Sorry, we couldn't find any article matching ''
Seandainya Kartini Tahu Tentang Kondisi Perempuan Saat Ini...
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Betapa inginnya saya bercerita pada Kartini, segala hal yang terjadi di masa sekarang. Perempuan modern yang dulu hanya bisa ia bayangkan. Mungkin ada hal yang akan membuatnya gembira. Namun ada juga yang pasti membuatnya pedih.
Bulan April adalah bulan saat kita merayakan kelahiran Raden Adjeng Kartini yang lahir pada 21 April 1879. Sebagaimana sebuah ulang tahun, kita mengumpulkan kembali momen-momen dan milestone yang sudah kita lewati. Good or bad. Seratus empat puluh tahun sejak Kartini dilahirkan, itu artinya dua atau tiga generasi kehidupan telah berganti. Banyak sudah perubahan yang terjadi.
Ada sebuah dorongan besar bagi saya untuk membaca kembali surat-surat Kartini. Surat yang ia kirim untuk Estelle Zeehandelaar atau Stella, sahabat yang ia ‘temukan’ dari iklan yang ia pasang di koran Belanda, ‘De Hollandsche Lelie’. Sengaja isi surat itu saya kutipkan, karena bahasanya yang amat menggugah.
Saat itu, tahun 1899, Kartini berusia 20 tahun, ia memiliki pandangan yang kritis terhadap keadaan yang terjadi di Indonesia. Kartini yang fasih berbahasa Belanda, bisa mengikuti berbagai peristiwa yang terjadi di Eropa, termasuk tentang pergerakan perempuan. Sangat kontras dengan kondisi yang ia temui di negeri kita, masa itu.
“Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang ‘anak gadis modern’, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, gadis yang melalui hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati. Tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat luas, yang ikhtiarnya pun akan membawa bahagia kepada banyak sesamanya. Bernyala-nyala hati saya, gembira akan zaman baru. Ya, malahan bolehlah saya katakan, menilik pikiran dan rasa, saya tiada serasa dengan zaman di Hindia Belanda ini, melainkan saya telah hidup di zaman saudara saya perempuan bangsa kulit putih yang giat hendak kemajuan, di Barat yang jauh itu.”
Surat-surat yang terangkum dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" itu begitu menggugah. Saya pun seperti dibawa ke mesin waktu. Betapa inginnya saya menceritakan pada Kartini, segala hal yang terjadi di masa sekarang. Perempuan modern yang dulu hanya bisa ia bayangkan, “Masa itu masih jauh lagi, bukan main!”
Kartini pasti senang, ketika saya bercerita...
Para gadis bebas sekolah
Tak ada lagi sekat adat untuk pendidikan. Mereka bebas menuntut ilmu setinggi mungkin, ke negeri manapun yang ia mau. Bidang yang dipelajari pun sangat beragam. Dan sungguh, tak sedikit yang pencapaiannya luar biasa. Langit-langit kaca itu sudah terbuka lebar. Perempuan juga aktif berkiprah di ruang publik, menduduki segala profesi. Menyebut beberapa, di antaranya, Sri Mulyani Indrawati, Susi Pudjiastuti. Rini Soemarno, Retno Marsudi, Khafifah Indar Parawansa. Mereka cukup disegani dan jadi panutan. Belum lagi, gadis-gadis muda penuh prestasi dan fasih digital. Bekerja di perusahaan teknologi kini menjadi sebuah ‘penanda zaman’ yang menjadi mimpi baru para generasi sekarang.
Pernikahan tak lagi tentang perjodohan yang dipaksa
Perempuan bisa menentukan pilihan, kapan dia menikah, dan dengan lelaki pilihannya. Perempuan juga bisa keluar dari pernikahan, ketika pernikahan tak layak untuk dipertahankan.
Kesetaraan dalam perkawinan
Di masa sekarang, adalah lazim berbagi peran domestik dengan suami. Dari urus anak, sampai masak dan beberes rumah. Beda sekali dengan zaman Kartini. “Betapa nikah itu tiada sengsara, kalau hak semuanya bagi keperluan laki-laki saja dan tiada sedikit juapun bagi perempuan? Kalau hak dan pengajaran bagi laki-laki semata, kalau semua-muanya dibolehkan dia perbuat?”
