Menjaga jarak dengan orang lain, adalah salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Tapi tahukah mommies, masih banyak beredar mitos seputar social distancing yang butuh diluruskan.
Image: by Sven Brandsma on Unsplash
Istilah “Social Distancing” atau “Jarak Sosial” mulai dikenal masyarakat Indonesia, sejak merebaknya virus Corona. Tepatnya saat Presiden Jokowi menyerukan kerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah, Minggu 15 Maret 2020 lalu. Hal ini dilakukan untuk menghambat penyebaran virus Covid-19.
Baca juga: Work From Home Selama Dua Minggu Be Like
Di sisi lain, jika harus keluar rumah untuk berkegiatan, sangat disarankan untuk jaga jarak dengan sesama kita, alias social distancing tadi. Sayangnya, masih banyak mitos tentang jarak sosial yang beredar di masyarakat.
Fakta: tujuan jarak ssoail adalah untuk melindungi individu, terutama yang paling rentan terjangkit Covid-19. Cara untuk melakukannya adalah memperlambat penularan. Kita semua berisiko terinfeksi, dan menularkan infeksi. Jadi sebaiknya semua elemen masyarakat berkontribusi untuk memperlambat penularan dengan menjauh dari tempat-tempat ramai, mengurangi kontak langsung, menghindari orang yang batuk dan bersin. Tinggal di rumah saja, dan mengisolasi diri, jika memiliki gejala-gejala terkena virus Corona, atau pernah bepergian ke negara-negara yang diketahui menjadi tempat penyebaran virus ini.
Semua hal di atas sangat membantu mengurangi tingkat penyebaran virus, dan pada akhirnya mengurangi jumlah orang yang terinfeksi, juga melindungi mereka yang paling berisiko terinfeksi.
Fakta: “Menjaga jarak fisik” adalah istilah yang lebih baik. Karena tujuannya untuk memisahkan secara fisik, bukan secara emosional. Silaturahmi ke teman atau saudara, bisa diganti dengan video call atau FaceTime. Bekerja dan belajar juga bisa dilakukan di rumah.
Fakta: cara penularan yang dominan berasal dari tetesan liur yang timbul selama batuk dan bersin. Tapi tak hanya itu sumber penularannya. Kontak dengan permukaan yang terkontaminasi, dan menghirup udara yang mengandung virus.
Yang terpenting, selalu ikuti anjuran kesehatan yang berlaku dari pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan yang terpercaya. Seperti menutup mulut dengan lengan bagian dalam ketika batu dan besin. Sering mencuci tangan, dan membersihkan rumah secara berkala dengan cairan disinfektan.
Fakta: Wabah SARS pada 2003 yang berasal hanya dari satu orang di sebuah hotel, menyebarkannya ke 16 orang di hotel tersebut. Pola pikir yang harus kita tanamkan, ini bukan tentang risiko pribadi, yang relatif rendah dalam pertemuan sosial dalam skala kecil. Ini tentang risiko populasi.
Jadi jarak sosial adalah metode yang paling mungkin kita lakukan, menghindari pertemuan-pertemuan dalam skala kecil dan besar.
Fakta: di beberapa kota di Cina, jalanan hampir kosong selama sebulan lebih, selama jarak sosial yang ekstrem dilakukan. Pelajaran yang bisa kita ambil dari Tingkok, bahkan dengan jarak sosial yang intens, permintaan rawat inap terus melonjak selama berminggu-minggu. Jadi jarak sosial digunakan untuk mengurangi tekanan pada sistem perawatan kesehatan di rumah sakit.
Fakta: walau penyakit ini dapat menurun di satu kota atau daerah, dengan diberlakukannya jarak sosial yang sangat intens, faktanya virus masih ada, dalam jumlah kecil di orang-orang yang sakit ringan, sakit parah yang dirawat di rumah sakit dan bagian lain di dunia ini. Sejarah menunjukkan, ketika jarak sosial berhasil, jumlah kasus menurun, dan kontrol mulai melemah, virus dalam muncul kembali.
Sampai artikel ini MD rilis, belum ada pihak kredibel, yang mampu memprediksi, sampai kapan kondisi ini akan berlangsung. Yang bisa kita lakukan adalah, bersiap untuk bersatu, saling membantu dan tetap patuh pada jarak sosial untuk memerangi virus Covid-19.
Baca juga: Dampak Social Distancing Terhadap Kondisi Mental Keluarga
*Artikel ini diadaptasi dari: newbernsj.com