banner-detik
NUTRITION & FITNESS

Kisah Prima Virdana Lepas dari Jerat Narkoba, “Saya Beruntung Nggak Mati Sia-Sia”

author

annisast26 Jun 2019

Kisah Prima Virdana Lepas dari Jerat Narkoba, “Saya Beruntung Nggak Mati Sia-Sia”

Semua orang tahu narkoba itu berbahaya dan mematikan. Namun saya penasaran, kalau orang sudah terjerat, bagaimana cara keluar dari candunya?

Dalam rangka hari narkoba yang jatuh pada hari ini, saya share di IG story untuk mencari orang yang pernah jadi pecandu narkoba namun berhasil membersihkan diri dan kembali sehat. Saya dipertemukan oleh Prima Virdana, pria berusia 40 tahun yang kini sudah berkeluarga dengan satu anak. Prima kini bekerja di sebuah perusahaan supplier asal Korea Selatan, masa lalunya kelam karena ia menghabiskan masa SMA dan kuliah sebagai pecandu putaw.

narkoba

Simak cerita Prima, dari awal mulai kenal narkoba, menghabiskan uang, sampai ketahuan orangtua dan memulai proses rehabilitasi.

Usia berapa mulai kenal narkoba? Tahu bahayanya nggak sih pas pertama kali pakai?

Flashback beberapa tahun ke belakang yang kayaknya sih belum lama ya :p cerita awalnya standar lah kenal rokok pertama pas SMP lalu emang dasarnya nggak merokok jadi ya terselamatkan dari bahaya rokok.

Lalu jaman SMA udah mulai kenal sama ganja, ikut2an temen nyobain. Beberapa teman ada yang menggunakan pil koplo, dulu Namanya Megadon, Pil BK, Rohipnol, dll. Tapi alhamdulillah nggak pernah suka sama narkoba jenis itu yang menjadikan di kemudian hari saya nggak suka sama yang namanya ecstasy/inex.

Bahkan zaman kelas 1 sampai awal kelas 3 SMA itu saya punya prinsip ‘no drugs allowed’. Mabok bolehlah, selama nyimeng-nyimeng aja rame-rame. Pernah ada penyuluhan dari kepolisian tentang bahaya obat-obatan terlarang termasuk heroin dan kokain, belum ada namanya shabu-shabu dan ecstasy jaman itu. Jadi bukannya nggak tahu bahayanya narkoba sebenernya.

Siapa yang mengenalkan pertama kali? Dan apa yang bikin mengubah prinsip jadi mau mencoba?

Things turned bad waktu menginjak kelas 3 akhir, kira-kira awal tahun 1996, saat dikenalin sama temen sekolah sama satu jenis narkoba namanya putaw, yang merupakan turunan atau bisa dibilang ampasnya heroin. Awalnya coba-coba, kok enak ya gitingnya.

Beda sama cimeng (ganja), udah gitu ‘upacara pelaksanaannya’ kayaknya keren banget. Bahkan ‘prosesi’ itu lumayan sering kita lakuin di sepetak tanah kecil di belakang polsek depan sekolah saya yang terletak di dekat sebuah pasar di daerah Jakarta Selatan (yang bisa nebak saya dulu SMA di mana diem-diem aja ya hehe).

Berbarengan juga di tahun itu banyak event-event kreatif anak muda baik pensi atau drag-race (liar atau resmi) yang diadakan, jadi kesannya tambah keren aja kalo datang ke event tersebut sambil ‘make’ Cuma frekuensinya nggak sering karena nggak tau tempat belinya dimana dan harganya mahal banget pada waktu itu.

Kegiatan itu terus berlangsung hingga lulus SMA, sampai pada satu waktu saya sadar kalau saya merasakan sakaw (ketergantungan) pertama sama putaw pertama kali saat pulang mudik bersama keluarga. Di mobil badan saya sakit semua dan kerasa nggak enak lah pokoknya. Untungnya fase itu nggak lama, mungkin karena frekuensi pemakaian yang belum rutin jadinya dalam dua hari badan udah normal lagi.

Gimana kehidupan pada saat itu? Ngalamin sampai kehabisan uang dan jual-jual barang gitu nggak sih?

Sampai tiba saat kelulusan dan saya mulai kuliah di salah satu PTS di Depok, keinginan buat ‘make’ putaw dateng lagi karena pergaulan di kampus mulai banyak yang make. Saat kuliah itulah jadi masa-masa kelam dalam kehidupan saya.

Mulai dari berbohong sama orang tua masalah bayaran kuliah sampai cuti kuliah karena uang bayaran nggak disetorin. Semua karena untuk memenuhi kebutuhan beli putaw. Tiga tahun pertama kuliah, orang tua nggak tahu kalo saya udah jadi pecandu berat.

Saya main bersih, hanya mabok saat tidak di rumah, beli putaw hanya dari bandar-bandar di luar area tempat tinggal. Dulu mulai dari bandar yang notabene keluarga dari aparat sampai bandar di lokasi peredaran ternama di Jakarta, bahkan dengan bandar dari Nigeria pernah saya temuin. Dan nggak cuma putaw yang saya konsumsi. Saya juga nyobain Buddha Stick, LSD, magic mushroom selain itu juga make shabu, kokain, sampai heroin murni.

Pernah ngerasa capek dan mau berhenti nggak sih?

PERNAH BANGET. Saya desperate banget mau berhenti dari kehidupan drugs, tapi badan yang nggak ngizinin. Saat saya coba untuk berhenti make, badan kerasa sakit banget. Sakitnya nyiksa. Dulu pernah ada ungkapan, saat kita make putaw kita adalah orang paling sehat di dunia, saat sakaw datang kita jadi makhluk paling sakit. Badan meriang panas dingin, tulang-tulang sakit, hidung meler kayak flu berat, mata panas. Sakit lah pokoknya.

Akhirnya kembali make hanya buat ngobatin badan. Dan itu yang membuat dosis dan frekuensi pemakaian semakin naik. Untungnya saya nggak pernah nyaman dengan metode cucaw (menyuntik) pernah nyoba tapi nggak dapet enaknya jadi stop. Alhamdulillah hehe…jadi mostly saya make putaw dengan metode drag – membakar serbuk putaw menggunakan kertas timah lapisan bungkus rokok, coklat, atau permen karet.

Kapan akhirnya orangtua mulai sadar kalau anaknya pecandu narkoba? Pernah sampai harus jual-jual barang kah?

Orang tua mulai curiga saat saya sudah lebih banyak di rumah, karena kuliah cuti panjang dan keuangan semakin susah. Sehingga untuk masalah kecanduan ini saya sampai hampir “mengosongkan” si kamar saya dan uang simpanan ortu di lemari. Tapi lagi-lagi -untungnya- selama saya jadi pecandu saya nggak pernah maling di rumah orang, cuma di rumah sendiri hehe…

Apa turning point yang bikin yakin bahwa di titik ini nih, saya harus berhenti?

Turning point saya buat berhenti make sebenernya bukan karena semata-mata kesadaran diri sendiri sih, tapi karena ketauan sama orangtua dan saya disidang sama mereka. Di situ saya ngeliat almarhum bapak saya nangis buat pertama kalinya, dan saya tau hati beliau hancur sehancur-hancurnya karena anak laki-laki satu-satunya yang jadi kebanggaan beliau ternyata pecandu. Saya menulis ini sambil berkaca-kaca inget dosa sama beliau dan ibu saya, mana nulisnya di kafe pula huhuhuhu tengsin.

Well, ibu saya lebih tegar sebenernya, beliau yang lantas mengambil keputusan untuk membawa saya berobat ke sana ke sini. Ya, ke sana ke sini. Dari berobat ke ustadz dengan metode yang sekarang dikenal dengan rukyah sampai akhirnya ke klinik narkoba milik dr. Dadang Hawari. Pun di sana saya nggak sembuh-sembuh, masih relapse balik make.

Lalu gimana proses rehabilitasi yang akhirnya bikin berhenti total dari narkoba?

Sampai akhirnya pada akhir 1999, orang tua saya atas arahan dokter Dadang Hawari menempatkan saya di tempat rehabilitasi narkoba (pesantren lah) asuhan beliau di daerah Cariu Jonggol. Selama kurang lebih 3,5 bulan saya “dibuang” di sana. Nggak ada materi pelatihan agama yang mendalam sih selama di sana, hanya bimbingan biasa dan pendampingan oleh beberapa ustadz, dokter, dan psikolog. Semi diasingkan lah dari dunia sebelumnya.

Selama di pesantren, bapak, ibu, dan adik saya rutin nengokin kondisi saya. Alhamdulillah keluarga saya sangat berperan untuk kesembuhan saya. They would do anything to drag me back to them. Selepas dari pesantren itu sekitar bulan April tahun 2000, badan dan pikiran relatif lebih fresh.

Bisa dibilang sembuh total dari ketergantungan narkoba. Lalu masih ada kewajiban check up, test urine, dll. Jujur sempat relapse karena kangen rasanya mabok putaw, tapi bulan Oktober tahun 2000 saya bener-bener sober, clean dari putaw dan sebagainya. Lalu saya berusaha mengejar ketertinggalan kuliah saya kembali.

Saat menikah, jujur nggak sih sama calon istri bahwa dulu pernah terjerat narkoba? Gimana reaksinya saat itu?

Sewaktu deket sama pacar (istri saya sekarang) saya cerita semuanya kok, nggak dikurang-kurangin. Alhamdulillah dia sih nerima, namanya juga anak muda katanya. Yang penting setelah masa kelam itu sampai detik ini saya udah sama sekali nggak consume narkoba.

Juga komitmen untuk nggak make lagi seumur hidup. Dan pengalaman hidup itu bisa buat pelajaran biar anak kami kelak nggak terjerumus di jurang yang sama. Hal itu yang menjadikan kami sadar kalau kami harus bisa sangat dekat dengan anak, sehingga anak nggak sungkan untuk cerita dan curhat sama orangtua-nya sendiri ketimbang sama teman-temannya.

Kalau sekarang, punya pesan kah untuk anak-anak muda tentang narkoba?

Pesen saya buat temen-temen di luar sana (ceileh :p) etapi ini serius loh, bukan karena saya lebih tua lantas menggurui kalian semua, nggak sama sekali. Ini karena saya udah ngalamin duluan, dan saya beruntung nggak mati sia-sia karena narkoba seperti banyak temen-temen seangkatan saya.

Narkoba itu jahat banget, lebih jahat sih pengedarnya karena mereka cuma jualan dan nggak make sama sekali. Para pengedar itu cuma menjadikan kalian sapi perahan mereka dan mereka jadi kaya banget dari uang kalian dan orang tua kalian. Do whatever you like while you are still young, wild, and dangerous (apeww) as long itu positif… Well kalo kalian mau nyoba pun silakan aja, tapi make sure abis kalian nyoba malemnya, kalian nggak mati besok paginya. Serem kan. :)

Tapi selain itu semua, kita kan dianugerahi pikiran. Sebelum berbuat something stupid, coba pikir berkali-kali lagi apa gunanya. Toh kita nggak perlu ngerasain jatuh dulu kan supaya tau rasanya jatuh itu sakit.

Kayanya cukup sih dari saya sharingnya, semoga temen-temen semua bisa mengambil hal yang bagus dari tulisan ini. Bahagiakanlah diri sendiri dan orang-orang yang menyayangi kalian sebaik-baiknya. See you all around, if you happen to see me some where just say hi.

Thank you ya udah ngasih saya kesempatan buat sharing sama temen-temen milenials tentang narkoba dan bahayanya (berasa jadi milenials juga heheh…)

*

Wah, thank you so much, Mas Prima, we sure learn a lot!

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan