terhadap hasil yang harus sempurna, yang kemudian seringkali mengganggu “keberfungsian hidupnya”. Terlalu memikirkan hasil, sampai nggak mau kumpulin tugasnya, murni karena takut salah. Sifat perfeksionis memang ditandai dengan nggak berani coba sesuatu yang baru, cemas berlebihan, gampang frustrasi, serba takut kalau hasilnya nggak sesuai ekspektasi.
Walaupun usia 6-8 tahun, anak memang seringkali berlaku seperti ini, lebih suka dengan keteraturan, suka melakukan sesuatu dengan cara yang benar, karena tahap perkembangannya demikian. Namun, lihat perubahannya sampai sejauh mana. Kalau jadi terlalu takut mencoba atau justru malah minta tolong melulu, kita perlu waspada.
Lihat usahanya, lihat keberaniannya ketika mencoba, dan keberaniannya menghadapi kegagalan. Itulah yang lebih penting untuk diakui dan diapresiasi, bukan hanya hasil akhirnya.
Perlihatkan bagaimana seharusnya bersikap, misalnya, ketika gagal bikin kue. Ada kalanya kue nggak mengembang dengan sempurna, kurang ini, kurang itu. Tapi, hal ini jadi pembelajaran untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik di kesempatan berikutnya. Mama bisa gagal juga, kok, namun yang penting bukan hasilnya, namun proses menuju keberhasilan. Boleh, kok, sesekali gagal, tapi nggak boleh berhenti berusaha!
Wajar kalau orangtua nggak rela lihat anak gagal, tapi justru penting buat anak mengalaminya. Tetap perlihatkan peran kita yang selalu siap menemaninya mencari solusi. Kegagalan itu hal yang biasa, bawa santai aja, namun bukan berarti meremehkan. Bantu anak mengungkapkan perasaannya, “Iya mama ngerti, kamu udah latihan setiap hari, eh, nggak menang!” Kemudian ajak untuk mencari solusi, “Nanti kita latihan lagi ya, di bagian yang kamu rasa sulit tadi!”
Baca juga: Saat Anak Mengalami Kegagalan, Ia Belajar 10 Hal Ini
“Mama ngerti, kamu pasti bosan, tugas banyak, tapi nggak bisa ketemu temen-temen,” kalimat ini tentu nggak membuat tugasnya berkurang, namun ia akan merasa dimengerti sehingga bebannya akan berkurang.
Setelahnya, tawarkan bantuan, sebatas mengurai benang kusut, bukan membantu mengerjakan tugasnya. Tanyakan mana yang mesti dikumpulin duluan? Mana yang kira-kira paling sulit dikerjakan? Sama seperti kita, kadang kepala rasanya mumet mikirin tugas yang datang, padahal kalau di-list down, akan kelihatan mana yang perlu diutamakan.
Ingat juga, anak butuh bergerak selama minimal 60 menit dalam sehari untuk membantu me-reactivate sel-sel di dalam otak sehingga ia bisa kembali berkonsentrasi saat belajar. Bergerak dari meja belajar sesekali dalam sejam untuk minum air putih juga pantang untuk dilewati.