[SPOILER ALERT]
Dua kali menonton film “Dua Garis Biru” di akhir pekan kemarin, sampai saat ini saya masih belum bisa move on. :(
Film ini menampilkan realita, kejadian yang bisa dan mungkin pernah terjadi pada diri kita atau di sekitar kita. Dan film ini tidak sesederhana istilah “married by accident”. Bahkan, pernikahan hanya menjadi porsi kecil dari sekian banyak konflik di film ini.
“Dua Garis Biru” bercerita tentang Bima dan Dara, dua siswa kelas 3 SMA yang berpacaran kemudian hamil. Konflik kemudian berputar di antara mereka berdua dengan cita-cita masing-masing, orangtua mereka yang tidak juga sepakat, plus reaksi kakak Bima serta adik Dara yang semakin membuat film ini terasa nyata.
Bahwa ini yang akan terjadi ketika kamu hamil di usia yang sangat muda dan masih sekolah. Seberapa banyak orang yang jadi sedih, bingung, gelisah, dan para orangtua yang tentu merasa gagal mendidik anak. Bagaimana sekolah bersikap, bagaimana teman-teman memperlakukan, dan bagaimana masa depan dipertaruhkan.
Jadi kalau ada yang bilang film ini mempromosikan zina, well, nonton dulu deh. Adegan berciuman saja tidak ada. Tidak ada adegan syur atau adegan panas sama sekali. Scene pacaran pun dibuat sederhana dengan obrolan seputar artis Korea, selayak anak remaja seumuran Dara.
Justru setelah nonton film ini dan diskusi panjang dengan orangtua, anak seharusnya akan tahu persis apa risiko-risiko hubungan seks saat tubuh masih terlalu muda.
Masih banyak orang yang beranggapan, seks di usia muda dilakukan oleh anak-anak yang kurang pendidikan. Kenyatannya tidak, seks pranikah apalagi di usia sekolah berpotensi dilakukan siapa saja. Anak pintar maupun kurang pintar, anak dari kalangan berada maupun kalangan bawah. Semua mungkin melakukannya, termasuk anak-anak kita sendiri.
Saat saya share tentang film ini di Instagram Story, beberapa orang bilang kalimat semacam “makanya anak jangan dilarang pacaran, mending dikenalin aja dibawa ke rumah biar bisa dinasihatin gimana pacaran yang sehat”. Saya mengerti maksudnya karena sudah terlalu banyak cerita orangtua yang terlalu mengekang malah membuat anak menjadi membangkang.
Tapi setelah nonton ini saya jadi sadar kalau itu bukan solusi. Karena kenyataannya baik orangtua Bima atau Dara, sama-sama tahu kalau mereka berpacaran. Yang terpenting justru komunikasi.
Di akhir film, Cut Mini (mama Bima) bilang “Harusnya kita sering-sering ngobrol gini ya, Bim.” Yep, meskipun Cut Mini diperlihatkan sebagai ibu yang sayang dan perhatian pada keluarga, ternyata masih saja kurang. Mereka kurang bicara dari hati ke hati, kurang terbuka terutama soal seks.
Jangankan dengan anak seumuran Bima, ibu-ibu yang anaknya masih balita saja panik kok ditanya bayi keluar dari mana. Padahal tinggal dijawab keluar dari vagina. Berikutnya banyak yang lebih pusing ditanya menstruasi itu apa?
Padahal saya jawab ke Xylo (5 tahun) menstruasi itu keluar darah dari vagina pun ia tidak mempertanyakan lebih lanjut. “Kalau perempuan tidak hamil, dari vaginanya keluar darah tiap bulan. Kalau hamil tidak keluar darah. Tubuh perempuan memang seperti itu, beda sama laki-laki”
Selesai dia tidak bertanya-tanya lagi.
Ini salah satu konflik utama yang bikin air mata saya bercucuran. Kadang orangtua merasa sudah memikirkan yang terbaik untuk masa depan anak, tapi yakinkah itu demi anak? Atau demi diri sendiri dan reputasi keluarga?
Bagian ini diperankan dengan sangat baik oleh Lulu Tobing (mama Dara). Sebagai ibu bekerja yang digambarkan sukses, banyak kalimat yang bikin dheg kita sebagai orangtua. Bikin kita bertanya ulang, apakah selama ini anak bahagia dengan pilihan-pilihan hidupnya?
Dara digambarkan sebagai anak pintar yang selalu bicara berdasarkan science tapi saat dihadapkan pada kehamilan dan menemui dokter kandungan, ia shock karena ternyata ia tak tahu apa-apa.
Di sinilah PR kita sebagai orangtua. Pendidikan seks bukan masalah melarang atau mengizinkan anak pacaran tapi lebih jauh lagi tentang risiko dan apa yang akan ia hadapi kalau ia sampai hamil sebelum waktunya. Dan ini sudah terlambat jika dilakukan saat anak remaja, pendidikan seks harus dimulai sesuai usianya sejak sedini mungkin!
Karena yang dipertaruhkan adalah hidup dan masa depan seluruh keluarga. Bukan hanya masa depannya sendiri.
Jangan lupa nonton ya moms! Usahakan nonton bareng suami dan anak remaja dan harus jadi diskusi lanjutan, jangan berhenti di layar saja.