Jangan Menghargai Anak Hanya Sebatas Nilai di Kertas Ujian Mereka

Kids

fiaindriokusumo・21 Jun 2022

detail-thumb

Karena ketika posisi dibalik, jika anak menghargai kita hanya sebatas nominal barang yang sudah kita berikan untuk mereka, bagaimana perasaan kita?

Jangan Menghargai Anak Hanya Sebatas Nilai di Kertas Ujian Mereka - Mommies Daily

Sedang ramai berita mengenai anak yang mendapat 6 nilai A namun respon orang tuanya masih tetap tidak puas. Saya jadi ingat, ketika anak-anak saya masih SD.

Anak saya yang kedua (kelas 5 SD waktu itu), pulang-pulang, ercerita tentang teman-temannya yang kena marah oleh orang tua mereka berkaitan dengan nilai rapor yang mereka peroleh.

Cerita pertama:

Ma, tadi si A dibentak-bentak sama mamanya di depan aku sama teman-teman lain pas mamanya baru selesai ambil rapor. Dimarahinnya karena si A peringkatnya turun dari enam ke sembilan.

…… di hari yang berbeda

Cerita kedua:

Ma, tadi temanku cerita, pas pulang ke rumah habis ambil rapor, dia dimarahin sama papanya gara-gara dia ‘cuma’ dapat peringkat EMPAT. Papanya bilang “Papa dulu selalu ranking 3 besar, ini kamu nggak masuk tiga besar, di mana sih otaknya? Kok nggak ada otak! Udah dilesin mahal-mahal!”

Kemudian saya jadi ingat, sewaktu Djati (anak saya yang kedua ini) masih duduk di kelas 3 SD, saya menjemputnya pulang sekolah. Saya melihat teman sekelasnya lari-lari menghampiri mamanya sambil menyodorkan kertas hasil ulangan, dengan nilai 68. Tahu apa yang dilakukan oleh mamanya? Kertas itu dirobek sambil bilang “Nilai kok jelek banget!” Yes, itu dilakukan di depan mata saya dan mata puluhan orang lain kayaknya.

Saya nggak pernah bisa melupakan tatapan mata si anak cowok tersebut. Malu, marah yang nggak bisa disalurkan, sedih.

Baca juga: 10 Tanda Orang tua Tidak Menghargai Anak

Saya pun membahas kondisi ini dengan anak saya, tentang bagaimana saya yang sekarang sudah berbeda dengan saya yang dulu. Saya yang tak lagi ngoyo dengan nilai karena sadar masih banyak hal penting lainnya yang bisa saya lihat dari anak-anak saya. Lalu bercerita bahwa begitu Djati dan kakaknya duduk di kelas 3 SD, saya menyerahkan tampuk pengajaran ke guru les, ahahaha. Kenapa?

1. Saya sadar kapasitas otak saya. Nggak semua materi pelajaran yang dipelajari anak-anak bisa saya pahami. Kebayang nggak, di saat saya harus mengajar mereka tapi sebelumnya saya juga harus mencari waktu untuk mengajar diri sendiri agar materi yang disampaikan benar. Bayangkan, kalau saya sok tahu mengajar anak-anak saya dengan kemampuan terbatas, kemudian salah?

2. Saya tidak punya tenaga. Saya bekerja, jarak antara rumah dan kantor nggak dekat, jalanan macet, ada deadline, anak saya dua dengan materi pelajaran yang berbeda-beda, saya butuh olahraga, saya butuh bersenang-senang, saya butuh istirahat. Kalau harus ditambah mengajarkan anak, saya nggak sanggup.

3. Saya lebih memilih menjaga hubungan saya dengan anak-anak tetap stabil dan harmonis, hehehe. Saya bukan tipe orang yang sabar. Menemani anak belajar dan berlatih selama mereka kelas 1 dan 2 SD menjadi bukti nyata, bahwa profesi guru bukanlah profesi yang tepat untuk saya. Jangan salah, saya sudah pernah mencoba. Menemani mereka belajar. Membuat soal-soal latihan untuk mereka. Melakukan sesi tanya jawab ketika mereka mau ulangan atau UTS atau UAS. Dan yang terjadi adalah, seringkali saya marah bahkan murka ketika mereka tidak paham dengan penjelasan saya. Atau ketika mereka tidak menjawab dengan benar.

Saya jadi mikir, buat apa mereka dapat nilai bagus kalau terus mereka stress setiap kali belajar dengan mamanya? Buat apa mereka dapat nilai tinggi tapi hubungan mereka dengan mamanya memburuk bahkan penuh trauma?

Karena bagi saya pribadi, hubungan baik dan bahagia antara saya dengan anak-anak jauh lebih berharga dibanding sertifikat atau piala yang mencantumkan nama mereka karena sukses meraih peringkat sekian. Masih banyak hal lain kok yang bisa saya gali dari mereka di luar angka-angka di kertas ulangan atau buku rapor.  Aktivitas mereka di olahraga atau seni misalnya. Keberanian mereka dalam menyampaikan pendapat. Atau kemandirian mereka.

Ketika saya memutuskan memberikan wewenang mengajar kepada guru les, apa yang terjadi? Saya bahagia, apalagi anak-anak saya, hahahaha.

Apakah kemudian saya lepas tangan dengan perkembangan akademis anak-anak begitu mereka sudah di-handle oleh guru les? Nggak dong, saya tetap mau tahu dan memang semestinya begitu bukan?

Bicara tentang menyediakan bujet untuk membayar guru les mengajar anak-anak kita bukan berarti kita lepas tangan 100% terhadap urusan akademis anak-anak.

Saat saya bertanya kepada para guru les tentang harapan mereka dari orangtua murid yang mereka ajarkan, tahu nggak mereka menjawab apa?

Bahwa peran mereka sebagai pendidik anak memang iya. Tapi bukan berarti mereka bertanggung jawab PENUH.

Dibutuhkan kerja sama antara guru les dengan orang tua murid. Memangnya berapa lama sih guru itu punya waktu bersama si anak? Antara satu hingga dua jam per hari, bukan? Dan belum tentu setiap hari juga les-nya. Jadi bagaimana bisa kemudian orang tua murid menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada para guru les? Mau anak itu cerdas dan mendapat pendidikan dari guru yang dibayar mahal, guru les tetap butuh bantuan kita para orang tua. Bantuan seperti apa?

Sediakan waktu untuk berdiskusi dengan guru les anak-anak mengenai perkembangan si anak itu sendiri. Kelebihannya apa, kekurangannya apa, bagian mana yang perlu ditingkatkan, ada masalah nggak?

Sediakan waktu untuk berdiskusi dengan anak, tentang kegiatan les yang mereka ikuti, apakah mereka suka, apakah nyaman dengan guru les-nya?

Hargai sekecil apa pun usaha yang mereka tunjukkan dan perubahan positif yang berhasil dicapai oleh anak-anak kita. Karena ketika anak merasa dihargai maka mereka akan semakin bersemangat berusaha dan memberi yang terbaik.

Ingat bahwa itu adalah anak kita, bukan anak si guru. Maka tanggung jawab terbesar tetap ada di tangan kita, orang tuanya!

Salah seorang guru bercerita, “Salah satu anak murid saya sebelum les nggak pernah mendapat nilai di atas 70. Ketika orang tuanya mempercayakan saya untuk mengajar, perlahan anaknya mulai bisa meraih nilai 75 hingga 88. Saat UAS, dari sekian mata pelajaran dia mendapat nilai 80 ke atas, ada satu yang dapat 65, dan ketebak, orang tuanya hanya fokus pada nilai yang 65. Sedih lho saya sebagai gurunya!”

Kita acapkali lupa, bahwa anak diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ketika kelebihan mereka mungkin tidak sesuai dengan keinginan kita, kita pun merasa sulit untuk melihat hal baik tersebut. Padahal, kita sendiri aja nggak bisa menjadi orang tua yang 100 persen sesuai dengan keinginan anak. Lantas kenapa kita menuntut anak harus sesuai dengan kemauan kita?

Menghargai anak jangan hanya sebatas nilai atau angka yang tertera di lembar ujian mereka. Karena, jika anak menghargai kita hanya sebatas harga barang yang telah kita berikan untuk mereka, kira-kira, akan sesakit apa hati kita?