Di hari pendidikan nasional ini, mari sejenak lupakan beban pendidikan anak dari pemerintah. Sesekali bicara tren tak ada salahnya kan. :)
Iya kalau di circle saya, sepertinya hampir semua sepakat kalau beban pendidikan anak dari departemen pendidikan nasional itu terlalu berat, khususnya di sekolah negeri.
Ditambah satu kelas diisi oleh 40 siswa dan hanya satu guru, praktis pekerjaan guru juga jadi lebih berat dan sulit untuk fokus pada masing-masing siswa. Kemampuan semua anak seperti disamaratakan karena ya kurang sumber daya untuk mengajari anak satu per satu.
Itu sebabnya, banyak ibu (termasuk saya) yang jadinya “menyerah” pada sekolah negeri dan mati-matian mencari sekolah swasta yang sekiranya cocok dengan nilai di rumah dan cara belajar anak.
Jadi kalau bicara tren, sebetulnya menurut saya tidak akan ada satu kurikulum atau metode belajar yang akan cocok bagi semua anak. Tiap anak berbeda dan memerlukan pendekatan belajar yang berbeda pula, maka tes kesiapan secara psikologis pun seharusnya dilakukan oleh orangtua siswa sebelum memutuskan mencari sekolah agar bisa mendapatkan sekolah yang sesuai.
Tesnya tidak membaca dan menulis kok, setahu saya (anak saya juga baru akan tes tahun ini), tesnya hanya akan berupa menggambar, menjawab pertanyaan seputar keluarga, konsentrasi, dan sebagainya. Kenapa tes ini begitu penting?
Karena beda kurikulum atau metode, berbeda pula pendekatan dan cara belajarnya. Anak kinestetik seperti anak saya misalnya, sepertinya akan kewalahan kalau harus sekolah di sekolah negeri yang kebanyakan di kelas. Ia juga sepertinya tak akan cocok dengan kurikulum Cambridge yang lebih fokus pada hasil akademik dengan porsi textbook yang lebih banyak dibanding kurikulum IB misalnya.
Selain kurikulum, banyak pula sekolah yang menggunakan filosofi tertentu seperti Montessori yang sudah umum diterapkan di preschool serta TK, atau yang baru dibicarakan belakangan ini Waldorf dan Reggio Emilia.
Waldorf yang fokus pada perkembangan anak dengan free play yang pasti jadi rutinitas anak. Wladorf juga menekankan pentingnya proses berpikir kreatif lewat seni imahinasi seperti bernyanyi, drama, puisi, musik, dan banyak lagi.
Sementara Reggio Emilia berfokus pada anak yang mengontrol proses belajar. Mereka yang harus belajar lewat pengalaman menyentuh, bergerak, mendengar, dan mengobservasi sesuatu.
Kesamaan dari kurikulum dan filosofi di luar kurikulum nasional ini adalah personalized learning atau belajar sesuai minat anak. Kurikulum IB dan Cambridge memberikan pilihan para siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minta saat Middle Secondary Level (setara SMA) sementara IB memberi pilihan di diploma programme mereka (setara kelas 3 SMA).
Kalau merasa semua kurikulum dan filosofi itu tidak juga bisa mengakomodir anak. Masih ada pilihan homeschooling (dengan metode school at home) dan yang sedang tren saat ini adalah unschooling.
Berbeda dengan homeschooling di mana anak tetap belajar di rumah dengan goal tertentu, unschooling membiarkan anak belajar sendiri dari kehidupan sehari-hari. Jika anak tertarik pada sesuatu, ia juga pasti akan bertanya dan orangtua serta anak akan bersama-sama mencari jawabannya.
Sekali lagi, tidak ada sekolah yang lebih baik satu dibanding yang lainnya ya. Tiap orangtua pasti sudah memilih yang terbaik untuk anaknya, tugas kita sebagai sesama orangtua itu hanya satu: jangan pedulikan keputusan hidup orang lain dan fokuslah pada pendidikan anak sendiri.
Selamat hari pendidikan nasional!