Mengajarkan Anak Agar Bisa Mengambil Keputusan Sejak Balita

Parenting & Kids

RachelKaloh・11 Jun 2020

detail-thumb

Anak butuh pengalaman konkret, kalau ia didengarkan dan keputusannya dipahami.

Hidup itu pilihan. Bahkan sejak kecil, anak sudah bisa kita biasakan untuk membuat pilihan. Bila kita melatihnya dengan benar, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan merasa berharga. Setelah ngobrol dengan psikolog anak, Anastasia Satriyo M.Psi., Psikolog, ini yang bisa orangtua lakukan untuk anak berlatih membuat keputusan dalam aktivitasnya sehari-hari.

Anak Sering Meminta Maaf - Mommies Daily

Mulai usia berapa anak bisa diajarkan membuat keputusan?

Usia 1,5 tahun anak sudah mulai bisa DILATIH untuk membuat keputusan sederhana terkait aktivitas sehari-hari yang mereka jalani. Sesimpel melempar pertanyaan, “Mau makan pisang atau pepaya?”, “Mau pakai baju merah atau yang biru?”

Yang perlu kita pahami saat mengajarkan anak tentang mengambil keputusan

Ketika kita berkomitmen untuk menanamkan kemampuan memilih pada anak, khususnya balita, maka hargailah proses yang ia lewati. Artinya, kita sendiri sebagai orangtua perlu menyiapkan energi untuk berkomunikasi dengan mereka. Kita pasti paham betul kalau bargain dengan balita tidak semudah itu, tarik napas panjang terlebih dahulu.

Posisikan mata sejajar dengan mata anak. Gunakan intonasi suara yang menyenangkan, ekspresif dan penuh empati. Lalu, mulailah dengan memberikan pilihan untuk membuat keputusan yang konkret, yang berkaitan dengan rutinitas anak-anak sehari-hari. Misalnya memilih pakaian sehabis mandi atau pilihan makanan.

Berikan pilihan yang jawabannya “ya” dan “ya”, bukan “Mau apa nggak?”, melainkan “Mau yang ini atau yang itu?” Bukan ditanya mau makan apa, tetapi menawarkan pilihan dari makanan yang sudah tersedia di rumah.

Ingat juga, sumbu harus lebih panjang, nggak bisa sedikit-sedikit kita senewen. Saat anak menimbang kedua pilihan yang ada di hadapannya, berikan ia waktu.

Pelajaran yang anak dapatkan dengan memilih kemauannya sendiri

Membiasakan anak memilih mau yang mana sejak usia dini merupakan salah satu cara untuk anak merasa dihargai. Anak akan merasa being valued and seen as a worth human being, dianggap penting dan berharga. Patut kita ingat, di budaya kita masih sering, kan, anak kecil dianggap sebelah mata, termasuk perasaan dan emosinya.

Anak yang terbiasa diberikan pengalaman dihargai adalah anak yang tahu bagaimana nantinya menghargai dan berempati terhadap orang lain. Karena seperti komputer, anak itu butuh kita masukkin “program-program” lewat pengalaman konkret kalau ia didengarkan dan keputusannya dipahami oleh kita, orang terdekatnya.

Selain itu, anak juga belajar sebab-akibat atau efek (dampak) dari keputusannya. Dia belajar langsung bahwa my voice matters, suara saya ada dampaknya. Hal ini membuat anak merasa berharga dan menjadi landasan dari fondasi kepercayaan diri anak yang nanti lebih berkembang saat masuk usia sekolah. Karena pada dasarnya, manusia tidak bisa tiba-tiba langsung percaya diri tanpa pengalaman merasa berharga.

Dengan terbiasa punya mindset "hidup ada pilihan", maka anak akan jadi lebih kreatif dalam mencari solusi, nggak stuck sama satu pilihan, maunya itu-itu doang. Namun, bila di usia toddler anak masih sering memilih yang itu-itu saja, wajar, tinggal kita kenalkan opsi-opsi lain.

Di balik sebuah pilihan, ada yang namanya konsekuensi

Ketika anak memilih pilihan A, ia akan dihadapkan dengan konsekuensi dari pilihannya tersebut. Ingat lagi, ya, di sini kita masih dalam tahap melatih anak. Ketika si balita menolak pakai jaket, maunya pakai kaos, padahal lagi mau jalan-jalan ke tempat dingin, jangan lupa kalau di usianya ini, anak sedang mencoba untuk memegang kontrol. Karena itu, sesuaikan cara bicara kita pada anak, “Mama tahu kamu pingin pakai kaos itu, tapi nanti kamu kedinginan. Nanti kalau kita main ke taman, kita pakai kaos yang itu, ya.”

Meski kita tahu anak balita juga bisa kekeuh dengan keputusannya, boleh saja kita biarkan ia memakai kaos, namun, tetap sediakan jaket agar ketika ia sadar bahwa pilihannya tersebut berujung pada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, kita tetap bisa membuatnya mengerti, tanpa perlu menegaskan dengan bilang, “Makanya, Mama bilang juga apa!” Jangan sampai pada akhirnya, kalimat yang kita lontarkan tersebut malah bikin anak trauma membuat keputusan sendiri.

Baca juga:

5 Hal Penting Tentang Skill Problem Solving untuk Balita

Fase Tantrum pada Balita