Sorry, we couldn't find any article matching ''
Orangtua Zaman Sekarang: Makin Kompetitif?
Perasaan kompetitif memang tidak bisa dipungkiri, namun, seberapa perlukah sesama orangtua merasa tersaingi?
Image:by Randy Fath on Unsplash
Ngomongin sifat kompetitif, mungkin dari zaman orangtua kita masih anak-anak pun sudah lazim ya, ngebanding-bandingin satu sama lain (ya, pasti, sih, lagian itu kan termasuk sifat dasar manusia!) Namun bedanya, kalau dulu saingannya hanya orang-orang terdekat yang sehari-hari ditemui, kalau sekarang, ngelihat si A posting anaknya yang badannya sekel plus (kelihatannya) jago banget makan sendiri, bisa bikin waswas luar biasa. Langsung, deh, kepikiran, “Duh, anakku, kok, nggak begitu, ya?”
Sabar, Bukibu, perasaan tersebut sangat wajar dialami, kok. Dalam hal parenting pun, istilah “rumput tetangga lebih hijau” masih sangat berlaku. Apalagi kini media sosial sudah seperti etalase, mudah sekali merangsang jiwa kompetitif ibu-ibu. Kalau dibuat daftar, inilah yang paling sering jadi bahan “kompetisi” orangtua zaman now.
1. Influencer and their (perfect) life
Dari produk yang digunakan, foto-foto ciamik yang pasti diambil pakai camera canggih, sampai tempat-tempat yang dikunjungi, semua (terlihat) menggiurkan. Padahal, kita nggak tahu aja kalau mereka memang dituntut untuk posting sesuatu yang persuasif oleh brand yang bekerjasama dengan mereka di belakang layar. And again, supaya content tersebut terlihat menarik, tentu ada yang namanya extra effort. Pertanyaannya, haruskah kita merasa tersaingi? Lagian, kita kan tidak memiliki “kewajiban” untuk meng-influence people.
2. Tetangga sebelah yang sering banget liburan
Saya pribadi sangat yakin, kalau setiap orang itu punya minat maupun kebutuhan yang berbeda-beda. Mungkin kita sendiri punya uang yang cukup untuk dipakai berlibur. Masalahnya, nggak semua orang merasa butuh berlibur, tuh. Jadi, nggak perlu heran dan merasa tersaingi kalau tetangga kita bisa loncat sana sini, bahkan bisa keliling Eropa, kalau memang kita sendiri yang mampu pun, nggak segitu minat untuk sering-sering liburan.
3. Teman yang punya banyak waktu untuk mengejar ambisinya
“Wah, enak, ya, dia, bisa ikut kelas ini itu! Saya, mah, boro-boro, ke kamar mandi aja anak masih ngintil!” Jujur, saya sendiri juga pernah banget ngomong gini ke diri sendiri. Namun, sebelum merasa terintimidasi, coba berkaca lagi sama keseharian kita, apakah anak kita sudah bisa ditinggal lama? Apakah kita bisa menjalani hobi kita dengan tenang, mengingat usia anak yang masih butuh kehadiran kita? “Semua ada waktunya!” Percayalah, akan tiba saatnya untuk kita bisa lebih menikmati me time.
4. Mereka yang habis renovasi rumah
Lihat teman yang either baru beli rumah atau renovasi rumah, nggak jarang membangkitkan jiwa kompetitif di dalam diri kita. Well, kembali ke poin-poin yang mesti kita tanyakan pada diri sendiri, memangnya, ada keadaan urgent di mana kita wajib merenovasi rumah sekarang juga? Apakah secara finansial, kita sudah mampu untuk membeli rumah maupun merenovasi rumah? Kalau belum, buat apa merasa tersaingi? Sepertinya sekarang ini kita perlu terus mengingatkan diri sendiri, ya, kalau punya rumah itu bukan PRESTASI!
Baca Juga: 13 Hal Tentang Keuangan yang Wajib Dipahami oleh Perempuan
5. BB dan perkembangan anak (khususnya balita)
Nggak hanya liburan dan rumah, bahkan kini berat badan dan perkembangan anak bisa memicu persaingan. Padahal, situasi dan kondisi yang dialami setiap anak berbeda. Namun memang, perkembangan bb dan tinggi bayi hingga usia tertentu, masih perlu terus dipantau agar sesuai dengan grafik yang disepakati oleh IDAI. Bila tidak sesuai, maka orangtua perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan konsultasi pada ahlinya, yakni dokter anak, bukan sesama ibu yang anaknya seumuran -di grup whatsapp Birth Club- yang jadi patokan.
6. Sekolah anak
Persaingan sengit yang terjadi seputar perkembangan anak pun berlanjut ke tahap berikutnya, yaitu pemilihan sekolah. Mulai dari pilihan kurikulum, sampai biaya masuk, sepertinya semua bisa jadi bahan untuk saling menyaingi satu sama lain. Padahal, yang menentukan pilihan sekolah adalah kemampuan kita secara finansial, dan tentunya, kemauan serta kemampuan anak, hal-hal lain biasanya akan menyesuaikan.
Baca Juga: Biaya Masuk Sekolah Dasar di Jakarta Tahun 2020
Meski menjadi decision maker, pastikan kita memang memilih berdasarkan nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah tersebut, bukan karena gengsi semata.
Share Article
COMMENTS