Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jaka Setia: Mengatur Ego Adalah Tantangan Terberat Bagi Saya Sebagai Stay at Home Dad
Mengikuti Program Pelatihan Orang tua, belajar mengontrol diri serta rutin menjalani hobi adalah beberapa tips agar status Stay at Home Dad yang dijalani bisa berjalan lancar.
Mengenal sosok pria satu ini sejak dirinya masih lajang dan bekerja di sebuah media membuat saya sempat kaget ketika kembali bertemu di social media dan mengetahui kini Jaka Setia atau yang akrab saya panggil mas Jaka beralih menjadi Stay at Home Dad. “Menyaksikan’ kedekatannya dengan putri semata wayangnya yang bernama Kemala membuat saya yakin sih bahwa Stay at Home Dad memang pilihan yang dilakukan dengan sadar oleh mas Jaka dan istrinya, Asti Asra.
Bertepatan dengan bulan November yang juga memiliki Hari Ayah Nasional, saya memutuskan untuk melakukan wawancara via email seputar tantangan dan keseruan menjadi SAHD versi Jaka Setia. Berikut hasil wawancaranya …
Sudah berapa lama menjadi Stay at Home Dad (SAHD)?
Sejak Januari 2019.
Alasan akhirnya memutuskan menjadi SAHD apa?
Kebetulan saat itu istri saya, Asti Asra mendapat tawaran bekerja di luar negeri dengan paket yang menarik. Besaran penghasilan yang memadai, ditambah mahalnya biaya hidup, serta keinginan untuk mendampingi putri kami semaksimal mungkin (selama di Jakarta, keseharian putri kami ada di tangan pengasuh dan mertua) membuat kami memutuskan saya menjadi SAHD.
Sebagai SAHD, tanggung jawab serta pembagian tugas antara mas Jaka dengan istri seperti apa?
Karena istri bekerja dari pukul 09.00 hingga pukul 19.00, saya memegang semua urusan rumah tangga dan sebagian pengasuhan putri kami. Kami mengusahakan quality time si kecil dengan ibunya setiap hari dalam bentuk sarapan dan makan malam bersama, menjaga kebersihan badan dan mulut (sebagai sesama perempuan), dan sewaktu tidur. Sejauh ini putri kami tidak berjarak dengan kami berdua.
Tantangan menjadi SAHD apa saja sih?
Mengatur ego diri sendiri adalah tantangan terberat. Saya yang terbiasa bekerja di depan komputer, bersosialisasi dengan teman dan kolega, sekarang menjadi akrab dengan peralatan rumah tangga dan berkomunikasi intens dengan putri kami yang baru berusia tiga tahun. Bila dulu keseharian saya berdiskusi seputar perubahan iklim, perlindungan hutan tropis dan berbagai permasalahan lingkungan yang pelik, kini dialog panjang saya adalah tentang cara mengancingkan baju atau membujuk putri saya untuk menggosok gigi sebelum tidur.
Apalagi ini merupakan kali pertama saya menetap di luar negeri. Sampai saat ini saya belum menemukan rekan SAHD di negara tempat kami tinggal. Satu-satunya support group terkait SAHD yang saya dapat adalah grup tertutup di Facebook terkait SAHD dan segala permasalahan yang dialami dengan lebih dari 5000 anggota yang kebanyakan berdomisili di AS. Maka kemampuan untuk menenangkan atau mengontrol diri atas perubahan besar ini dan bagaimana menyikapinya menurut saya sangat penting.
Bagaimana menjelaskan tentang keputusan ini kepada keluarga?
Kami lahir di keluarga akademisi dengan peran orangtua yang setara sehingga cukup mudah untuk berkomunikasi dengan mereka. Kami jelaskan bahwa peran saya sebagai SAHD adalah keputusan terbaik bagi kami dan masa depan kami. Kami tambahkan juga informasi bahwa negara tempat kami berdomisili sekarang menyediakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan anak. Selain terhadap orang tua, kami tidak merasa perlu menjelaskan keputusan ini kepada pihak lain.
Pandangan salah apa yang masih kerap menempel pada SAHD?
Bahwa menjadi SAHD tidak seberat menjadi SAHM. Saya percaya setiap rumah tangga memiliki irama masing-masing, yang tidak dapat dibandingkan. Tidak usah saling membandingkan, sebaliknya dukung dan perkuat hal-hal positif yang mereka lakukan.
Tips agar menjadi SAHD bisa dijalani dengan menyenangkan?
Banyak belajar dan ikhlas. Saya percaya bahwa satu-satunya hal yang konstan dalam hidup adalah perubahan. Agar tidak terlindas oleh zaman, kita harus belajar hal-hal baru sambil tetap bersikap ikhlas atas segala kekurangan/kehilangan kesempatan dan percaya bahwa semua yang terjadi itu ada hikmahnya.
Untuk memperkuat mental saya menjadi SAHD, saya mengikuti Program Pelatihan Orang Tua (PPOT) yang rutin diselenggarakan oleh sekolah Al Falah, Jakarta Timur. Program tingkat pertama yang saya ikuti selama 2 minggu membuat saya lebih mengenal diri sendiri dan mengingat kembali sikap-sikap untuk menjadi pribadi yang lebih baik (di antaranya ikhlas dan disiplin), yang menjadi bekal yang tepat sesaat sebelum saya full menjadi SAHD.
Di negara tempat kami berdomisili sekarang perpustakaan menjadi bagian dari keseharian, di mana koleksi buku anak dan parenting sangat beragam. Kami secara rutin membaca beragam buku, berdiskusi, dan berusaha menerapkan intisarinya kepada buah hati kami.
Tidak kalah pentingnya adalah menjalankan hobi sebagai penghilang rasa bosan. Hobi saya adalah menjelajahi tempat baru, karenanya saat senggang sering saya manfaatkan untuk mengunjungi bagian kota yang berbeda, atau melakukan riset untuk perjalanan besar tahunan kami (tahun ini kami mengunjungi Sumatra Utara (melihat Danau Toba dan budayanya, orangutan di Bukit Lawang dan gajah di Tangkahan) dan berkesempatan untuk mengunjungi Korea Utara dan RRC.
Hal yang menyenangkan sebagai SAHD?
Saya merasakan hubungan yang lebih dekat dengan putri kami, dan hal ini sangat berharga.
Hal-hal yang baru mas Jaka sadari setelah menjadi SAHD?
Disiplin sangat banyak manfaatnya agak kehidupan lebih mudah, dan sebaiknya juga diterapkan hingga hal-hal terkecil dalam keseharian kita.
Pesan untuk para SAHD lain di luar sana?
Komunikasi yang baik dengan pasangan adalah kunci utama untuk menjaga mental sebagai SAHD.
Jadi, jika ada di luar sana para Ayah yang sedang kepikiran untuk menjadi SAHD, mungkin pengalaman mas Jaka bisa menjadi salah satu masukan yang berharga :).
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS