Ditulis oleh: Rachel Kaloh
Dari kelas empati, belajar mindfulness, sampai Playset UNO demi siswa nggak kesepian.
Anak saya memang belum berada di usia sekolah, namun menyaksikan obrolan teman-teman yang anaknya sudah berada di usia sekolah, kok ternyata cukup ruwet ya, ahahaha. Di saat lagi banyak waktu senggang seperti sekarang ini, saya jadi sering membandingkan gimana sekolah di negara lain dengan sekolah di Indonesia.
Bicara soal kurikulum, beberapa negara menerapkan aturan yang cukup menarik yang mungkin bakalan bikin kita iri, kapan, ya di Indonesia bisa seperti ini? Eits, jangan pesimis, siapa tahu setelah pandemi ini berakhir, Pak Nadiem kembali meluncurkan ide-ide menarik demi pendidikan bangsa yang lebih baik lagi.
Meanwhile, yuk, ngintip yang keren-keren dari sekolah luar negeri berikut ini.
Di Denmark, ada yang namanya pelajaran empati yang merupakan bagian dari kurikulum nasional, dari tahun pertama sekolah hingga usia 16 tahun. Murid-murid diajarkan untuk membantu teman kelasnya dan berkompetisi dengan dirinya sendiri. Bagaimana pengajarannya? Simpel saja, dalam satu jam, siswa berkumpul dalam suasana yang santai untuk membahas masalah yang masing-masing alami dan seisi kelas akan membantu mencarikan solusinya. Wow! Orangtua di Denmark percaya bahwa membesarkan anak yang bahagia akan membuat mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang bahagia, kelak, mereka pun akan membesarkan anak-anak yang bahagia. True that!
Di IOWA, murid-murid bisa mendapatkan nilai PE (physical education) ketika mereka menyapu lapangan, membersihkan selokan, dan berbagai pekerjaan ladang di rumah para lansia atau penyandang disabilitas. Kegiatan ini bukan bagian dari kurikulum nasional, tapi lebih dikhususkan pada murid-murid yang terancam di-drop out dari sekolah. Di Alternative Learning Center (ALC) di Dubuque, murid-murid bisa memilih pelajaran berbasis proyek yang memang dibuat agar mereka tetap bisa lulus.
Di Belanda, murid-murid diajarkan cara menanam sayuran dan buah-buahan. Selain merupakan green movement, pelajaran ini juga membantu anak untuk tidak larut dalam kemudahan membeli buah dan sayuran di supermarket. Dengan belajar menanam sendiri, maka tumbuhlah minat untuk makan yang sehat.
Selain menanam, sebuah SD di Belanda menerapkan pelajaran mengenai dampak besar dari sebuah tindakan kecil. Alkisah, seseorang bernama Jaap Bressers mengalami kecelakaan menyelam yang membuatnya lumpuh. Namun, berkat kebaikan yang diberikan oleh perawat bernama Carlos, Jaap bisa menemukan kedamaian dengan situasinya. Dari kisah menyentuh tentang belas kasih antara sesama, lahirlah gagasan untuk menerapkan pelajaran “Carlos Moments”.
Masih dari Belanda (duh, jadi halu, nih, pengen tinggal di Belanda, hahaha), SD Hofter Weide adalah sekolah pertama yang berpartisipasi dalam proyek Playset UNO. Bersama dengan para siswa, mereka menciptakan permainan untuk semua anak. Dari anak, untuk anak. Aim dari mendirikan permainan ini murni untuk mengatasi kesepian di antara anak-anak di sekolah. Playset ini merupakan reminder pada semua orang betapa pentingnya tidak membeda-bedakan, tidak mengecualikan siapapun. Intinya, saling memperhatikan. How cool is that!
Berdasarkan laporan dari National Health Service (NHS), 1 dari 8 anak-anak di Inggris memiliki gangguan mental. Maka, kemudian pemerintah pun menerapkan di dalam kurikulum pendidikan di Inggris, pelajaran mengenai cara meditasi, teknis untuk relaksasi otot, dan latihan bernapas agar anak-anak bisa selalu sadar dengan pikiran dan emosi yang mereka alami.
Meski pada umumnya di setiap sekolah pasti ada petugas atau janitor, murid-murid di Jepang diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap kebersihan dan peduli dengan orang-orang di sekitar yang membantu mereka, dengan begitu, anak-anak pun akan segan untuk menyampah. Sebetulnya, yang satu ini tidak jauh berbeda dengan kegiatan bersih-bersih yang dilakukan di sini, yang kita kenal dengan istilah kerja bakti.
Baca juga: