Sorry, we couldn't find any article matching ''
Saat Orang tua Memiliki Gangguan Mental, Anak Membutuhkan 11 Hal Ini!
Kita sering fokus pada mereka yang mengidap gangguan mental lantas lupa dengan anggota keluarga yang sehat di dalamnya. Apa yang bisa kita lakukan?
Saya ingat banget, salah satu tante saya dari pihak papa mengidap gangguan mental. Tak hanya tante saya, namun juga anaknya yang pertama dan kedua. Di dalam keluarga tante saya, yang tak bermasalah secara mental hanyalah anak terakhir dan suami dari tante saya.
Desas-desus dari keluarga besar yang saya dengar adalah, tante saya menikah dengan sepupunya sendiri, dan ini tidak boleh di dunia kedokteran, karena dianggap bisa menghasilkan anak-anak yang ‘cacat’ secara mental. Apalagi, tante saya sendiri sudah ada gangguan mental, tak heran kedua anaknya jadi ikut terkena gangguan mental. Saya cuma sering mendengar keluarga papa saya menyebutnya achterlijk yang artinya terbelakang.
Ini memori saya tentang mereka …
Tante saya, kini sudah almarhum, dari dulu suka nyanyi sendiri di teras rumahnya, tertawa sendiri, setiap mandi maunya ditemenin sama pembantunya. Kadang keluar dari kamar mandi ya telanjang. Kalau ada tamu, tantenya papa alias eyang saya akan sibuk menutupi tubuh tante saya dengan handuk.
Anak pertama tante saya, sering teriak-teriak nggak jelas. Saya suka malas kalau diajak papa dan mama ke rumah eyang saya yang itu, karena anak pertama tante saya ini pernah menggampar saya. Saya baru datang, dia tiba-tiba lari kencang dari kamarnya, menuju arah saya tahu-tahu … PLAAAK. Tangannya yang besar menampar pipi saya. Sakitnya luar biasa. Kaget bukan kepalang. Tapi saat itu saya tahu saya nggak bisa marah, karena dia berbeda. Ternyata, dia marah sama saya karena papanya merangkul saya. Di waktu lain, ketika dia menstruasi, dia tidak mau menggunakan pembalut, dia biarkan darah berceceran dan mengelapnya ke tembok.
Anak kedua tante saya, kebalikan dari si kakak. Anaknya pendiaaaaaaam luar biasa. Nyaris tanpa ekspresi. Mau marah, mau sedih, mau kesal, diam. Diam dan diam. Malas berinteraksi. Dan suka ketawa-ketawa sendiri. Sampai remaja selalu minta disuapin sama pembantunya.
Saya nggak paham, kenapa saat itu keluarganya tidak ada yang berinisiatif membawa mereka ke dokter, menjalani pengobatan hingga sembuh atau minimal tidak semakin parah. Saya hanya melihat, mereka ‘dikurung’ di rumah. Jarang diajak keluar rumah, sekolah tidak berlanjut, kegiatannya hanya di rumah. Setiap dari mereka dipegang oleh satu pembantu. Tapi kan mereka pembantu, bukan tenaga ahli yang paham tentang gangguan mental.
Short story,
Om saya akhirnya meninggalkan tante saya itu membawa anaknya yang ketiga. Entah apa alasannya. Mungkin lelah. Bisa jadi nggak ngerti mau ngapain. Atau merasa nggak sanggup menjalani hidup dengan tiga perempuan yang memiliki gangguan mental.
Betapa dulu semua orang fokus dengan si tante dan kedua anaknya yang memiliki gangguan mental, dan kurang peduli dengan anak ketiganya yang baik-baik saja. Selalu yang ditanya adalah penderita, tapi keluarga yang sehat dilupakan. Hmm mungkin maksudnya bukan dilupakan, tapi bisa jadi, karena dianggap sehat, nggak butuh perhatian, jadinya ya sudah.
Sekarang saya jadi mikir, ketika seorang anak memiliki orang tua (ditambah dua saudara kandung) yang tidak sehat secara mental, anak ini sebenarnya sangat membutuhkan kepedulian lho dari kita semua.
Apa yang bisa kita lakukan? Menurut website https://psychcentral.com/ ada 11 hal yang bisa kita lakukan terhadap anak-anak yang orang tuanya memiliki gangguan mental:
1. Pastikan anak itu tahu bahwa bukan salah mereka jika orang tuanya memiliki gangguan mental. Anak sering merasa bahwa perilaku aneh yang dilakukan orang tuanya karena disebabkan oleh sikap anak yang kurang behave.
2. Fokus pada hal yang menjadi pusat perhatian si anak. Misalnya anak memerhatikan sekali kalau mamanya kerap menangis tanpa sebab, maka kita bisa coba tanya “ Kamu merasa mama sering nangis ya? Mau ngobrol tentang hal itu nggak?”
3. Berikan penjelasan secara sederhana. Sesuaikan dengan tahapan usia anak.
4. Anak yang usianya lebih besar bisa jadi ingin berbicara tentang kenapa dan bagaimana. Kenapa mama bersikap seperti itu? Bagaimana perasaan kamu? Tak ada jawaban yang benar atau salah, tapi pertanyaan bisa menciptakan percakapan.
5. Pahami bahwa anak-anak kerap merasa takut dengan apa yang dilakukan atau dikatakan oleh orang tua yang mengidap gangguan jiwa.
6. Jika si penderita ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa dan ingin mengajak anak untuk menjenguk, pastikan bahwa si anak memang ingin ikutan datang menjenguk. Jika tidak, hargai keinginannya.
7. Ingat bahwa dia masih anak-anak, maka jangan berikan beban tanggung jawab yang tak sesuai dengan usianya. It is not their job to make sure medication is taken, meals cooked, or siblings cared for.
8. Jangan pernah mengatakan “Kamu nih kalau lagi bersikap begini persis kayak mama atau papa kamu kalau lagi kumat!”
9. Help the children to be his or herself. Dukung apa yang menjadi hobinya, dukung aktivitasnya. Tanya kabar secara rutin. Pastikan mereka tetap memiliki dunia anak-anak mereka.
10. Ingatkan mereka, jika mereka merasa lelah secara mental, bingung, sedih, mereka bisa kapan saja bicara dengan kita.
11. Let them know you will always be there!
Share Article
COMMENTS