Sorry, we couldn't find any article matching ''
Quo Vadis Sekolah Anak dan 5 Pertanyaan yang Harus Dijawab Para Orang Tua
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Setelah anak diterima sekolah, lalu selanjutnya apa? Coba ajukan lima pertanyaan ini untuk mencari tahu seperti apa nilai pendidikan dalam keluarga Anda.
Ribut-ribut zonasi perlahan kian mereda. Di awal minggu ini, linimasa sudah mulai berganti status tentang sekolah baru anak, bahkan beberapa sudah memunculkan foto-foto first day at school. Sebagian sekolah memulai masa orientasi lebih awal. Saya mengamati, reaksi orang tua amat beragam dalam menyikapi sekolah baru ini. Ada yang bangga anaknya diterima di sekolah favorit, geram dan marah karena melihat anaknya terpuruk dan terlempar dari sekolah incaran, sebagian memilih berkompromi dengan alternatif sekolah yang tersedia.
Mereka yang terdampak efek penerapan sistem zonasi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) adalah para orang tua yang ingin memasukkan anak ke sekolah negeri. Sistem zonasi ini mengubah dasar penerimaan siswa, dari yang semula berbasis nilai UN, menjadi basis zonasi, yakni berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, ke depannya, sistem zonasi ini bertujuan untuk menghilangkan kastanisasi sekolah, tidak ada lagi sekolah favorit dan tidak favorit.
Sedangkan, bagi mereka yang memilih sekolah swasta untuk anak, bukan berarti hidup lebih mudah. Perjuangan yang dialami sungguh lebih complicated. Dari mulai soal perjuangan merogoh kocek untuk biaya sekolah, dan yang paling berat adalah pergulatan dalam decision making. Sekolah swasta mana yang mau dipilih?
Berbeda dengan zaman kecil dulu, ketika tidak banyak alternatif sekolah swasta, pilihannya sederhana: swasta umum atau swasta agama. Sekarang, ketika yang tersaji semakin banyak, justru jauh lebih susah memilih. Ibarat paradox of choices, setiap yang kita pilih membuat standar kita jadi semakin tinggi, dan akhirnya tidak ada pilihan yang sempurna. Kurikulum yang ditawarkan amat beragam, dari yang standar ujian Cambridge, IB, sekolah berbasis karakter, Montessori, Waldorf, sekolah agamis, sekolah alam, dan sebagainya.
Jangan salah, paradox of choices juga dialami oleh para orang tua yang memilih homeschooling untuk anak. Di dalam memilihkan kurikulum homeschooling, ada banyak ‘aliran’ ataupun metode. Semuanya sama-sama ‘menjanjikan’.
Baca juga:
Baca juga:
Trend Pendidikan Masa Kini, Sudahkah Kita Mengikutinya?
Apa pun pilihan sekolahnya (atau bahkan tidak sekolah), orang tua sebaiknya tak lepas tangan dalam hal pendidikan anak. Anak masuk sekolah favorit, unggulan, atau bahkan sekolah elit sekalipun, ayah ibunyalah yang berperan besar membentuk masa depan anak dan memahat karakter anak. Karenanya, buat orang tua yang anaknya masuk ke sekolah biasa-biasa saja atau pinggiran, tak perlu pula berkecil hati dan merasa anak akan menghadapi madesu (masa depan suram). Kesuksesan anak tidak melulu tergantung pada sekolah, kok. Banyak kenalan saya yang anaknya tidak sekolah alias homeschooler, anak-anaknya keren luar biasa.
Saya setuju, sistem pendidikan di negeri ini memang perlu terus menerus dikritisi, tetapi alih-alih menghabiskan energi untuk menggerutu pada sistem, ada baiknya fokus ke dalam diri. Ajukan 5 pertanyaan ini, untuk membangun visi pendidikan versi keluarga Anda sendiri.
Kenali dan pahami, apa sih tujuan pendidikan bagi Anda?
Kelihatannya abstrak, tetapi pertanyaan ini amat penting dijawab. Apa sih arti pendidikan menurut Anda? Apa yang Anda cari? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan sekolah seperti apa yang tepat untuk anak Anda. Setiap keluarga bisa memiliki jawaban yang berbeda.
Benarkah nilai (angka) penting? Kenapa?
Amatilah, begitu anak duduk di bangku kelas 4 SD, ada anggapan bahwa ia harus mempersiapkan sebaiknya-baiknya belajar untuk menghadapi Ujian Nasional (UN). Siang malam mereka pun belajar mati-matian demi UN yang terus didengungkan. Kenyataannya, sekarang kelulusan SD tidak lagi terpaku pada nilai UN. Masuk SMP pun, dengan adanya sistem zonasi, nilai UN tidak lagi menjadi penentu utama diterima atau tidaknya. Bukan berarti nilai UN tidak penting, tetapi saya hanya menyayangkan, betapa besar energi yang difokuskan ‘hanya’ demi nilai UN. Drill dari sekolah, try out, ikut bimbel, panggil tutor privat, dan sebagainya, sampai menyita waktu anak. Padahal, UN bukanlah hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Sebetulnya, tentang nilai bukan hanya UN. Nilai ulangan dan rapor juga kerap menjadi fokus para orang tua dalam mengukur kemampuan anak. Seringkali, nilai malah memicu hasrat untuk berkompetisi. Maka muncullah, hasrat untuk membuat anak menjadi selalu ranking satu. Yang perlu diingat, dalam proses belajar, yang diperlukan adalah act of knowing, anak mampu menunjukkan performa yang kita sebut ‘tindakan mengetahui’. Mereduksi proses belajar hanya demi nilai ujian, hanyalah mengkhianati hakikat pendidikan.
Apa yang bisa dilakukan untuk menyeimbangkan kekurangan sekolah?
Tidak ada sekolah yang sempurna. Begitupun, tidak ada guru yang sempurna. Ketika kita memasukkan anak ke sekolah tertentu, kenali kelebihan dan kekurangan sekolah tersebut. Anak perlu diekspos dengan kurikulum yang beragam, dan semuanya perlu mendapat porsi yang seimbang. Bisa jadi, sekolah itu punya kelebihan dalam bidang akademik, tetapi kurang dari sisi seni, bahasa asing, ataupun soft skill tertentu. Kekurangan tersebut perlu menjadi catatan para orang tua untuk diperkuat di rumah.
Apa peran yang akan Anda ambil dalam pendidikan anak?
Menurut ahli Pendidikan anak usia dini, Froebel, keluarga dan masyarakat menjadi lingkungan yang memberi pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak. Sayangnya orang-orang dewasa di sekeliling anak sering bersikap masa bodoh, tidak sadar akan peran mereka sebagai agen pendidikan. Pada hakikatnya, fungsi keluarga adalah sebagai pendidikan budi pekerti, sosial, kewarganegaraan, pembentukan kebiasaan dan Pendidikan intelektual anak.
Sejauh mana Anda menumbuhkan kecintaan literasi pada anak?
Kalau menurut tokoh pendidikan Charlotte Mason, pengetahun bukanlah instruksi, informasi, ataupun ingatan yang terekam. Pengetahuan ibarat estafet cahaya obor, berpindah dari pikiran ke pikiran, dan ‘kobaran api’ pengetahuan itu hanya bisa diperoleh dari pemikiran tokoh yang sesungguhnya. Bukan buku teks yang hanya merangkum segala pengetahuan. Literasi amat penting dalam pendidikan, terutama, dengan cara mengekspos anak, bersentuhan langsung dengan pemikiran para tokoh-tokoh hebat, langsung dari karya-karya mereka, dalam hal ini buku.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS