Sorry, we couldn't find any article matching ''
7 Tanda Kecerdasan Emosi Rendah di Dunia Kerja
Jika kita sering mengalami konflik di tempat kerja, apakah itu berarti teman kerja kita punya kecerdasan emosi yang rendah? Eits, nanti dulu, siapa tahu kita sendiri yang memiliki masalah dengan EQ.
Coba pikir-pikir lagi, kapan terakhir kali berdebat panjang dengan kolega kantor, hanya karena masalah sepele? Cek lagi, kapan terakhir kali mengalami konflik dengan rekan kubikel sebelah? Jarang banget? Atau malah sering banget? Terus konfliknya nggak selesai-selesai malah memengaruhi produktivitas kerja. Apalagi sejak work from home, konflik makin meruncing. Jadi begini, bisa jadi kecerdasan emosi berperan penting dalam konflik-konflik di atas.
Kecerdasan emosi sebenarnya memainkan peran penting dalam cara kita berinteraksi dengan orang lain. Bisa dengan sahabat, pasangan, anak, dan yang mau kita bahas sekarang ini dengan rekan kantor. Termasuk atasan, kolega, atau bawahan. Jika kita sering mengalami konflik di tempat kerja, apakah itu berarti teman kerja kita punya kecerdasan emosi yang rendah? Eits, nanti dulu, siapa tahu kita sendiri yang memiliki masalah dengan EQ. Coba cek tanda-tandanya berikut ini.
Adu argumen terus-terusan
Sedikit-sedikit berdebat, sebentar-sebentar berargumen, seringkali pekerjaan nggak kelar-kelar kalau adu argumentasi terus-terusan. Biasanya seseorang dengan EQ rendah perlu perjuangan untuk memahami emosi orang lain. Jadi buat dia, lebih baik berdebat, memaksakan pendapat pribadinya, walau jelas apa yang dia sampaikan nggak cocok buat orang di sekelilingnya.
Mengabaikan emosi orang lain
Mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah, kesadarannya juga rendah dalam memahami perasaan orang lain. Nggak usah, deh, sama rekan kerja, perasaan orang terdekat seperti pasangannya, mungkin juga dia nggak mau paham. Yang bikin tambah kesal, mereka mengharapkan orang lain memahami perasaan mereka. Terbalik banget, kan?
Photo by Green Chameleon on Unsplash
Nggak sensitif
Pemilik EQ rendah sering berpikir bahwa orang lain terlalu sensitif, mudah sakit dengan lelucon atau sikap yang ia lakukan. Lalu ketika orang lain bereaksi tidak seperti harapannya, atau sakit hati misalnya, maka dia akan merasa kitanya yang sensitif. Padahal siapa, sih, yang bakal tertawa ketika bikin lelucon setelah pengumuman gaji dipotong 50%? Nah, karena mereka mengalami kesulitan memahami emosi orang lain, nggak heran mereka juga nggak peka terhadap nada-nada emosional yang menunjukkan kita nggak suka sama lelucon atau sikapnya. Sering, kan, ada orang yang sudah dijudesin tapi nggak paham-paham?
Merasa paling benar sendiri
Seringnya, nih, individu yang memiliki EQ rendah suka menolak untuk mendengarkan sudut pandang orang lain. Dengan kata lain, merasa pendapatnya paling benar sendiri. Dia bakal ngotot banget-banget untuk mempertahankan pendapatnya biar pun kita sudah ngasih bukti-bukti kalau pendapat dia itu nggak tepat. Lelah banget, nih, menghadapi rekan kerja yang seperti ini. Presentasi bisa nggak selesai-selesai.
Playing victim
Secara naluriah, individu dengan EQ rendah akan menyalahkan orang lain atau situasi, baik atas kesalahan tim, mau pun kesalahannya sendiri. Biasanya ia cenderung enggan bertanggung jawab dan menempatkan diri sebagai korban.
Mengatasi masalah dengan masalah
Biasanya pemilik EQ rendah memiliki ketidakmampuan untuk mengatasi situasi, terutama situasi yang dipenuhi emosi. Cenderung mengatasi masalah dengan masalah, bisa dengan menghindar, atau malah menambah masalah, tanpa solusi.
Kurangnya empati
Karena orang dengan kecerdasan emosi rendah sulit memahami emosi orang lain, mereka cenderung memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki empati terhadap orang lain. Sukar buat mereka untuk bisa ikut merasakan yang orang lain rasakan, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk menempatkan diri pada posisi orang lain.
Nah, coba cek apakah kita atau rekan kerja di kantor ada yang seperti ini? Mudah-mudahan nggak banyak, ya, biar ketenangan kerja di rumah saja tetap terjaga :)
Baca juga:
10 Alasan Kenapa Produktivitas Menurun
Kembali Bekerja dengan Sistem New Normal, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Saat Rasanya Terlalu Banyak yang Harus Dilakukan Sebagai Ibu Bekerja
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS