Sorry, we couldn't find any article matching ''
Film “Imperfect”: Bukti Semua Perempuan, Bisa Merasa Punya Kekurangan
Tiga minggu tayang di bioskop, film “Imperfect” meraih lebih dari 2juta penonton. Tapi masih ada nih beberapa teman saya yang belum juga nonton. Kenapa masih ragu?
Saya nonton film “Imperfect” di hari pertama penayangan bersama beberapa teman kantor. Lalu karena merasa bagus sekali filmnya, saya menggeret suami untuk juga nonton film ini.
Film yang disutradarai Ernest Prakasa ini berkisah tentang Rara (Jessica Mila) yang sejak kecil tidak cantik menurut standar masyarakat umum. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, dan badannya gemuk. Sialnya, Rara lahir dari ibu supermodel dengan geng sahabat supermodel pula. Tambah sialnya, adik Rara, Lulu lahir dengan kondisi bertolak belakang. Putih, cantik, rambutnya lurus, dan kurus dari lahir. :))))
Jadilah semesta seperti tak pernah berpihak pada Rara. Ibunya selalu mengingatkan agar ia tak makan kebanyakan. Agar ingat pahanya yang gendut, agar tak ngemil coklat terlalu banyak. Betapa body shaming pertama didapat anak dari ibu, meski ibu merasa itu untuk kebaikan anaknya.
Untungnya, Rara masih punya sahabat baik di kantor, Fey (Shareefa Daanish) pacar ganteng bernama Dika (Reza Rahadian) yang satu prinsip dan berbagi nilai kehidupan yang sama. Sampai negara api menyerang LOL, sampai ada satu kejadian yang memaksa Rara untuk mengubah penampilan dan ia malah kehilangan segalanya.
(Baca: Cerita Mereka yang Alami Gangguan Makan: Dari Ortu Abusive Hingga Body Shaming)
Sepanjang film saya diingatkan kalau komentar yang merujuk pada body shaming tuh dengan santai dilontarkan orang. Bahkan orang terdekat kita. Seolah kata-kata itu wajar dan tidak menyakitkan. Padahal efeknya besar sekali, dan yang paling menyebalkan, efeknya menular. Satu orang bilang si A gendut, si B jadi sepakat, si C jadi sepakat, lalu beramai-ramai mereka bilang A gendut.
Dikemas dengan humor, film ini menyentil kondisi dunia yang masih berpihak pada perempuan putih, langsing, berambut lurus yang didefinisikan sebagai cantik. Terlahir cantik saja sudah privilege, bisa dapat pekerjaan lebih baik, lebih gampang diterima lingkungan, lebih disayang ortu, dan banyak lagi.
Tak hanya Rara dengan tubuh gemuknya, berbagai beban berat penampilan perempuan dari berbagai versi pun ditampilkan lewat anak-anak kost ibu Dika. Dari badan gemuk, rambut keriting, gigi tidak rapi, sampai tanda lahir. Film ini berhasil menunjukkan bahwa sesempurna apapun penampilan menurut orang lain, semua perempuan punya insecurities!
Iya karena pada akhirnya, Lulu yang sempurna sejak kecil pun ternyata tetap dikritik lewat hal lain. Intinya orang yang cantik menurut standar society pun bisa tidak percaya diri dan tetap punya celah untuk dibully. Ya maklum, mulut netizen kan tidak bisa begitu saja dikunci.
Jokes juga berhasil dan tidak membosankan. Tidak garing dan masuk di segala suasana. Bahkan sedang sedih dan tegang pun, tetap dimasukkan canda sehingga filmnya bisa tetap menghibur.
Film ini juga jadi pengingat agar tidak memaksakan standar tertentu pada anak. Karena tentu tidak mau dong jadi orang yang membuat luka besar secara psikologis pada anak sendiri.
Yang saya kurang sreg karena tidak relate hanya satu. Tentang bagaimana queenbees di kantor ditampilkan seperti queenbees pembully di film-film remaja. Sejujurnya 9 tahun saya kerja, belum pernah menemukan geng pembully seperti ini di kantor. Bully model lain mungkin ada, tapi merasa cantik lalu membully orang jelek sepertinya sudah tidak musim lagi ya.
Terakhir, two thumbs up untuk Reza Rahadian yang bisa membuat saya lupa kalau ia terlalu ganteng untuk jadi anak gang dari keluarga tidak mampu. Aktingnya sungguh sangat natural sampai rasanya ikut dicintai seperti Rara. Rara yang dipeluk kok saya yang blushing *EH ADUH*.
“Imperfect” masih tayang di bioskop! Yuk ditonton!
Share Article
COMMENTS