Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ketika Tuntutan Gaya Hidup Juga Hadir di Sekolah Anak Kita
Tuntutan lifestyle ternyata nggak hanya dihadapi oleh para orang dewasa, karena sekarang, tuntutan gaya hidup pun juga semakin gencar menggempur anak-anak kita di sekolah.
Beberapa hari lalu, seorang sahabat bertanya ke saya, apakah saya sudah membaca IG story milik akun jouska_id mengenai tekanan gaya hidup yang dialami oleh anak-anak sekolah sekarang. Tekanannya nggak main-main, timbang beda merek sepatu kena bully. Liburan nggak keluar negeri, jadi bahan ledekan. Milih kelas penerbangan ekonomi atau business aja juga jadi bahan celaan. Duileh. Berat banget ya hidup anak sekarang, dan berat amat ya biaya yang harus dikeluarkan orangtua zaman sekarang, ahahahaha.
Bicara tentang peer pressure untuk urusan gaya hidup, kayaknya sudah ada dari zaman saya sekolah dulu sih. Coba saya ingat-ingat lagi .....
Zaman sepatu docmart menjadi hits berkat fashion pages di majalah GADIS, semua anak-anak di sekolah saya mendadak demam Docmart. Kalau nggak pakai semacam ada rasa nggak keren. Nggak sedikit yang memaksakan diri menggunakan palsunya.
Zaman jam tangan Baby G menjadi trend, sama juga, ada teman-teman saya yang merengek gila-gilaan minta orangtuanya membelikannya. Nggak peduli orangtuanya mampu atau nggak. Alhasil, ada teman sekolah saya dulu yang terbukti mencuri uang teman-temannya untuk membiayai gaya hidupnya agar sesuai dengan standar teman-teman bergaulnya. Sedih kalau mengingat itu.
Mungkin yang membedakan, tekanan yang muncul dari teman-teman sebaya kayaknya nggak sehebat sekarang?! Macam, oke, kami memakai merek A, B atau C, tapi kalau ada teman lain nggak punya, ya yang punya nggak masalah. Yang mempermasalahkan malah si anak yang nggak punya ini. Dia sendiri yang merasa kok kayaknya nggak keren dan nggak selevel sama teman-teman lainnya.
Nah, kalau sekarang, kayaknya peer pressure semakin menjadi karena pihak yang ‘punya’ semacam menuntut orang lain untuk menyamakan level dengan mereka. Kalau sudah begini, harus bagaimana?
Mungkin inilah kenapa penting banget bagi orangtua tak hanya mendidik anak untuk bersikap rendah hati atau jangan menjadi pembully, namun juga menanamkan self esteem yang baik ke anak-anak. Karena, pada dasarnya self esteem ini kan seberapa baik atau buruk seseorang menilai dirinya sendiri. Nah, nilai diri ini yang akan menjadi dasar bagaimana si anak membawa dirinya di lingkungannya.
Karena ketika self esteem mereka baik, mereka nggak butuh lagi memaksakan diri untuk diterima oleh lingkungan pergaulannya dan nggak akan merasa sedih lagi ketika ditolak hanya karena (misalnya) tidak memiliki barang yang sama atau karena tidak pergi liburan yang sama dengan teman-temannya. Bahwa mereka layak dicintai, dihargai, diterima karena apa adanya diri mereka, bukan karena mereka anak siapa atau apa yang mereka miliki.
Baca juga:
Mengajarkan Anak Memiliki Self Esteem yang Baik
Bagi saya pribadi, salah satu cara lain untuk mengantisipasi sebenarnya bisa kita lakukan sejak memilih sekolah. Bahwa memilih sekolah bagi saya nggak sekadar melihat lokasinya dekat atau tidak dari rumah, uang pangkal dan bulanannya sesuai kantong atau tidak, tapi juga seperti apa pergaulan anak-anak di sekolah tersebut, dan seperti apa para orangtua muridnya.
Sedikit kilas balik, saat mencari SD untuk si kakak dulu, ada satu sekolah yang cukup ditaksir oleh ayahnya, karena secara dasar agama sesuai dengan agama ayahnya. Namun, begitu saya mencari tahu dari banyak pihak, baru ketahuan bagaimana borjunya anak-anak di sekolah tersebut. Bagaimana liburan mereka biasanya harus keluar negeri, bagaimana orangtuanya sering berlomba-lomba menjadi donatur terbesar pada setiap event. Duh, nggaklah, saya lebih baik mundur. Karena saya nggak ingin anak saya tumbuh di lingkungan masyarakat yang terlalu sibuk melihat ke atas.
Pendidikan utama memang berada di rumah, namun tak bisa dipungkiri bahwa orangtua juga butuh bantuan dari pihak sekolah untuk mendidik anak-anak ketika mereka berada di sekolah. Maka, ketika lingkungan pergaulan di sekolah mungkin memang tidak sesuai dengan value parenting yang kita tanamkan di rumah, terasa lebih bijaksana bagi saya untuk tidak mencemplungkan anak ke situasi seperti itu dari awal. Daripada memaksakan diri kemudian malah mengeluarkan anak di tengah-tengah jalan. Di luar kondisi bahwa kita memang harus mendidik anak agar bermental sekuat baja, hahahaha.
Share Article
COMMENTS