Sorry, we couldn't find any article matching ''
Single Mom Survival Guide: Yuli Feizal, “Kegagalan Berumah Tangga Bukan Berarti Kegagalan Hidup”
Kegagalan berumah tangga bukan berarti sama dengan kegagalan hidup. Dan berumah tangga adalah sebagian dari kehidupan seorang manusia.
Demikian kutipan wawancara saya dengan Tante Yuli. Saya beberapa kali mendengar langsung cerita tentang Tante Yuli saat makan siang bersama anaknya yang juga karyawan Female Daily Network, Shabrina Sidharta.
Dua belas tahun bercerai, perempuan kelahiran Mataram 47 tahun lalu ini berbagi ceritanya untuk mommies semua. Saya sampai ikut terharu lho membacanya huhu.
1. Berapa lama menikah sampai akhirnya harus bercerai?
Saya menikah tanggal 8 Januari 1996, dan waktu itu saya belum menginginkan pernikahan. Karena kekhawatiran ibu saya dengan stigma masyarakat bahwa anak perempuan kalo tidak segera menikah, dan sudah bekerja akan lupa untuk menikah karena keasyikan bekerja. But I'll do it, meskipun tidak tahu sebenarnya untuk apa saya menikah, kenapa saya harus menikah bla ba bla, banyak pertanyaan di pikiran saya.
Pernikahan saya berjalan sekitar 10 tahun tapi di tahun ke 7 saya sudah berpisah dengan suami. Tepatnya tanggal 6 Juli 2006, saya bercerai sesuai akta cerai yang dikeluarkan pengadilan agama. Kenapa 3 tahun setelah berpisah baru mengurus akta cerai, karena saya dan suami perlu waktu untuk cooling down, dan tentunya anak semata wayang kami juga perlu memahami. Saya berangkat mengajukan Khulu / perceraian ke kantor pengadilan agama setelah putri saya meminta untuk bercerai.
Saya memilih berpisah, karena banyak hal-hal yang harus saya perjuangkan sendiri untuk putri saya, mengapa? Pertama, karena suami saya tidak pernah bisa menyayangi anaknya sendiri dengan tulus dan berlaku keterlaluan bila marah pada putri kami. Kedua, karena suami tidak sepaham dan tidak mendudukkan kami sebagai istri dan anak yang seharusnya diprioritaskan.
Kami adalah prioritas terakhir untuk pemenuhan kebutuhan primer kami dan kami harus memprioritaskan apa yang jadi setiap keputusan yang dibuatnya untuk kebutuhan suami dan keluarganya. Walaupun keluarganya tidak meminta hal tersebut, saya sebagai istri harus keep silent dan menerima semua keputusan yang dia buat tanpa boleh berbicara.
Ketiga, saya dan anak saya tidak boleh berkomunikasi dengan ibu dan keluarga saya tanpa seijinnya (apalagi membantu), dan setelah bercerai saya baru tahu tapi dibelakang saya ternyata suami ingin menguasai harta warisan saya dengan mengancam ibu saya.Ke empat, kami tidak bisa berkomunikasi dengan wajar. Saya hanya bekerja sebagai istri, ibu dan tidak lebih. Apa yang saya ucapkan, tidak perlu didengar. Dan terakhir saya merasa ada yang tidak beres dengan kejiwaannya.
2. Apa kekhawatiran terbesar saat akan bercerai?
Setelah berpisah, di tahun ke 7, hal yang paling saya takuti adalah anak saya menjadi musuh saya, hanya karena dia belum mengerti apa yang ibunya alami. Saya keluar dari rumah suami, dengan bantuan ibu saya dan karena saya diterima kuliah S2 di UI - Jakarta. Dan saat itu saya tahu, bahwa yang saya hadapi adalah perceraian saya. Saat itu, suami saya tidak memperbolehkan saya untuk membawa anak saya ke jakarta. Dan itu memang sudah saya prediksi.
But fine, saya sangat percaya diri bahwa niat liciknya dengan menahan anak saya agar saya kembali ke rumah, tidak akan berhasil. Mengapa? Karena di usia anak saya 4 tahun, saya sudah menata diri dan berjaga-jaga apabila memang benar saya harus berpisah dengan suami. Dan saya sangat yakin anak saya tidak akan berpisah bisa berpisah dari saya, karena ayahnya tidak pernah menyentuh atau menyayanginya seperti ibunya, semua kebutuhan anak saya berasal dari tangan saya, semua hal yang menyakitkan dari ayahnya disembuhkan oleh saya, mata hati anak saya tidak akan tertutup, dia akan tahu siapa orangtuanya yang lebih bertanggungjawab pada dirinya.
Then, saya melangkah ke Jakarta sendiri, tapi 6 bulan kemudian suami saya mengantarkan anak saya ke rumah saya tanpa bicara apapun meninggalkan anak saya di rumah saya. Kemudian esok harinya mertua saya yang menyampaikan bahwa anak saya sebaiknya ikut saya. Rupanya suami saya diminta mengembalikan anak saya karena suami saya dianggap tidak mampu mengurus dengan baik.
3. Berapa lama mengalami fase terpuruk dan apa yang bisa membuat kembali bangkit?
Fase terpuruk saya justru saat saya belum bercerai, bahkan saya tidak mampu menolong anak saya bila dihukum ayahnya. Sampai suatu hari mertua saya tahu dan menyadarkan saya bahwa saya salah membiarkan suami saya menghukum anaknya dengan cara yang tidak wajar.
Dari situ saya bangkit, memperjuangkan nasib anak saya. Menata daya yang pernah hilang untuk merencanakan perceraian, di tahun anak saya berusia 4 tahun. Saya mulai bekerja, mengumpulkan uang secara sembunyi-sembunyi yang bila sewaktu-waktu diperlukan. Bahkan bekerjanya pun sembunyi-sembunyi. Saya memberikan les privat pada anak tetangga, kemudian dibantu adik sepupu saya yang masih kuliah, saya memberikan les kebeberapa siswa di area komplek perumahan, setelah itu dibantu kakak sepupu, saya bisa menjadi guru TK di sekolah yang dikelolanya.
Ketika saya kuliah S2 di UI, saya dibantu ibu saya untuk membiayai hidup saya. Karena jasa ibu saya juga, saya dipercaya dan diterima bekerja sebagai pegawai honorer di lembaga saya sekarang. Saat itu memang masih sulit, tapi saya percaya, rejeki anak saya tidak akan tertukar, bila saya niatkan lillahi ta'ala membesarkan, mendidik dan bertanggungjawab atas titipannya, maka semua pasti baik-baik saja dan pasti terselesaikan.
Alhamdulilah, karena kemurahan Allah, saya bisa diterima menjadi pegawai penuh di Kementerian, setelah lolos berbagai tes. Dan hal ini tidak menjadi hal yang menyurutkan niat saya, bahkan semakin semangat karena perjuangan saya masih jauh, anak saya harus berhasil menjadi orang yang bisa bertanggungjawab atas dirinya dan mandiri.
Tapi cobaan memang selalu datang untuk memberikan pelajaran agar kita naik kelas, ketika saya mengurus kepegawaian saya untuk menjadi PNS penuh, disaat itulah anak saya meminta saya untuk bercerai dengan ayahnya. Ya jalan sudah diatur, saya mengurus keduanya. Tapi itu sangat melegakan, baik untuk saya maupun anak saya.
4. Apa masa tersulit yang pernah dihadapi sebagai single mom?
Masa tersulit bagi saya setelah berceraian adalah memposisikan diri di lingkungan bekerja yang mayoritas laki-laki dengan menyandang predikat janda. Stigma "janda" apalagi masih usia muda, menjadi rawan pelecehan di lingkungan kerja saya. Saya tidak mengatakan itu godaan, saya lebih mengatakan itu adalah penghinaan. Joke-joke tidak senonoh kerap dengan sengaja dilontarkan di depan saya, bahkan oleh pegawai wanita.
Dengan sengaja merangkul bahu, atau mencolek, meninju lengan, lama-lama menjadikan saya gerah. Pada saat itu senjata saya hanya menampakkan wajah flat dengan menanyakan pada saat itu juga "maksudnya apa ya bercerita atau melakukan gerakan yang sengaja ditujukan ke saya?".
Akhirnya jadi saya disebut galak, but fine dengan begitu lingkungan saya menjadi tahu bahwa saya profesional bekerja tanpa bumbu-bumbu romantisme atau perselingkuhan. Dari situ saya menjaga image saya, meskipun berat, buntutnya saya malah lebih jadi workoholic. Tapi itu bagus untuk menguras energi dan pikiran saya, sehingga saya bisa fokus membesarkan dan menyekolahkan anak saya.
Being single mom was fun and is fun. Why? kita bisa memikirkan dan memutuskan dengan cara kita. Saya memilih untuk make team dengan anak saya, memberikan pengertian segala hal yang harus diputuskan bersama dan apa yang harus menjadi keputusan saya selaku orang tua, menjadi lebih mudah. Intinya komunikasi baik.
Untuk perempuan yang dulu dibungkam tidak boleh bicara, saya menjadi person yang lebih baik ketika menjadi single mom.
5. Siapa yang berperan paling besar sebagai tempat curhat?
My daughter, karena saya tidak bisa mempercayakan cerita saya pada orang lain. Tapi saya curhat dalam hal yang sudah diatur sesuai pemahaman anak saya, dan biasanya yang menyangkut hal-hal untuk dirinya.
Tapi saya kira, saya tidak terlalu cengeng untuk menangisi jalan hidup saya, jadi untuk hal-hal yang menyangkut diri saya lebih banyak masalah pekerjaan.
Dan mungkin karena saya sudah disibukkan oleh banyaknya load pekerjaan yang sangat tinggi, sepertinya hidup dan cerita saya berada di seputaran pekerjaan, and I make that fun for me.
6. Pernahkah datang ke psikolog? Atau adakah self healing spesifik yang dijalankan?
Nope, saya tidak pernah datang ke psikolog, tapi saya sangat terbantu ketika saya kuliah di Kajian Wanita Pascasarjana UI. Mayoritas dosen, teman dan staf yang ada di jurusan tsb sangat memahami kondisi saya dan bisa diajak berdiskusi untuk masalah2 saya.
Masa ini sangat membantu, termasuk bagaimana menghadapi sidang perceraian saya yang sangat diskriminasi terhadap perempuan, saya banyak belajar di sini. Dan disini saya mengerti bahwa manusia harus menghargai dirinya, tubuh, pikiran dan jiwanya. Self-healing saya memang dikisaran waktu ini, selain keterampilan ini memang sudah sering saya terima saat saya sekolah di SMP dan SMA.
7. Bagaimana memanage hubungan dengan mantan suami?
Hal pertama saat saya bercerai dengan suami, saya sangat ketat untuk berbicara dengan mantan suami, hanya mau berkomunikasi masalah anak. Saya tidak mau bicara masalah lain, karena nanti akan melebar dan menghabiskan waktu saya yang saat itu sedang membangun karir dan menata hidup.
Lagipula, tidak ada yang perlu dibicarakan selain urusan anak. Ketika mantan suami memberitahu bahwa dia akan menikah lagi, yang terbersit di hati saya, alhamdulilah, karena mantan suami akan disibukkan dengan urusan rumah tangganya dan tidak meneror saya lagi. Tapi saya selalu berniat tidak akan menjauhkan anak saya dengan ayahnya, perkara ayahnya yang menjauh itu lain hal.
Setelah menikah lagi, justru saya lebih komunikatif baik dengan mantan suami, istrinya dan keluarga istrinya. Ketika ada yang ulang tahun, anak saya dan saya pasti datang. Saya akrab dengan istri dan keluarganya, keponakannya dan anak bawaan istrinya. Anak dan ponakannya memanggil saya bunda dan bila kami datang, ramai sekali menyambutnya.
Ketika istrinya hamil dan melahirkan anak perempuan, anak saya yang juga dekat dengan maminya, ikut menunggu di rumah sakit, dan memberi nama pada adiknya. Sampai sekarang, kedua adiknya masih berkomunikasi dengan anak saya, kalo sama saya sudah jarang, karena saya membatasi diri, khawatir saya lebih menjadi favorit mereka dibanding orang tuanya.
8. Bisa berbagi tips survival guide untuk single mom lain?
Kepercayaan diri bukan masalah materi, tapi masalah mempercayai diri sendiri bahwa diri kita berharga dan mampu mengatasi masalah. Perempuan yang tumbuh dalam lingkungan budaya di Indonesia, mayoritas kehilangan identitas diri dan tidak punya kuasa atas dirinya sendiri.
Ketika masih anak-anak hingga kuliah, dirinya diatur oleh budaya di keluarga dan norma-norma di masyarakat. Ketakutan atas stigma yang diberikan masyarakat apabila tidak sesuai, hal ini menurunkan rasa percaya diri, apalagi kalau semua keputusan akan setiap langkah hidupnya dipaksakan harus sesuai keputusan orang tua.
Ketika menikah, hidupnya kembali diatur oleh keluarga baru, sering terjadi pemberontakan dalam diri, tapi apa daya, ketika tidak mampu bersuara menjadi semakin terpuruk, ketika bersuara mendapat stigma sebagai istri yang suka membantah. Maka ketika terjadi perceraian, status single mom dimaknai tanpa jatidiri dan tanpa daya yang cukup untuk menopamg kehidupannya. sehingga banyak yang harus dibantu keluarga untuk melanjutkan hidup dengan cara yang dipahami oleh keluarga.
So, being single mom adalah anugrah yang berbeda yang diberikan Allah pada perempuan. Kita sering mendengar bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan kepada orang yang tidak mampu, tapi justru kepada orang yang mampu. Maka seharusnya itu menjadi moment dan motivasi untuk membuktikan bahwa Allah ingin perempuan itu menjadi dirinya sendiri, mandir, mampu bertanggungjawab atas dirinya dan anak-anaknya.
Kegagalan berumah tangga bukan berarti sama dengan kegagalan hidup. Dan berumah tangga adalah sebagian dari kehidupan seorang manusia.
9. Kalau sekarang, apa yang membuat yakin kalau hidup pasca bercerai pun akan baik-baik saja?
Tentu saja saya yakin semua baik-baik saja, sudah 12 tahun lebih saya bercerai ya. Alhamdulilah anak saya sudah lulus kuliah, sudah bekerja, bisa mengambil peran di masyarakat, bisa mandiri dan bertanggungjawab pada dirinya.
Dua belas tahun bukan waktu yang singkat untuk memahami mengapa jalan hidup saya berbeda dengan perempuan lain. Dan ketika semua masalah bisa diselesaikan, tentu saja hal-hal di depan bisa direncanakan dengan baik, untuk kehidupan yang lebih baik.
Semoga semua diberikan kesehatan dan keberkahan hidup. Aamiin.
Terima kasih atas kesempatannya untuk berbagi pengalaman. Be proud to be a woman.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS