Bicara anak dan perceraian, selain tentang dampak, apa sebenarnya yang diinginkan anak dari orang tua yang bercerai? Ini jawaban dari psikolog anak dan remaja.
Ketika dalam sebuah perceraian ada anak yang terlibat di dalamnya, bagaimana kita sebagai orang tua atau orang dewasa di lingkungan anak dapat membantunya?
Berikut hasil obrolan saya dengan mbak Vera Itabiliana, Psikolog Anak dan Remaja seputar anak dan perceraian.
Setiap hubungan pasti ada pilihannya masing-masing, kita tidak bisa bilang itu salah atau benar. Tapi, perlu dipertimbangkan, jika tujuannya memang bertahan demi anak, lihat lagi, hubungan seperti apa yang kita pertahankan demi anak. Apakah hubungan yang penuh keributan, membuat situasi rumah tidak hangat dan nyaman? Bertahan demi anak jika memang orang tua terbukti mampu menciptakan keluarga yang harmonis walau sudah tidak saling cinta ya silakan saja. Tapi harap diingat, ketika orang tua ada masalah, akan terlihat dari sikap kita ke pasangan, perilaku kita yang mudah emosi mungkin, dan ini membuat anak tidak nyaman.
Tidak harus menunggu ketika mau pisah untuk memberitahu anak, karena situasi sebelum ketuk palu di pengadilan pasti juga sudah mengganggu anak. Maka ketika kita sudah bertengkar terus menerus, sebagai orang tua kita perlu memberi penjelasan ke anak, meminta maaf karena harus melihat orang tuanya bertengkar. Jelaskan bahwa papa dan mama ada masalah, kini sedang mencari cara untuk menyelesaikannya.
Ketika akhirnya berpisah, jelaskan juga ke anak, Idealnya saat proses penjelasan ini baiknya ada tiga pihak, bapak, ibu dan anak. Jelaskan beberapa poin ini:
- Kenapa perpisahan ini harus terjadi, kenapa harus bercerai. Tidak perlu sedetail mungkin, alasan umum yang bisa disampaikan ke anak adalah, papa mama kalau serumah akan berantem terus, jadi baiknya kami pisah tapi tetap berteman baik. Kenapa harus ada penjelasan mengenai penyebabnya? Agar tidak timbul persepsi kurang tepat. Seringkali dalam kasus anak dan perceraian, anak merasa bahwa mereka punya andil dalam perceraian orang tuanya.
- Jelaskan juga langkah-langkah apa yang harus terjadi. Misal, salah satu orang tua harus keluar dari rumah. Lalu akan ada proses pengadilan yang membuat mama dan papanya bolak balik ke pengadilan dan mungkin mengubah sedikit rutinitas menjemput anak, misalnya.
- Berikan jaminan kepastian bahwa anak masih tetap punya dua orang tua yang sayang dan perhatian pada mereka. Jangan lupakan, kepastian kapan anak bisa berinteraksi dengan kedua orang tua. Di mana orang tua yang keluar rumah akan tinggal, kapan waktu anak akan bertemu dengan mamanya dan kapan dengan papanya secara rutin. Dalam kasus anak dan perceraian, sebelum menyampaikan semua poin ini, sepakati dulu dengan pasangan. Turunkan ego masing-masing atas dasar yang terbaik untuk anak.
Hak pengasuhan anak, pembagian anak tinggal dengan siapa, pembagian waktu bertemu, semua ini wajib dibicarakan.
Begitu anak sudah mampu berkomunikasi, misalnya di usia 3 tahun. Anak bisa jadi menanyakan mengenai perubahan yang terjadi di rumah.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi dampak perceraian terhadap kondisi mental anak. Misal, kenapa perceraian itu terjadi, tentu beda dampaknya jika perceraian karena KDRT, selingkuh atau faktor ekonomi. Kemudian, bagaimana orang tua menjelaskan; lamanya proses dari mulai sering cekcok hingga ketok palu plus seberapa chaos prosesnya.
Ada yang bilang, yang paling melelahkan bagi anak itu bukan awal pertengkaran atau saat putusan pengadilan terjadi, tapi proses di antaranya. Anak merasa bingung, capek, gamang, bertanya-tanya mengenai kehidupan mereka setelah perceraian orang tua akan bagaimana.
Lakukan 3 poin tadi: Jelaskan kenapa perpisahan harus terjadi, berikan alasannya serta langkah-langkah yang akan dihadapi, dan paling utama, berikan jaminan kepastian bahwa anak tidak akan kehilangan orang tuanya.
Ketika ada perubahan perilaku atau emosi yang drastis. Jangan lupa kerja sama dengan guru di sekolah, jadi anak punya support di mana-mana. Guru bisa memantau apakah anak menarik diri dari teman-teman, melamun. Karena anak bisa jadi merasa dia berbeda, keluarganya tidak utuh lagi, khususnya anak-anak yang sudah sekolah, ada rasa malu kalau teman-temannya tahu.
Anak bisa belajar bilang, bahwa bapak ibunya masih ada, masih sayang, hanya tinggalnya terpisah. Ajak dia melihat kondisi istimewanya, misal, dia jadi punya dua tempat tinggal, dua kamar.
- Setiap anak korban perceraian umumnya masih punya harapan bahwa orang tuanya akan bersama kembali. Maka begitu salah satu pihak kembali menikah, ada semacam patah hati kedua yang dirasakan oleh anak-anak. Mereka ingin orang tuanya seperti dulu lagi.
- Anak ingin orang tuanya berhenti berantem setelah berpisah. Jangan terus menerus berantem padahal sudah bercerai.
- Anak ingin orang tuanya berhenti saling menjelekkan satu sama lain, karena rasanya itu melelahkan.
- Berhenti menjadikan anak pengantar pesan.
Jangan ikut-ikutan seperti itu, karena akan membuat anak menganggap orang tuanya sama saja dan menjadi anti pada dua-duanya. Bisa tanya balik ke anak, “Menurut kamu benar nggak?” Tetap bersikap baik karena pada akhirnya akan mampu melihat kok, seperti apa yang sebenarnya.
Harap diingat, mantan pasangan kita mungkin adalah pasangan yang buruk untuk kita, tapi bukan berarti dia adalah orang tua yang buruk untuk anak-anak kita.