Ditulis oleh: Ficky Yusrini
It takes a village to raise a child!
Membesarkan anak bukan hanya menjadi PeeR orang tua masing-masing. Masyarakat dan lingkungan juga turut menentukan pembentukan karakter seorang anak, selain tentunya peran negara dalam meletakkan komitmen perlindungan anak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2017 diperkirakan jumlah anak-anak berusia 0-17 tahun adalah 79,6 juta jiwa. Ini artinya hampir satu dari tiga penduduk Indonesia adalah anak-anak. Sehebat apa pun teori parenting yang kita terapkan, kita tidak bisa menutup mata pada masalah yang dialami anak-anak di Indonesia. Masalah apa sajakah itu?
Dari berbagai penelitian internasional seperti Program for International Student Assessment (PISA), yang diterbitkan oleh organisasi negara-negara maju (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD). Skor Indonesia tahun 2018 menempati urutan 62 dari 70 negara, lebih tertinggal dari Singapura, Thailand, dan Vietnam. PISA mengukur tiga indikator kualitas pendidikan, yakni matematika, sains, dan literasi bagi siswa berusia 15 tahun. Begitu juga, skor pada Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS), siswa Indonesia menempati posisi 40 dari 42 negara. Sementara pada pemetaan The Learning Curve, Indonesia menempati posisi 40 dari 40 negara. Dan, menurut Central Connecticut State University, yang membuat ranking World’s Most Literate Nations, tingkat literasi Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara.
Menurut Data Cyber Crime Polri 2018, setiap harinya terdapat 25 ribu konten pornografi yang diakses dan bisa jadi mereka yang mengakses adalah anak-anak. Studi mendalam pernah dilakukan oleh Kominfo bekerja sama dengan UNICEF, pada Anak dan Remaja di Indonesia, tahun 2014. Terungkap, sejumlah besar anak dan remaja telah terekspos konten pornografi, terutama ketika muncul secara tidak sengaja atau dalam bentuk iklan. Untuk itu, para orang tua perlu memberikan pemahaman tentang keamanan digital di internet, sehingga anak terhindar dari paparan konten negatif.
Menilik data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2018, terdapat 4885 kasus yang masuk. Kasus kekerasan anak ini lingkupnya amat luas, berkaitan dengan hukum, masalah keluarga, pornografi dan kejahatan seksual, pendidikan, serta kesehatan dan narkoba. Tak sedikit pula kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan, dalam hal ini bullying atau perundungan, baik menyangkut anak sebagai korban maupun sebagai pelaku.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2018, anak yang menikah di usia kurang dari 16 tahun sebesar 37,91 persen. Sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat 1 huruf c menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Ada berbagai dampak yang terjadi pada pernikahan bawah umur, terutama bagi anak perempuan, yaitu kehamilan dan melahirkan dini dengan risiko bayi yang dilahirkan prematur dan stunting, risiko kematian pada ibu, hilangnya kesempatan melanjutkan pendidikan dan kesempatan mendapatkan pekerjaan, serta rentan akan perceraian.
Fenomena anak dan remaja yang merokok kian meningkat. Tahun 2017, terdapat 0,33 persen dari anak usia 5-17 tahun yang merokok tidak setiap hari dan 1,3 persen anak yang merokok setiap hari.
WHO resmi memasukkan perilaku kecanduan game ke dalam versi terbaru International Classification of Diseases (ICD) Internasional. Karenanya, kebiasaan bermain game lebih dari tiga jam setiap harinya, saat ini telah didefinisikan dalam gejala gangguan mental. Akibat kecanduan game ini berdampak pada perubahan perilaku anak. Anak sulit ditegur untuk berhenti dari gadget, berontak, dan menjadi marah tidak terkendali. Ada juga efek lainnya pada turunnya prestasi di sekolah karena kebiasaan main game.
Tingginya anak dan remaja yang aktif menggunakan internet di Indonesia sayangnya tidak diimbangi dengan pemahaman literasi digital. Anak menjadi rentan terhadap informasi hoaks, mempertaruhkan keamanan data pribadi dengan menggunakan aplikasi yang tidak aman, kecanduan media sosial, melakukan atau menjadi korban perundungan, serta ketidakpahaman akan langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi reputasi mereka di ranah online yang dapat memiliki konsekuensi di dunia nyata. Salah satu contohnya adalah aksi yang pernah dilakukan sekelompok remaja Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Reporting Commision (IReC) yang menghapus sebuah Grup Meme besar di Facebook yang menuai kemarahan netizen internasional.