Anak SD tantrum, masih?? Waktu balita ke mana aja? Eh?
Di mana-mana yang namanya tantrum, BIASANYA, terjadi pada anak di sekitaran usia 2 tahun. Karena itulah akhirnya muncul istilah terrible two. Fase ini dianggap normal, karena anak di usia tersebut mulai merasa ‘besar’ dan ingin bebas melakukan segala sesuatunya sendiri. Sehingga kerap anak menunjukkan mood swing, tantrum, marah-marah sampai guling-gulingan, hingga melawan dan membantah. Tentang terrible two lebih jauh bisa dibaca di sini ya.
Nah, lalu bagaimana dengan anak SD yang masih tantrum, bahkan hingga berlebihan? Kemarin saya sempat ngobrol-ngobrol sama mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi, kenapa, sih, anak SD masih ada yang tantrum. Apakah karena memang ada kondisi khusus, atau hanyalah sekadar pembiaran dalam menerapkan pola asuh?
Kalau menurut mbak Vera, penyebabnya bisa banyak hal. Ada yang karena memang mengalami gangguan perkembangan tertentu seperti misalnya terlambat bicara sehingga ia pun sulit mengekspresikan emosinya. Ada juga yang karena mengalami gangguan emosional. Nah, anak yang sudah SD masih tantrum juga mungkin karena disebabkan orangtua nggak mengajarkan bagaimana berekspresi dengan baik, ada pula yang karena memang terbiasa. Terbiasa tantrum untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Jadi, ya, harus dilihat dulu latar belakangnya kenapa si anak yang sudah usia SD ini masih saja tantrum.
Jika memang karena ada gangguan perkembangan, maka sebaiknya dilakukan penanganan yang tepat. Namun sepengalaman mbak Vera, sih, untuk anak berkebutuhan khusus dengan penanganan dini biasanya tidak akan tantrum hingga SD. Sementara dari banyak kasus, justru karena dipengaruhi dengan pola asuh. Yang artinya, jika anak belajar bahwa tantrum adalah cara untuk ia mendapatkan apa yang ia mau, maka tantrum ini dipastikan akan lestari.
Yang pasti jika anak tantrum karena terbiasa oleh pola asuh yang mengizinkan ia melakukan hal tersebut, ya pola asuhnya harus diubah. Ketika si kecil mulai menunjukkan tantrumnya, tenangkan dirinya lalu ajak bicara dengan tujuan mengajarkan ia bagaimana ekspresi yang baik. Jangan lupa, untuk selalu bertahan tidak memberikan keinginannya ketika ia tantrum. Dalam penanganan ini, mbak Vera memberi saya tips dengan melakukan 5 Steps Emotional Coaching:
Be aware of your child’s emotion. Dengan ini kita jadi lebih bisa mengenali emosi apa, sih, yang sedang dirasakan anak.
Use emotional moments as opportunities to connect. Sebaiknya ketika ia tantrum jangan langsung di-dismiss perasaannya. Kita bisa gunakan momen ini untuk berkomunikasi dengannya.
Help your child verbally label emotion. Kita bisa bertanya, apakah dia sedang merasa sedih, marah, kesal? Lalu minta ia ucapkan secara verbal emosi yang ia rasakan.Ini membantu dia juga untuk mengenali emosinya sendiri.
Communicate empathy and understanding. Kita bisa bilang sama dia kalau kita mengerti banget apa yang dia rasakan. Kita pun juga pernah merasakan hal yang sama, kalau perlu bisa kasih contoh sederhana yang ia mudah mengerti.
Set limit and problem solve. Cari solusinya sama-sama. Nggak berarti langsung menuruti apa yang ia mau. Dalam hal ini kita juga bisa mengajarkan ia bagaimana berkompromi dengan situasi.
Selamat mencoba buat ibu-ibu yang anak SDnya masih tantrum. Good Luck!