Kalau bicara perjuangan, rasanya banyak sekali ya pembicaraan berjuang demi bisa sekolah. Nah, bagaimana ketika kini anak tak lagi pergi sekolah?
Dua tahun belakangan saya baru mendengar apa itu unschooling. Kurang lebih, unschooling adalah konsep pendidikan yang tidak bergantung pada metode atau kurikulum tertentu. Unschooling percaya bahwa dengan lingkungan yang supportif anak bisa belajar sepanjang hari, sepanjang waktu.
Anak juga bisa bebas belajar sesuai keinginan dan rasa penasarannya sehingga cara belajarnya sangat aktif dan bergantung kepribadian masing-masing anak.
Unschooling dicetuskan oleh John Holt di tahun 1970-an:
“Birds fly, fish swim, man thinks and learns. Therefore, we do not need to motivate children into learning by wheedling, bribing or bullying. We do not need to keep picking away at their minds to make sure they are learning. What we need to do, and all we need to do, is bring as much of the world as we can into the school and classroom (in our case, into their lives); give children as much help and guidance as they ask for; listen respectfully when they feel like talking; and then get out of the way. We can trust them to do the rest.” — John Holt. (Sumber)
Jadi tidak ada metode saklek untuk unschooling ini. Bergantung pada keyakinan kita sebagai orangtua bahwa anak akan menemukan jalannya sendiri untuk belajar tanpa bergantung pada institusi pendidikan seperti sekolah. Unschooling juga bukan berarti orangtua tidak boleh mengajarkan apa-apa pada anak. Orangtua tetap memberi pengawasan dan bimbingan untuk anak.
Perbedaan yang paling mendasar adalah proses belajarnya sendiri. Di homeschooling, orangtua biasanya berperan sebagai fasilitator atau mentor (mirip dengan guru di sekolah konvensional, meski tak sepenuhnya sama). Homeschooling biasanya masih menggunakan buku belajar namun berusaha mengaitkan semua pelajaran dengan dunia nyata sehari-hari. Ada pula model homeschooling yang sangat terstruktur sehingga lebih tepat disebut school at home.
Sementara unschooling cenderung lebih “bebas”. Anak bisa belajar apapun sesuai kemauannya sendiri. Persis saat anak balita bermain sehari-hari sebelum kenal dengan sekolah. Bisa dibilang, unschooling adalah homeschooling yang bersifat tidak terstruktur secara kurikulum. Karena kurikulum, textbooks, dan ujian di sekolah dianggap membatasi anak untuk belajar.
Menurut praktisi pendidikan Najeela Shihab, “Yang terpenting adalah orangtua harus sadar betul tujuan pendidikan anaknya itu apa. Dan cara mencapai tujuan itu bagaimana? Apa yang lebih efektif? Apakah mau lewat sekolah formal atau tidak, mau unschooling atau yang lain. Sebenarnya ini kan hanya pilihan saja yang tujuannya untuk memberikan hak anak. Yang jadi bahaya kalau kita tidak memenuhi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan baik.”
Karena hak untuk mendapatkan pendidikan itu kan tertuang sebagai salah satu hak asasi anak baik di PBB maupun secara perundang-undangan di Indonesia. Jadi apakah yakin untuk unschooling dan membiarkan anak mengikuti jalannya sendiri? Atau mengembalikan anak ke sekolah konvensional?