Terkadang agar perkembangan anak berkebutuhan khusus berjalan optimal, kita orangtuanya (secara tak sengaja) melupakan bahwa ada kakak/adik yang juga punya kebutuhan yang harus kita penuhi.
Sometimes we take it for granted, karena dia bukanlah ABK, tanpa dibantu atau diperhatikan lebih banyak, ia bisa memenuhi sendiri kebutuhannya. Padahal, ya, nggak gitu juga.
Benar sekali, mengasuh, membesarkan dan memerhatikan anak dengan ADHD, autisme, atau special needs lainnya menguras tenaga, emosi, dan fisik kita, karena bagaimana pun mereka butuh ekstra waktu, tenaga, bahkan ekstra uang.
Ya waktu untuk terapi tambahan, peralatan khusus, juga bangku pendidikan yang bisa jadi lebih mahal dibanding saudaranya yang non-ABK. Sehingga seringkali beberapa kebutuhan lain pun dikesampingkan, termasuk kebutuhan saudara si ABK. Sebagian besar orangtua pasti sebisa mungkin berusaha untuk adil, tapi mau nggak mau anak berkebutuhan khusus memang butuh perhatian ekstra, sih.
Please, ini nggak bermaksud bikin Anda tambah merasa bersalah atau menghakimi. Alih-alih feeling guilty terus-terusan, ini yang bisa kita lakukan.
Di detik kita tahu bahwa salah satu anak kita memiliki special needs, maka detik itu juga kita harus jujur dengan saudaranya terutama bila ia non ABK. Saya berusaha jujur pada anak saya yang pertama ketika adiknya didiagnosa memiliki Sensory Processing Disorder, bahwa ada saat saya harus memprioritaskan kebutuhan adiknya. Bahwa adik memerlukan bantuan A, B, C serta akan menjalani beberapa terapi, atau kelas-kelas tambahan yang memerlukan kehadiran saya atau ayahnya.
Saya informasikan sejelas-jelasnya dan meminta pengertian si kakak jika mungkin akan ada hal atau waktu yang saya nggak bisa menemani dia, atau memberikan kebutuhannya, terutama ketika kebutuhan adiknya saat itu jauh lebih penting. Menutup-nutupi informasi mengenai kebutuhan khusus si adik malah akan membuat saudaranya mengarang cerita sendiri sesuai dengan pengertian mereka. Semakin kita terbuka, maka kesempatan untuk saling mendukung semakin besar.
Iya, kita harus realistis bahwa bisa jadi waktu yang dihabiskan bersama saudara kandung si ABK mungkin tak sebanyak adik atau kakaknya. Kita pun harus jujur padanya. Hanya saja, setiap kali kita menghabiskan waktu bersamanya, utamakan kualitas. Misalnya saja, ketika ia minta ditemani untuk pergi ke mal sementara di waktu yang sama, mommies harus menemui psikolog untuk evaluasi sang adik, kita bisa katakan padanya,”Mungkin mama nggak bisa nemenin kamu cari sepatu di mal, tapi bagaimana kalau mama bacakan cerita buat kamu selama 1 jam?”
Jangan lupa untuk terlibat penuh dengan aktivitas tersebut tanpa gangguan. Mungkin bisa cari bantuan dengan menitipkan si adik dengan pasangan, atau kakek neneknya. Bisa juga dengan mencari waktu khusus, walau tak lama, tapi berkualitas seperti jalan-jalan di sekitar komplek perumahan berdua saja, atau sekadar beli dan menikmati es krim yang dibeli di mini market.
Ada kalanya kita terlalu sibuk mengurus si adik atau kakak yang berkebutuhan khusus, sehingga saudaranya (sedikit) terlupakan atau bahkan tersisih. Tahu-tahu kita dapat laporan dan dipanggil ke sekolah karena ia berulah. Ini sebenarnya wajar, dan bisa jadi hanya bagian dari dia caper. Sebaiknya, sih, kita nggak terlalu menyalahkan dia. Cari waktu yang tepat dan yang paling penting tanyakan bagaimana perasaannya.
Misalnya saja, “Kak, boleh mama tahu apa yang kakak rasakan saat ini?” Penting buat dirinya jika kita bisa menciptakan ruang yang aman baginya mengungkapkan perasaan tanpa merasa dihakimi. Tegaskan pada dirinya perasaan yang ia miliki valid, bahkan jika pernyataan perasaan tersebut terdengar menyakitkan buat kita, layaknya kalimat, “Aku nggak suka punya adik kayak Mika. Bikin malu!” atau “Aku benci Mika, mama sama papa cuma merhatiin Mika.” Jadikan ini momen untuk kita orangtua introspeksi dalam mengasuh anak. Iya, melelahkan dan menguras tenaga serta emosi. But you are not alone, moms.
Memberikan anak materi atau barang agar mereka merasa lebih baik sebenarnya menggoda, sih. Cenderung lebih cepat ademnya ketika mereka mutung atau tantrum akibat merasa tersisih. Sayangnya selalu memberikan materi malah akan membuat mereka merasa semua masalah bisa diselesaikan dengan barang. Support mereka lebih dari itu.
Misalnya saja, dengan hadir di resital pianonya. Kalau tidak bisa, mungkin bisa aplusan sama pasangan. Nggak mesti dua-duanya hadir. Kalau ayahnya tidak bisa hadir di pertandingan softball-nya, minimal hadir di pertunjukan baletnya. Kalau si mama tidak bisa datang di spelling bee competition-nya, mungkin bisa menemaninya sekadar belanja buku di toko buku kesayangannya.
Bagaimana pun anak-anak ini sudah sangat menerima segala kelebihan dan kekurangan saudaranya yang berkebutuhan khusus walau mungkin penuh dengan drama. Jadi, jangan pernah lupa untuk berterima kasih pada mereka, sekecil apapun usaha mereka. Pasti ada saat-saat mereka bersikap manis, penuh pengertian, dan setia pada saudaranya.
Di awal-awal mungkin mereka sering tidak mengerti, tapi seiring dengan waktu dan diberikan pengertian terus menerus, bukan tak mungkin mereka akan semakin pengertian dan semakin sayang pada saudaranya yang memiliki special needs.
Baca:
Tips Menjaga Keharmonisan Selama Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus
Bantu Anak (Berkebutuhan Khusus) Siapkan Masa Depannya, Mulai dari Mana?
5 Hal yang Saya Pelajari Sebagai Orangtua dari Anak Berkebutuhan Khusus