Masalah gender pada anak, ternyata tidak sehitam putih itu. Saya jadi berpikir, kalau saja suatu saat anak kita mengatakan dirinya ingin berganti gender, sejauh mana orang tua bisa membebaskan?
“Selamat ya, anak ibu laki-laki,” begitulah memori yang melekat, saat baru melahirkan dulu. Jenis kelamin anak membawa implikasi yang panjang. Umumnya, sudah terbentuk frame sendiri. Punya anak laki-laki berarti tidak ada warna pink di rumah. Sedikit pun. Dari mainan, interior rumah, pernak-pernik, sampai baju. Warna apa pun, asal bukan pink. Dari pemilihan warna, baju, tayangan televisi, sampai jenis aktivitas yang kita pilihkan, otomatis akan berbeda.
Saya mendapati, ternyata tidak semua anak masuk dalam dikotomi sederhana antara laki-laki dan perempuan. Ada beberapa kasus gender yang kompleks. Anak saya, misalnya. Semakin besar, semakin terlihat sisi femininnya lebih kuat walaupun dia laki-laki.
Contoh lain, teman saya, Amel. Ibu dua anak ini mengaku terheran-heran dengan perilaku anaknya. Sebutlah anaknya A1 dan A2, yang masing-masing berusia 8 dan 6 tahun. Si sulung, A1, anak perempuan yang sangat tomboi. Dalam hal baju, ia juga lebih senang dengan karakter yang umumnya disukai anak laki-laki, superhero seperti Batman, Captain America, Spiderman, Hulk, Thor, dan sebagainya. Sebaliknya, si adik yang laki-laki, lebih suka karakter semacam princess dan Little Pony. Alhasil, Amel yang tadinya membelikan baju dengan karakter feminin untuk si kakak, ditolak habis-habisan. Sementara, adiknya, dengan senang hati menampung baju-baju kakaknya. Selain rok tentunya. Menurut ibunya, di balik baju-baju A2 yang terlihat laki-laki dengan kemeja dan celana, celana dalam yang dikenakannya bergambar karakter princess.
Keheranan saya makin bertambah ketika saya berkunjung ke rumah seorang sahabat yang tinggal di Solo, bernama Laila. Ia punya tiga orang puteri. Si sulung dan si bungsu sangat feminin. Keduanya sama-sama senang berbaju gambar princess dan dress. Sama-sama pesolek, dan menikmati rambutnya dibiarkan tergerai panjang, ataupun didandani macam-macam oleh mamanya. Namun, tidak demikian dengan si tengah. Saya perhatikan, bukan hanya dari baju dan potongan rambut yang cepak, gayanya juga sangat laki-laki. Si tengah ini pemarah, kalau sudah marah, wajahnya akan cemberut, memerah, lalu cenderung kasar dan violence pada kakak ataupun adiknya. Si tengah bukan hanya tidak mau pakai rok, ia juga lebih suka menggunakan sarung untuk salat, ketimbang mengenakan mukena.
Laila bercerita, pada usia 4 tahun, si tengah sudah bisa protes, “Mama, kenapa sih lahirin aku tanpa titit. Aku kan laki-laki!” Begitulah, si tengah selalu merasa dirinya laki-laki. Kalau sedang kangen dengan Laila, saya suka menanyakan kabar si tengah. “Sekarang sudah mau pakai mukena,” begitu kabar terakhir yang saya dengar dari Laila, tentang anak tengahnya.
Pernah juga, saya berkenalan dengan seorang ibu yang anaknya sudah menginjak remaja. Clarissa, gadis berusia 13 tahun, mengingatkan saya pada si tengah. Clarissa tidak senang bermain dengan sesama anak perempuan. Ia lebih suka bermain dengan anak laki-laki. Menurut ibunya, mungkin karena anak laki-laki mainnya lebih seru. Lebih aktif bergerak dan lari-larian, hal yang disenangi Clarissa. Dalam hal bacaan yang disukai, Clarissa senang membaca sejarah tentang perang. Perang dunia hingga perang kemerdekaan.
“Jangan panggil aku Clarissa. Panggil aku Leonardo,” kata Clarissa, saat bermain dengan anak saya dan teman-teman lainnya. Ia tak segan main pedang, berkelahi, main bola, dan berbagai permainan ‘macho’ lainnya. Sementara, anak saya yang laki-laki, malah menghindari berbagai permainan ‘macho’ tersebut. Untuk lari-larian, anak saya masih bisa tahan, tapi kalau sudah main fisik seperti berkelahi, main bola, ia lebih memilih jadi penonton saja.
Saya jadi berpikir, kalau saja suatu saat anak kita mengatakan dirinya ingin berganti gender, sejauh mana orang tua bisa membebaskan?