Bahwa faktanya setelah punya anak, ayah mengalami dua perubahan besar terkait biologisnya. Dari segi hormon testosteron dan otak mereka.
Anna Machin, Ph.D., seorang antropolog evolusi yang berbasis di Universitas Oxford, mempelajari tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan ayah, dikaitkan dengan disiplin ilmunya. Iya meyakini, tubuh para ayah mengalami perubahan bioligis terkait dengan kehamilan, kelahiran dan menyusui. Tidak layaknya tubuh perempuan yang memang sudah didesain Tuhan sedemikian rupa untuk merawat bayi yang baru lahir.
Dilansir dari parenting.nytimes, di awal para ayah itu ragu, mempertanyakan kepercayaan dirinya: “Apakah saya akan menjadi orangtua yang baik? Bagaimana kelekatan saya dengan bayi? Saya harus melakukan apa?”. Wah sampai sini saja, kalau kita perhatikan dengan saksama, ayah itu juga bisa stres, lho.
Itu bariu dari sisi psikis, yang kadang tidak diperhatikan oleh banyak orang. Perubahan status dari single lalu “tiba-tiba” dihadapkan menyandang status ayah, dengan segala tanggung jawab memenuhi hak anak secara material dan emosional. Kata Anna lagi, intinya menjadi ayah adalah fenomena biologis, sama hal seperti yang dialami seorang ibu. Lalu apa saja, ya, perubahannya?
Sebelumnya kita refresh dulu, ya, apa sih fungsi dari hormon testosteron ini. Masih dari Anna, dia bilang hormon pria ini memainkan peranan penting dalam perkembangan dan pubertas cikal bakal janin pria. Tak hanya itu, testosterone juga bertanggung jawab memotivasi pria untuk menemukan pasangan dan, studi menunjukkan, pria dengan kadar testosteron yang lebih tinggi cenderung lebih menarik bagi pasangan potensial.
Nah, ketika seorang manusia menjadi ayah, berarti perhatian akan terpusat pada keluarga dan menolak untuk mencari pasangan lain. Dengan kata lain, para ahli percaya testosterone para pria telah berevolusi.
Sebuah penelitian yang dilakukan selama lima tahun, oleh Dr. Lee Gettler, Ph.D., seorang antropolog Amerika, menunjukkan ada perbedaan kadar testosteron pria lajang dan sudah memilik anak. Ia mengikuti sekelompok 624 yang belum menikah dan tidak memiliki anak di Filipina, dari usia 21- 26. Dari kelompok ini ia menemukan, semua pria mengalmi penurunan testosteron normal, yang berkaitan dengan usia.
Sementara itu, di kelompok yang berbeda, sebanyak 465 pria yang menyandang status ayah selama lima tahun, mengalami penurunan testosterone yang lebih signifikan. Rata-rata 34% (yang diukur di malam hari), dibandingkan dengan mereka ynag tetap melajang.
Ternyata penelitian Dr. Lee senada dengan hasil penelitian demi penelitian secara global, termasuk temuan Anna, yang sudah dipublikasikan di Inggris. Yaitu bahwa pengurangan testosteron ini dapat terjadi sesaat sebelum dan tepat setelah kelahiran anak pertama seorang pria. Dan meskipun tidak jelas apa yang mendorong penurunan ini, Dr. Gettler mengatakan bahwa hasil awalnya sendiri menunjukkan bahwa semakin dramatis penurunan tersebut, semakin besar efeknya pada perilaku pengasuhan pria.
"Kami menemukan bahwa jika ayah baru memiliki testosteron yang lebih rendah sehari setelah bayi mereka lahir," kata Dr. Gettler, "mereka melakukan lebih banyak tugas pengasuhan dan tugas rumah tangga yang berhubungan dengan bayi beberapa bulan kemudian." Wah, menarik, ya mommies?
Tapi, bukan berarti penuruan testosteron ini adalah simbol kelemahan. Beberapa penelitian menunjukkan, semakin rendah hormon testosterone pria, maka semakin besar dorongan dia melepas hormon oksitosin dopamin, atau kita menyebutnya sebagai hormon kebahagiaan. Dengan cara berinteraksi dengan anaknya. Hal ini membuktikan, ketika para ayah merawat anaknya, tidak hanya menghasilkan ikatan yang kuat, tapi juga memunculkan perasaan bahagi, puas dan kehangatan antara ayah dan anak.
Dalam hal ini dari segi struktural, memastikan dirinya menunjukkan keterampilan mengasuh anak. Hal ini diperkuat dengan penelitian dari Dr. Pilyoung Kim, Ph.D., seorang ilmuwan saraf perkembangan di The University of Denver.
Di 2014 Dr. Kim memasukkan 16 ayah baru ke dalam mesin M.R.I. Antara sekali, dua hingga empat minggu pertama kehidupan bayi mereka. Dan dilakukan lagi pada 12 dan 16 minggu. Dr Kim menemukan perubahan otak yang mencerminkan hal-hal yang sebelumnya terlihat pada ibu baru: Area-area tertentu di dalam bagian otak yang terkait dengan kelekatan, pengasuhan, empati dan kemampuan untuk menafsirkan dan bereaksi secara tepat terhadap perilaku bayi memiliki lebih banyak masalah abu-abu dan putih antara 12 dan 16 minggu daripada yang mereka lakukan antara dua dan empat minggu. Dr. Kim percaya perubahan otak ini, berbanding lurus dengan peningkatan keterampilan terkait dengan pengasuhan anak.
Temuan lain soal perubahan otak manusia setelah menjadi orangtua, datang dari Shir Atzil, Ph.D., ilmuwan saraf dan psikolog di The Hebrew University of Jerusalem di Israel di 2012. Menunjukkan bahwa bagian otak yang menerangi kebanyakan sangat berbeda untuk setiap orangtua
Ibu: daerah yang lebih dekat ke inti otak - yang memungkinkan mereka untuk merawat, memelihara, dan mendeteksi risiko - adalah yang paling aktif
Ayah: bagian-bagian yang bersinar paling terang terletak di permukaan luar otak, tempat fungsi kognitif yang lebih tinggi dan lebih sadar berada, seperti pemikiran, orientasi tujuan, perencanaan, dan penyelesaian masalah.
Temuan lainnya yang menurut saya menarik, adalah dari Ruth Feldman, Ph.D., seorang ahli saraf sosial yang berbasis di Israel. Ia melakukan studi terhadap 112 ibu dan ayah, di 2010. Menemukan lonjakan hormon oksitosin yang berbeda untuk ibu dan ayah.
Ibu: terjadi pada wanita ketika mereka mengasuh anak-anak mereka.
Ayah: ketika mereka mengambil bagian dalam permainan yang sulit
Karena otak anak-anak kecil tampaknya meniru tingkat oksitosin yang sama dengan orang tua mereka - yang berarti mereka akan mendapatkan ledakan oksitosin yang sama rasanya ketika bermain dengan Ayah dan ketika diasuh oleh Ibu. Perilaku berulang-ulang khusus dengan orangtua, yang sangat penting untuk perkembangan mereka. Inilah kenapa “hadir sepenuhnya” jiwa dan raga ketika main sama anak sangat dibutuhkan, salah satunya untuk perkembangan sosial mereka.
Artikel ini diadapasi dari: parenting.nytimes