Pro Kontra SPP dan Uang Kegiatan Sekolah Dikurangi, Ini Kata Para Ibu

Kids

dewdew・22 Jul 2020

detail-thumb

Banyak orangtua yang merasa selama Pembelajaran Jarak Jauh diterapkan oleh sekolah, terutama sekolah swasta, baik SPP per bulan maupun uang kegiatan tahunan sudah selayaknya dikurangi.

Buat sebagian mereka selain masalah finansial yang kebanyakan terdampak akibat pandemi, sebagian beban guru banyak juga dipindahkan ke pundak orangtua. Sehingga seyogyanya wajar bila sekolah pun turut ikhlas mengurangi biaya bulanan dan tahunan tersebut.

unschooling - mommiesdaily

Nyatanya, beberapa sekolah tetap memberlakukan SPP dan uang kegiatan tahunan tanpa potongan, sehingga membuat orangtua gemas dan kemudian melancarkan protes. Namun ada pula sebagian orangtua yang merasa tuntutan pengurangan tersebut berlebihan. Berikut ini beberapa opini orangtua, serta pihak sekolah mengenai isyu di atas. Kalau mommies termasuk yang mana?

SPP dan uang kegiatan tahunan dikurangi itu sudah seharusnya

Widi, karyawan swasta:

Saya, sih, setuju banget, terutama pengurangan uang kegiatan tahunan, ya. Komposisi biaya SPP, kan, ada gaji guru, utilities, dan lain lain. Jadi yang dipotong pastinya bukan porsi gaji guru. Tapi fasilitas sekolah yang memang selama PJJ tidak digunakan. Air, listrik, atau air minum, misalnya.

Kalau memang ada pertimbangan sekolah keluar biaya tambahan untuk memfasilitasi guru-guru dengan bandwidth internet atau tools untuk PJJ, bisa diinfokan secara transparan aja sih, pasti kita orangtua juga ngerti, kok. Untuk uang kegiatan, ini juga sewajarnya ada pemotongan, ya. Karena biasanya dalam satu tahun ajaran, kan, ada rencana trip dan lain lain, yang saat ini tentunya tidak bisa terlaksana. Kalau masih memungkinkan (belum dibayarkan ke vendor atau seragamnya belum dibuatkan, bisa dikeluarkan dari anggaran.

Asmara, ibu rumah tangga:

Semua orang juga tahu, kalau yang paling banyak terdampak di sini adalah orangtua. Bukan cuma finansial, tapi juga emosional. Terutama buat orangtua macam saya yang anaknya lebih dari dua. Sekali zoom class bisa berbarengan. Saya sampai harus beli 1 laptop dan 1 smartphone lagi supaya tidak saling bergantian menggunakannya, jadi semua anak lancar belajar.

Masalah teknis juga seringkali bikin geregetan, macam koneksi internet yang tiba-tiba terputus. Bukan cuma koneksi di rumah, tapi juga koneksi di sekolah. Anak saya sempat menangis karena tidak jelas mendengar penjelasan gurunya. Ada juga anaknya teman saya yang merasa tidak diperhatikan guru, perkara dia menjawab saat zoom class, tapi suaranya tenggelam dari suara anak-anak lain.

Belum lagi tugas-tugas yang diberikan oleh guru sekolah seringkali membuat kami orangtua ikut mengerenyitkan dahi. Sudahlah pusing dengan kondisi ekonomi, stres karena ketidakpastian kondisi, dibikin lelah hati juga dengan tugas sekolah yang pengerjaannya biasanya jadi tanggung jawab guru di sekolah.

Bukan nggak mau berbagi beban, tapi di rumah juga sudah berat bebannya, nih. Jadi wajar, deh, kalau SPP dikurangi. Seringkali saya dengar bahwa dengan kondisi ini kita harus ikhlas dan banyak bersyukur. Jadi nggak salah, kan, kalau kita orangtua juga minta pihak sekolah ikhlas kalau memang terpaksa harus mengurangi gaji guru dan karyawan? Banyak, lho, karyawan-karyawan perusahaan yang juga dikurangi gajinya. Mari sama-sama ikhlas. Betul nggak?

Nggak perlu mengurangi SPP, kan, kegiatan belajar mengajar jalan terus

Tasya, karyawan swasta:

Terus terang kalau soal orangtua repot selama PJJ, itu sudah pasti. Siapa, sih, yang nggak terdampak karena kondisi ini? Tapi kalau alasan pengurangan SPP perkara "kerjaan" guru dipindah jadi beban orangtua menurut aku rasanya kurang bijaksana, ya. Aku kurang nyaman mendengarnya. Mengajarkan anak dan bikin anak pintar, kok, jadi beban? Kan, memang tugas kita orangtuanya. Yang aku tahu, guru-guru dan sekolah juga kewalahan, kok, dengan kondisi ini.

Sama seperti orangtua, mereka juga harus adaptasi sama kayak kita semua. Baik dari teknologi, cara mengajar, hingga materi pembelajaran. Terus terang di sekolah anakku sempat ada pemotongan sekitar 10%, tapi sekarang sudah tidak lagi. Hanya saja kenaikan 10% tiap tahun sudah ditiadakan. Kalaupun memang ada orangtua yang terdampak terutama finansialnya, aku rasa bisa melakukan personal approach, ya. Sekolah aku rasa juga tidak akan kaku-kaku amat. Di sekolah anak saya ada orangtua yang minta keringanan akibat pengurangan gaji, dan respon sekolah positif banget,kok.

Niluh Putu Dewi, ibu bekerja dengan 2 anak:

Banyak sekolah, terutama sekolah swasta, sudah melakukan upaya terbaik dalam melaksanakan proses Pembelajaran Jarak Jauh. Pada faktanya, sekolah juga punya fixed cost, seperti gaji guru, karyawan, dan seterusnya yang harus dibayar, kan?

Kalau soal beban guru dipindahkan ke orangtua, ya, mungkin saja jika sekolah tidak memiliki program yang jelas, konsisten dan terukur. Makanya menurut saya orangtua harus berperan aktif memberikan masukan yang konstruktif, agar sekolah, guru, dan orangtua mempunyai persiapan dalam kondisi yang sangat tidak terprediksi saat ini. Masalah biaya tambahan yang dikeluarkan orangtua seperti biaya internet, atau device bisa diambil dari biaya transportasi dan sejenisnya, misalnya biaya bbm, tol, supir, atau jajan anak.

Alangkah baiknya jika memang ada orangtua yang terdampak secara finansial, melakukan negosiasi sendiri dengan sekolah, siapa tahu ada kebijakan kelonggaran pembayaran uang sekolah. Jika pun ada pemotongan biaya lebih kepada aktivitas atau program yang sifatnya pendukung. Bukan core bisnis pembelajarannya, karena proses PJJ menyebabkan sekolah juga perlu menyiapkan berbagai infrastruktur penyelenggaraan dan biaya penanganan covid di lingkungan sekolah.

Pihak sekolah sudah berusaha seoptimal mungkin melaksanakan PJJ

Friska Hutabarat, Principal Living Seed School:

Sebagai pelaksana sekolah metode Montessori, pihak kami memang mengurangi besaran uang kegiatan tahunan. Ya, logika saja, sih, aktivitas seperti berenang saja ditiadakan. Jadi, ya, otomatis tidak perlu dibayar.

Sementara kalau soal pengurangan SPP, di kami tidak memberlakukan hal tersebut. Karena program yang kami jalankan selama PJJ di masa pandemi ini, kalau boleh jujur, ada ekstra usaha di dalamnya.

Sebagai contoh, beberapa materi pembelajaran yang biasa digunakan bersama di dalam kelas, sekarang harus kami buat untuk setiap anak satu materi, lalu dikirim ke rumah mereka masing-masing. Kalau alasannya utilities yang tidak digunakan selama PJJ, guru-guru kami tetap datang, kok, ke sekolah dan melaksanakan PJJ. Sebab jika dilakukan di rumah masing-masing, bisa jadi koneksi atau fasilitasnya kurang mumpuni, tidak seperti yang disediakan oleh sekolah.

Di kami juga ada home visit ke rumah masing-masing murid, dengan tetap meminta persetujuan orangtua dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Kami bahkan tidak mengizinkan guru-guru kami menggunakan transportasi umum seperti bus, minimal taksi online. Bersyukur orangtua siswa-siswa kami melihat ada usaha sekolah yang lebih dari biasanya, sehingga polemik pengurangan SPP tidak terjadi.

Saya rasa ini masalah komunikasi saja, ya. Jika memang ada orangtua yang terdampak finansialnya, sekolah mana saja pasti terbuka. Di kami juga seperti itu, kok. Yang kami utamakan tentu anaknya jangan sampai putus sekolah.

*

Memang, ya, mommies, jika dilihat-lihat semua pihak punya alasan tersendiri yang tidak bisa dibilang mengada-ada. Semua pihak juga punya kendala masing-masing yang nggak bisa dianggap sepele. Yang dibutuhkan di sini, saya rasa hanyalah keterbukaan komunikasi.

Di masa sulit ini, ada baiknya kedua belah pihak mau saling mendengarkan, karena bagaimanapun kita semua terdampak, baik lahir maupun batin. Mari sama-sama berdoa agar situasi ini segera dapat terkendali dan anak-anak bisa belajar lagi di sekolah dengan nyaman dan aman.