banner-detik
KIDS

Anak Pacaran: 6 Alasan Kenapa Saya Akan Mengizinkan Anak Saya Pacaran

author

Ficky Yusrini22 Jul 2020

Anak Pacaran: 6 Alasan Kenapa Saya Akan Mengizinkan Anak Saya Pacaran

Jiwa muda, semakin dilarang, makin penasaran. Saya tidak mau, dia punya dua dunia, dua muka.

Ada yang bertanya ke saya, “Kalau kamu, bolehin nggak, anakmu nanti pacaran?” Haha…Pertanyaan jebakan nih. Anak saya udah ‘resmi’ remaja. Tapi, kayaknya dia masih santai-santai aja, belum naksir-naksiran. Malah, dia bilang, “Apa sih. Aku juga enggak mau!” (Hihihi…)

Makanya, saya masih bisa santai dan belum nyiapin ‘amunisi’. Tapi, sebetulnya, kalau dengar cerita anak, tentang teman-temannya, ngeri-ngeri sedap juga sih. Temannya beberapa udah mulai ngumpet-ngumpet pacaran. Yakin, deh, pasti emak-emaknya pada nggak tahu. Sementara, temannya juga ada yang di sisi yang berseberangan, “Ngapain pacaran sih. Udah langsung kawin aja kayak temen Gue.”

Lalu, saya jadi berpikir, kira-kira kalau anak saya beneran nanti udah ada cewek yang dia taksir, dia bakal cerita nggak ya, ke saya. Lalu, kalaupun dia cerita dan minta izin, saya bakal kasih nggak, ya?

Jawaban jujur, sampai kapanpun saya tidak rela, anak pacaran. Maunya saya, dia jadi anak lempeng saja deh. Belajar baik-baik, karakternya terbentuk. Lalu, tahu-tahu, dia sudah tidak anak-anak lagi. Bebas deh, sana! You wish!

Anak Pacaran: 6 Alasan Kenapa Saya Akan Mengizinkan Anak Saya Pacaran  - Mommies Daily

Photo by Kay on Unsplash

Kembali ke kenyataan, kalau saya membandingkan, dengan zaman saya remaja dulu. Hayo, siapa yang tidak pernah ‘nakal’ mudanya? Lalu, sampai bisa seperti sekarang, how do you survive your teenage years? Banyak pelajaran yang bisa diambil, untuk sekarang diterapkan ke anak. Lagipula, solusinya apa? Dilarang sama sekali? Dinikahkan? Taaruf? Soal pacaran ini (dengan berat hati), saya tidak akan melarangnya, sebagaimana dulu orangtua melarang saya, dengan alasan:

Jiwa muda, semakin dilarang, makin penasaran

Itu kalau saya. Saya tidak mau, dia punya dua dunia, dua muka. Di depan ortu, dia anak baek-baek. Yes Mam! Di belakang, siapa yang tahu. Dulu aja, saya backstreet (psst)." Lagipula, sekarang kalau mau larang-larang anak pacaran ke luar rumah, ‘pacarannya’ di handphone, kita nggak tahu. Nggak perlu pake bohong-bohong ke ibu, deh!

Baca juga:

Perilaku Remaja yang Berisiko

Anak adalah guru

Dengan rendah hati, saya bilang, saya tidak tahu apa-apa tentang dunia remaja dan seksualitas, anak zaman sekarang. Eranya beda. Makanya, saya ingin ia tetap jadi guru saya, dan ia menganggap saya sebagai sahabatnya. Saya ingin ia terus mengajarkan saya tentang dunia remaja, tentu dengan segala problematikanya. Saya ingin, dia tidak canggung bicara dengan saya tentang pacar. Kalau nanti ketemu batu terjal dan jurang curam yang menanti di depan sana, kita lewatin bareng-bareng ya, Boy!

Baca juga: Berbagai Macam Bentuk Stress pada Anak Remaja

Bagian dari life skill (pelajaran hidup)

Ada saran bagus, nih, dari Amy Lang, penulis buku Dating Smarts: What Every Teen Needs To Know To Date, Relate, Or Wait, sama halnya kita harus mengajar anak kita tentang sopan santun dan keterampilan belajar yang tepat, kita juga perlu melatih mereka tentang seksualitas dan hubungan romantis. Kata Amy, hal ini bagus untuk membantu mereka menavigasi aspek kehidupan dengan berbagai roller coaster emosinya, kadang indah, kadang menyakitkan, dan kadang membingungkan ini.

Pacaran bukan berarti free sex

Saat anak mengungkapkan rasa cinta untuk pertama kalinya, ajak ia untuk fokus pada aspek hubungan pertemanan. Lagipula, kata ahli, seks pada usia 14 atau lebih muda biasanya ada korelasi dengan pelecehan fisik dan seksual, serta penggunaan alkohol dan narkoba.

Baca juga:

Edukasi Seks pada Anak Remaja: Latihan Mengurus Bayi

Bantu anak menavigasi patah hati

Di masa remaja ini, mereka belajar mencintai, patah hati, sedih, sakit, bingung, dan berbagai emosi lainnya, terkait dalam hubungannya dengan lawan jenis. Jika sejak awal kita larang, maka anak cenderung menjaga jarak. Saat mereka patah hati, mereka juga enggan untuk sharing ke kita. Apalagi kalau ujung-ujungnya kita langsung bilang, “Tuh, kan, apa Ibu bilang!” Mental, deh! Ada beberapa kasus, remaja yang mengalami depresi, diperparah dengan patah hati, akhirnya tidak tertangani.

Belajar konsep otoritas dan ketaatan

Anak harus paham bahwa kita semua terikat pada otoritas, baik pada orangtua, negara, dan terutama pada hukum Tuhan. “Ketaatan itu ujian untuk membuktikan karakter kita, tetapi haruslah ketaatan yang bersifat sukarela. Anak harus dilatih dulu dalam ketaatan kebiasaan. Nantinya semakin besar, setiap anak harus belajar memilih untuk taat secara sukarela pada otoritas,” begitu kalau kata tokoh pendidikan, Charlotte Mason. Di fase ini, anak belajar membuat pilihan sadar atas hidupnya.

Baca juga:

Mitos Tentang Seks dan Kehamilan di Kalangan Anak Remaja

Share Article

author

Ficky Yusrini

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan