Sorry, we couldn't find any article matching ''
Dampak Social Distancing Terhadap Kondisi Mental Keluarga
Tingkat perceraian meningkat tajam di Cina pasca proses karantina karena virus Corona. Sebenarnya, apa dampak Social Distancing bagi seluruh anggota keluarga?
Bersama keluarga selama dua minggu untuk liburan tentu rasanya beda banget dengan bersama keluarga melakukan social distancing sebagai wujud nyata kepedulian kita menjaga virus Corona semakin merajalela.
Sebuah kebersamaan yang bisa dikatakan terpaksa dilakukan. Terbatas keluar rumah mungkin bagi orang dewasa masih lebih mudah dijalani dibanding bagi anak-anak. Anak-anak yang terbiasa bebas bermain di luar rumah, pergi ke sekolah bertemu dengan teman-teman atau jalan ke mall. Dan sekarang itu semua hilang, belum tahu sampai kapan.
Untuk anak-anak yang usianya lebih besar, memang lebih mudah diberi pengertian mengenai kondisi yang terpaksa mereka jalani ini, namuuuun tugas-tugas sekolahnya ternyata menumpuk luar biasa ya. Kedua anak saya sampai mengeluh dan mengatakan bahwa mereka lebih memilih masuk sekolah daripada mengerjakan tugas-tugas yang menggila.
Bagaimana dengan pasangan suami istri yang biasanya memiliki rutinitas berbeda dan tak selalu bersama serta mempunyai me time masing-masing?
Beberapa media online melaporkan bahwa tingkat perceraian di Cina meningkat tajam setelah para pasangan tersebut menjalani karantina gara-gara virus Corona. Salah satu kantor pengacara menyebutkan ada 300 pasang suami istri mengajukan gugatan cerai dalam jangka waktu tiga minggu terakhir. Saking banyaknya, bahkan ada pengadilan yang membatasi hanya menerima 10 gugatan per hari. Penyebabnya?
Karena mereka terlalu banyak menghabiskan waktu bersama di rumah, tanpa kesempatan untuk berjauhan sementara waktu, dan ini membuat emosi mudah terpicu dan lama kelamaan menimbulkan rasa benci.
Salah satu pengacara perceraian di Cina mengatakan “Menjalani masa karantina di situasi yang tidak menyenangkan ini ditambah dengan minim komunikasi antar pasangan memang bisa menghancurkan pernikahan. Ditambah kondisi keuangan yang pada akhirnya tidak stabil.”
Saya pun bertanya kepada Nadya Pramesrani, Psikolog Keluarga dan Pernikahan dari Rumah Dandelion
Sebenarnya, apa dampak dari karantina atau pembatasan aktivitas ini terhadap seluruh anggota keluarga?
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Apalagi ada orang-orang dengan sifat extrovert misalnya, yang memiliki kebutuhan lebih tinggi untuk berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan yang tidak terpenuhi pada akhirnya memunculkan ancaman tersendiri. Misalnya kita bandingkan ni, ketika kebutuhan biologis tidak terpenuhi maka bisa mengancam keselamatan fisik. Nah, ketika kebutuhan emosional atau mental tidak terpenuhi, otomatis kesehatan mental pun terancam. Ini baru ngomong dari segi kebutuhan terpenuhi atau tidak ya.
Lanjut ke segi dinamika, semua anggota keluarga harus beradaptasi dengan kondisi rumah yang berbeda. Saat ini intensitas emosi orang dewasa sudah tinggi karena cemas terhadap situasi. Belum ditambah anak-anak yang bawaannya mau main kalau lihat orang tua di rumah (karena kebiasaan orang tua di rumah saat weekend artinya jalan-jalan).
Tantangan orang tua juga bertambah karena harus menjelaskan ke anak bahwa ini bukan periode liburan, namun ini periode krisis ditambah harus menjelaskan semua itu tanpa membuat anak-anak jadi ikut cemas. Eskalasi emosi sudah banyak sekali.
Kondisi ketiga yang melelahkan dengan karantina di rumah ini adalah NO BREAK! Ketika kerja di kantor, pembagiannya jelas, saat di kantor = break dari urusan rumah (walau masih ngecek dan pantau pastinya). Saat di rumah = break dari urusan kantor. Sekarang dengan work from home? Batas tidak jelas, blurred boundaries itu melelahkan sekali secara mental karena rasanya on guard seharian penuh.
Terakhir, yang paling bahaya adalah kondisi ini indefinite untuk saat ini. Kita nggak tahu ini akan berlangsung berapa lama. Dan sama seperti hubungan digantung itu ngga enak.. .. ya kondisi sekarang lebih parah efeknya. No sense of security kapan bisa kembali normal!
Bagaimana menyiasati perselisihan yang mungkin terjadi antara orang tua dan anak ataupun suami dengan isteri ketika mereka berada di dalam masa karantina?
- Kenali alarm diri kalau mulai intensitas emosi tinggi
- Excuse yourself from that situation
- Calm yourself down
- Repeat
Memang nggak bisa diapa-apain lagi. Strategi regulasi emosi diri yang perlu dikencangkan. Sambil menyiapkan hal-hal yang bisa occupied/calming down the kids. Minta pasangan juga sama-sama regulasi diri dikuatkan.
Strategi regulasi emosi diri seperti apa misalnya?
Cari strategi regulasi emosi diri yang efektif buat masing-masing anggota keluarga. Misalnya,
- Pastikan internet lancar jadi bisa Netflix-an bagi yang senang nonton.
- Stok makanan atau camilan favorit sebagai P3K emosional ketika dibutuhkan.
- Embrace emosi dan proses secara aktif melalui karya (menulis, vlogging, podcast, menggambar dll)
- Meditasi atau berdoa di rumah
- Sebisa mungkin tetap mendapat asupan sinar matahari
- Maintain interaksi dua arah dengan society menggunakan platform digital
- Breath, breath, breath.
Kita semua tentu berdoa agar kondisi ini segera membaik dan pulih. Namun jika tidak, mari kita coba melihat sisi positif dari berkumpul bersama keluarga. Semakin mengenal anak dan pasangan, bisa ngobrol dengan mereka, rutin berhubungan seks bisa juga untuk suami istri, learning a lot about each other’s fears, hopes and dreams.
Stay safe untuk kita semua ya :*
Baca juga:
Work from Home Dua Minggu Be Like ...
Infografis: Panduan Diam di Rumah Bersama Anak Selama Dua Minggu
Share Article
COMMENTS