Beberapa penelitian menunjukkan, jika seorang anak punya pengendalian diri yang baik, ia dapat memprediksi kesuksesannya di masa depan. Seperti apa praktiknya?
Kebayang nggak, kelak anak kita dewasa, tidak bisa mengendalikan dirinya. Contoh, di lingkungan kerja. Sedikit kepentok masalah sama pekerjaan, panik, marah, dan menyalahkan pihak lain. Padahal sumber masalah ada di diri sendiri, kurang pandai mengelola waktu.
Dilansir dari merakilane.com, mengajarkan anak punya pengendalian diri tidak sesulit yang dibayangkan, kok. Konsekuensinya, orangtua wajib investasi waktu, dan kesabaran. Ingat-ingat saja, semua sebanding untuk jangka panjang. Baik itu untuk diimplementasikan di sekolah, kehidupan pribadi dan pekerjaan.
“Jordy, nanti kalau alarm sudah bunyi, jatah nonton youtube kamu selesai, ya.”
Kalimat yang kayaknya sudah bosan anak saya dengar di akhir pekan. Saya harus komitmen dengan aturan yang sudah kami sepakati bersama. Dan sebaiknya buat aturan semudah mungkin, disesuaikan dengan usia anak. Saya menggunakan sistem alarm, karena Jordy belum bisa membaca jam. “Semakin mudah aturannya, dan semakin konsisten mommies melakukannya, semakin mudah bagi anak-anak untuk memenuhi harapan anda.”
Di setiap lingkungan, anak akan menerima aturan yang berbeda. Poinnya: ADA ATURAN. Nah, kalau di sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya sudah menerapkan disiplin waktu yang baik, di rumah idealnya juga dilakukan hal yang sama. Agar harmoni, di sini dibutuhkan komunikasi yang baik antar membereskan mainan, dan seterusnya.
Makin muda usia seseorang, makin mudah juga dia teralihkan perhatiannya. Walau ujung-ujungnya Jordy suka protes, sih, “bundaaa, kok diulang-ulang terus, sih, aku kan sudah dengar.” Dengan terus mengulang, artinya memberikan anak pengingat secara berkala, membantu dia mengendalikan diri.
Bentuknya bisa seperti bagan sederhana yang bisa mommies dapatkan gratis di internet. Bagan tugas atau kegiatan harian, yang memuat aktivitas-aktivitas sederhana. Jika salah satunya sudah dilakukan dengan baik dan tuntas, anak akan mendapatkan tanda bintang, atau sesederhana tanda centang, yang bisa dia lakukan sendiri.
Saat anak melanggar peraturan, kita akan menerapkan konsukuensi yang disepakati. Dan sebaliknya, ketika anak berhasil membuat perubahan positif akan sikapnya, penuhi janji kita, jika memang ada sesuatu yang hendak kita berikan sebagai bentuk penghargaan. Di poin ini, menurut saya harus yang benar-benar bombastis hasilnya. Jangan dikit-dikit berhasil melakukan sesuatu dikasih sesuatu.
Anak adalah peniru ulung. Jadi role model yang baik, (IMHO) masih jadi cara paling ampuh untuk menunjukkan cara mengendalikan diri. Dari hal paling sederhana saja dulu, misalnya saat lagi capek, kita bilang dengan cara yang sopan. “Kak, aku lagi capek nih, boleh ya, aku istirahat sebentar. Nanti kita main lagi.” Jangan tiba-tiba marah, tanpa anak tahu alasannya.
Tiap anak unik, model pendekatannya juga akan berbeda. Cara tertentu mungkin berhasil untuk satu anak, tapi tidak untuk anak lainnya. Contohnya, anak saya si tipe pembelajar kinestetik. Dia harus terus bergerak, agar apa yang dipelajari menyerap dengan baik.
Kalau kami hanya berdua di rumah, hampir pasti dia selalu bergerak ke segala arah. Sebelumnya sudah mengambil jatah screen time. Ya nggak mungkin sepanjang hari nonton youtube aja, dong. Nah, untuk mengendalikan dirinya, saya memberikan tanggung jawab menyenangkan untuk bantu saya masak di dapur. Minta tolong ambil bawang putih sekian butir, memetik daun-daun kangkung, yang simple-simple, deh. Hasilnya? Jordy bertahan sampai makanan siap disantap.