Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jangan Hanya Main, Yuk Ajak Anak Bikin Game Sendiri
Anak kecil belajar coding, bikin aplikasi, dan berkompetisi? Bisa lho! Bahkan anak Indonesia ada yang pernah menang kompetisi coding internasional!
Hari Minggu, 3 Maret lalu saya datang ke ITC Permata Hijau untuk melihat kompetisi coding Code Olympiad yang digelar oleh Coding Bee Academy. Saat saya datang, puluhan anak SD duduk menghadap laptop dengan serius. Beberapa di antaranya berseragam sekolah.
Code Olympiad adalah bagian dari kompetisi coding nasional yang digelar oleh Coding Bee Academy. Dibagi menjadi 3 kategori untuk kelas 1-2, 3-4, dan 5-6 SD yang tahun ini mengambil tema “Culture” dan diikuti oleh 100 tim (1 tim terdiri dari 1-4 siswa).
Sore harinya di tempat yang sama, digelar kompetisi coding internasional AppJamming Summit (AJS). AJS ini bagian dari kompetisi internasional untuk pada developer muda berusia 8-16 tahun di seluruh dunia untuk memperlihatkan bakat dan kreativitas mereka lewat sebuah program sederhana.
Pemenang AJS di Indonesia akan dilombakan melawan peserta dari negara lain. Tahun lalu, pemenang AJS Indonesia adalah Angel Anlee, anak perempuan 10 tahun yang membuat game Sea Cleaner, game membersihkan laut dari polusi. Angel kemudian berkompetisi di Hong Kong dan meraih juara 2. Juara 1 nya datang dari Singapura. Hebat ya!
Tahun ini pemenang Code Olympiad kategori 1 (primary 1-2) adalah Naazeen Erisil (SDIT Lentera Ilmu), kategori 2 (primary 3-4) diraih oleh Delbert F. Jahja (Sekolah Bukit Sion), dan kategori 3 (primary 5-6) dipegang oleh Luke Antonius Laynio (Raffles Christian School). Sementara pemenang AppJamming Summit kembali diraih oleh Angel Anlee dari SD Tarakanita 4.
Sementara Coding Bee Academy, adalah ambassador AppJamming Summit untuk menjalankan lomba ini di Indonesia.
Apa itu Coding Bee Academy?
Coding Bee Academy adalah sekolah/kursus coding untuk anak dari usia 5 hingga 17 tahun. Dua tahun lalu, founder Coding Bee Academy Eko Haripin memulai sekolah ini hanya dengan dua orang siswa karena saat itu coding belum terlalu akrab di telinga kebanyakan orang. Kini, siswanya mencapai lebih dari 1800 anak.
Coding Bee sudah bekerja sama dengan lebih dari 50 sekolah sebagai pengajar ekstrakurikuler. Dari Singapore Intercultural School Bona Vista sampai Kinderfield dan Al-Azhar, bekerja sama dengan Coding Bee Academy untuk mengajar anak-anak coding dengan menyenangkan.
[caption id="attachment_94256" align="aligncenter" width="800"] Eko Haripin, Founder Coding Bee Academy[/caption]
“Tujuannya untuk mengenalkan anak-anak pada coding dan passionate. Kurikulum kita customize untuk setiap anak. Kita pakai teknologi tapi tidak diajarkan untuk membuat teknologi. Seperti anak kita, anak kita mau diajarkan untuk jadi supir atau jadi insinyur yang membangun mobil? Lebih baik dia memiliki ilmu untuk membuat mobil daripada cuma jadi pengendara mobil,” ujar Eko.
Di setiap level anak akan membuat sesuatu sesuai dengan minatnya masing-masing. Dari aplikasi sampai games, Coding Bee memastikan semua harus diawali dengan anak menyukai dulu proses coding. Dalam 4 kali pertemuan, anak biasanya sudah bisa menyelesaikan satu project berupa software sederhana.
Menarik sekali ya!
From Parents to Parents
Saya kemudian mampir ke cabang mereka di ITC Permata Hijau, tak ada kesan serius sama sekali. Didominasi warna kuning dan bentuk sarang lebah, serta ruangan-ruangan yang tak tampak seperti ruang kelas.
Di Coding Bee, anak juga ditantang untuk menggunakan laptop, bukannya tablet. Bukan tak bertujuan karena pemakaian laptop mengharuskan anak untuk duduk dengan postur yang benar. Tidak seperti tablet yang membuat anak selalu menunduk. Untuk anak yang lebih kecil, konsep coding juga dikenalkan tanpa layar jadi menggunakan robot terlebih dahulu.
“Untuk level anak-anak kita membuat lebih menarik dan lebih gampang karena kalau kita langsung kasih level dewasa, baru liat saja akan sudah tidak tertarik. Intinya materi yang kita ajarkan untuk level TK sampai dewasa itu sama semua. Konsepnya sama, peraturan matematikanya sama cuma makin lama makin challenging. Untuk mempermudah, yang penting anak bisa bikin software deh di sini. No background needed, (we) make it fun to learn coding for anyone,” lanjutnya.
Yang menarik, hubungan antara pengajar dan orangtua dibuat dengan sangat kekeluargaan karena Eko sendiri adalah seorang ayah dari 3 anak. Ia mengelola Coding Bee ini bersama istrinya sehingga ia tahu benar apa yang disukai anak dan diinginkan orangtua.
“Yang menjalankan Coding Bee adalah orangtua juga seperti saya jadi kita mengerti orangtua perlunya apa dan ingin kita bangun kurikulum yang berguna untuk anak dan bisa bikin orangtua bangga juga. Kita ingin guru-guru kita mengajar seperti mengajar anak sendiri” papar Eko.
Pengajar Coding Bee datang dari berbagai latar belakang. Bukan hanya kemampuan coding yang dinilai tetapi juga passionnya dalam menghadapi anak-anak. Anak juga bisa datang kapan saja lho sesuai waktu yang tersedia. Satu guru biasanya menangani maksimal 5 hingga 10 murid.
“Siapa pun bisa belajar coding. Kita ingin anak bangga dan percaya diri dengan karya mereka sendiri. Yang paling penting, menang nggak menang bayangin aja anak kecil bisa bikin apps. It’s impressive,” ujar Eko.
Tertarik mengajak anak untuk bergabung? Kunjungi websitenya ya, moms. Bisa free trial dulu, lho!
Share Article
COMMENTS