Namun, saya tak akan berani bercerita pada Kartini, tentang hal-hal yang masih menyesakkan dada saya. Tak semua yang datang dari ‘zaman baru’ ini seindah yang ia bayangkan. Ingin rasanya curhat.
Ia pasti akan sedih, kalau saya cerita...
Masih ada sebagian perempuan Indonesia yang mencurigai feminisme, malah lebih parah lagi, ‘antifeminisme’
Misalnya, akun Instagram @Indonesiatanpafeminis. Dalih mereka, feminisme adalah konsep Barat yang kebablasan dan merusak moral. “Dalam Islam, wanita tak perlu setara, karena sejatinya wanita sungguh dimuliakan. Ia dijaga oleh ayahnya, dijaga oleh saudara laki-lakinya, dan dijaga oleh suaminya,” tulisan dalam salah satu postingan mereka. Mereka lupa, mereka tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat memerdekakan perempuan. Mereka bisa menghirup pendidikan tinggi dan memiliki kebebasan menentukan hidup mereka sendiri. Mereka tidak pernah merasakan hidup dalam lingkungan seperti Kartini. Mereka tidak pernah merasakan hidup di mana perempuan tidak punya hak apa pun. Mereka tak sadar, apa yang mereka lakukan adalah backlash bagi kebebasan perempuan. Gerakan yang akan ‘menghalau’ perempuan kembali ke dalam rumah dan ‘menguncinya’, serta merampas seluruh hak-hak hidup dan politiknya.
Baca juga:
Mari Bersama Ciptakan Dunia yang Lebih Ramah Untuk Perempuan
Kemajuan pendidikan tak berbanding lurus dengan pembentukan budi pekerti
Sebagai tokoh pendidik, hatinya pasti akan hancur. Bagaimana kasus bully banyak terjadi. Di media sosial, kita juga bisa melihat bagaimana anak-anak sekarang terjerumus ke dalam kasus-kasus pornografi, kekerasan, kecanduan gadget, dan berbagai bentuk kenakalan lainnya. Seperti juga yang kita lihat di media sosial, kosakata anak zaman sekarang yang kasar, vulgar, minim empati, dan kering intelektualitas. Tak ada minat sama sekali pada pengetahuan, budaya, bahasa, sejarah, puisi, dan sastra. Hal-hal yang amat dirindukan Kartini, dalam segala keterbatasannya.
“Rasa-rasanya kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja, dia harus juga bekerja mendidik budi meskipun tidak ada hukum yang nyata mewajibkan berbuat demikian, perasaan hatinya yang mewajibkan berbuat demikian. Dan saya bertanya kepada diri saya sendiri: sanggupkah saya? Saya, yang masih perlu juga lagi dididik ini? Acapkali saya dengar orang berkata, bahwa ketulusan budi itu akan datang dengan sendirinya, jika pikiran sudah cerdas, bahwa oleh pendidikan akal budi itu dengan sendirinya menjadi baik dan halus; tetapi setelah saya perhatikan maka berpendapat -sungguh kecewa-, -bahwa tiadalah selamanya benar yang demikian itu; bahwa tahu adab dan bahasa serta cerdas pikiran belumlah lagi jadi jaminan orang hidup susila ada mempunyai budi pekerti.”
Baca juga:
Bullying Pada Remaja, Apa yang Perlu Kita Lakukan Menurut Psikolog
Pernikahan Dini yang kini kembali menjadi trend
Sedih rasanya ketika pernikahan dini dianggap solusi untuk mengurangi kasus perzinahan di saat masih banyak faktor lain yang menjadi sebab munculnya perzinahan. Bagaimana pernikahan dini dikaitkan dengan ketaatan pada agama. Dulu, Kartini dipaksa menikah pada usia 24 tahun, dengan lelaki yang sudah ditentukan oleh keluarga. Usia yang termasuk ‘terlambat’, sebab lazimnya, para gadis menikah di usia belasan. Sebelum menikah, ia bahkan menjalani masa dipingit selama 4 tahun, tak boleh keluar rumah.
Baca juga:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS