Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Bisakah seorang anak punya pengendalian diri yang baik? Bagaimana melatihnya?
Dari Twitter, saya menemukan status seperti ini: “Di kereta, pramusaji lewat berteriak Pop Mie. Di depanku, ada bocah minta dibolehin tapi nggak dibolehin ibunya. Si anak rewel, “nggak boleh nakal” bentak si ibu. Bocah menangis. Melihat tragedi itu, aku teriak, “Mas mas, Pop Mie.” Aku beli 1, lalu kumakan Pop Mie-nya tepat di depan mereka.”
Jahil banget, sih, masnya ini. Apa yang Anda lakukan kalau Anda jadi ibunya si bocah?
Anyway, yang ingin saya bahas bukan tentang kejahilan masnya, tapi sebetulnya tentang pengendalian diri pada anak. Anak rewel atau tantrum, di tempat umum pula, hanya salah contohnya. Anak yang pengendalian dirinya rendah juga biasanya sulit diatur, susah didisiplinkan, suka berulah, dan mau enaknya sendiri.
Bicara soal pengendalian diri pada anak, ada satu penelitian menarik yang sangat terkenal yakni Percobaan Marshmallow. Digagas oleh Walter Mischel dari Universitas Stanford tahun 1960-an, Mischel mengetes beberapa anak berusia empat dan lima tahun.
Satu per satu anak dibawa ke dalam suatu ruangan dan sebuah marshmallow disimpan di meja di depan anak tersebut. Mereka diberitahu bahwa mereka boleh memakan marshmallow tersebut sekarang, tetapi apabila mereka menunggu 20 menit, Mishcel akan kembali dan memberikan mereka tambahan satu marshmallow.
Hasil dari percobaan tersebut adalah sepertiga dari anak-anak tersebut memakan marshmallow dengan segera, sepertiga lainnya menunggu hingga Mischel kembali dan mendapatkan dua marshmallow dan sisanya berusaha menunggu tetapi akhirnya menyerah. Tes ini menunjukkan, sebagian anak memiliki pengendalian diri yang menakjubkan.
Beberapa tahun kemudian, Mischel kembali menemui anak-anak yang dites tersebut, ia menemukan, anak-anak yang dapat menunggu memiliki prestasi akademik yang lebih bagus daripada Mereka yang tidak bisa menunggu.
Pengendalian diri pada anak terkait dengan jalannya kehendak. Pada anak yang tantrum dan keras kepala, kita sering mengatakan, “Dia berkemauan keras. Kalau sudah ada maunya, baru bisa diam sampai dituruti.” Padahal keliru jika kita menganggap bahwa badai amarah, sikap menang sendiri, keras kepala, tantrum, adalah tanda kekuatan kehendak.
Seorang tokoh pendidikan asal Inggris, Charlotte Mason, mengatakan, “Seorang anak baru bisa dibilang punya kekuatan kehendak kalau ia bisa menghentikan semua badai itu, menahan dirinya untuk tetap bicara pelan meski dengan bibir bergetar. Anak bisa, karena anak juga punya nurani. Sebelum belajar berjalan pun anak sudah tahu bedanya benar dan salah. Bahkan bayi yang ada dalam gendongan bereaksi ketika kita mengatainya “nakal!”.
Kita sering menganggap, kehendak anak tidak boleh dilanggar sehingga apa pun keinginannya harus diikuti. Definisi kehendak adalah apa yang mengatur hasrat dan selera kita. Menurut teori Charlotte, kehendak (will) seorang anak dikatakan kuat, jika ia bisa memilih untuk melakukan apa yang benar, bahkan ketika si anak tidak menginginkannya. Kehendak anak dikatakan lemah, jika ia selalu memilih ‘rute termudah’, yakni "Aku ingin", daripada membuat pilihan yang tepat tentang apa yang benar.
Dalam sebuah workshop parenting yang mengulas soal pengendalian diri pada anak, bertajuk Habit of Obedience dan Way of The Will, pembicara Ellen Kristi, menyampaikan bahwa pada anak-anak kehendaknya masih lemah. Anak-anak belum punya kekuatan untuk melakukan apa yang seharusnya.
Hal ini karena, secara fisiologis, perkembangan otak anak melalui tiga tahapan, mulai dari otak primitif, otak limbik, dan baru ke neocortex. Sebelum anak berusia empat tahun, otak primitif dan otak limbik yang dominan, sebanyak 80 persen termielinasi (proses pembungkusan jalur syaraf dengan myelin). Setelah umur 7 tahun, barulah mielinasi bergeser ke otak neocortex.mBicara ke anak dengan nada marah-marah, membentak, teriak, atau melabeli anak sebagai anak nakal, justru berakibat merusak otak anak.
Sejak lahir, orang belajar untuk memuaskan kebutuhan APE (Attention, Power, dan Excitement). Orang-orang mendapatkan APE negatif dengan menjadi marah, buruk, sedih, sakit, gila atau kasar. APE positif datang dari melakukan cinta kasih, belajar, terlibat dalam kegiatan yang menyenangkan atau menggunakan bakat seseorang. Menurut Ellen, jika anak-anak gagal mendapatkan APE positif dari orang tua, mereka menjadi terganggu secara emosional, kasar, atau memunculkan kecanduan.
Jika ingin memperkuat kehendak pada anak, salah satunya adalah dengan membantu anak memahami dan mengenali emosinya. Misalnya, dengan teknik validasi emosi, menyebutkan perasaan itu dan apa yang menyebabkannya. Lalu, tunggu sampai emosi berlalu. Dengan validasi emosi, anak merasa dipahami dan diterima.
Orang tua juga bisa memperkuat kehendak anak dengan membantu anak mengaktifkan otak neokorteks. Salah satunya dengan kebiasaan berefleksi. Dari refleksi, ia belajar untuk mengenali diri, emosi, serta reaksi yang muncul dari setiap situasi yang dihadapi. Anak yang kehendaknya kuat, ia akan memiliki kemampuan pengendalian diri yang baik.