Ketika anak sudah berani jujur mengatakan bahwa dia sudah berhubungan seks dengan pacarnya, satu tanda tanya yang kemudian timbul di pikiran banyak orangtua: Bagaimana membuat anak berani jujur dan terbuka?
Masih ingat tulisan saya yang bercerita tentang pengalaman sahabat saya ketika anak perempuannya yang masih duduk di bangkus SMA berani menghadap ke sahabat saya dan mengakui bahwa dia sudah berhubungan seks dengan pacarnya?
Salah satu yang membuat saya salut dan takjub adalah ……. kok hebat ya anaknya berani jujur, kok hebat ya seterbuka itu sama mamanya? Dan ternyata nggak hanya saya doang yang berpikir seperti ini, tapi banyaaaak orangtua lain yang follow IG saya dan membaca story saya juga bertanya hal yang sama.
Baca juga:
Saat Anak Remaja Saya Mengatakan: "Ma, Saya Sudah Make Love"
Karena apa pun tingkah laku atau masalah yang dihadapi oleh anak, akan lebih mudah mencari jalan keluar kalau si anak berani jujur ke orangtuanya. Itu kan koentji oetamanja? :D.
Saya sendiri masih belajar agar anak-anak saya selalu berani berkata jujur dan bercerita segalanya ke saya atau ke ayahnya. Bahwa mereka hingga detik ini selalu terbuka mengenai siapa cewek yang mereka taksir dan alasan kenapa mereka suka sama cewek itu, hingga ketika si kakak merasakan milestone dia sebagai anak laki-laki yang mengalami mimpi basah, dan tetap bisa cerita ke saya, saya cukup bersyukur dan menganggap …. Ya mereka masih percaya sama saya.
Kalau ditanya, apa yang membuat anak-anak saya (syukurnyaaa) masih terbuka ke saya? Saya mencoba menerapkan beberapa point berikut ini:
1. Sejak mereka kecil, saya selalu bilang ke anak-anak, bahwa apa pun masalah yang mereka punya, pertanyaan atau hal tentang apa pun yang ingin mereka tahu, jangan pernah takut untuk cerita atau bicara ke mama atau ayah. Bahkan saat mereka buat salah. Dan saya tegaskan, bahwa semarah-marahnya orangtua, tetap tujuan utama kan ya untuk membantu cari solusi. Beda kasus jika ceritanya ke teman. Bukan berarti anak-anak nggak boleh curhat ke teman. Boleh-boleh aja, karena mereka bisa mendapat insight yang berbeda. Tapi, orangtua tetap harus ada di dalam list tempat curhat anak-anak saya, hahaha.
2. Konsisten sebagai orangtua. Awalnya saya kan yang meminta mereka untuk terbuka dan bertanya apa saja. Jangan sampai ketika mereka bertanya hal yang ajaib, terus saya malah menghindar atau marah. Jadi, ketika anak saya bertanya: “Ma, masturbasi itu apa?” atau “Ma, fuck itu kasar ya?” dan pertanyaan sejenis lainnya yang membuat mulut saya mau mangap nggak kelar-kelar, ya kasih jawaban yang benar. Jangan pura-pura tuli.
3. Belajar mengatur reaksi setiap saat anak cerita atau bertanya. Susah? Iyalaaaah, apalagi kalau seputar nilai sekolah yang hasilnya di bawah standar nilai kelas, hahahaha. Ada masa ketika saya juga nyaris kehilangan urat sabar, tapi ya ingetin diri saya terus aja. Ingetin diri, kalau saya marah, nanti mereka malah malas cerita ke saya. Nanti mereka malah ceritanya ke orang lain yang belum tentu responnya benar.
Umumnya, kalau sudah mau emosi, saya memberi waktu ke diri sendiri untuk calm down. Dengan cara, balik tanya ke mereka. Misal, anak laporan kalau tadi nggak membawa tugas ke sekolah. Daripada merepet nggak jelas, saya tanya balik aja: Kenapa sampai nggak bawa? Dapat teguran atau hukuman nggak dari guru? Enak nggak ketinggalan tugas sekolah?
Atau, saat anak saya cerita tentang cewek yang ditaksirnya ternyata nggak naksir balik ke dia. Walau dalam hati ini tersinggung sebagai ibu, hahahaha, ya saya sok cool aja bertanya: Tahu dari mana kalau cewek itu nggak suka sama kamu? Terus perasaan kalian gimana?
Lumayan tricky sih urusan mengatur emosi, tapi harus bisa. Karena ketika salah sedikiiiiiiiiit aja memberikan respon atau bereaksi, kemungkinan mereka akan berhenti cerita dan nggak berani lagi jujur. Lalu saya pun susah mengembalikan kepercayaan si anak.
4. Biasakan dari kecil, ketika anak datang dengan masalah atau problem, tanya ke anak solusi dari dia sendiri apa. Misal, anak bilang kalau nilainya jelek, tanya balik ke anak, solusinya kalau menurut dia apa? jadi anak paham, bahwa apa pun masalah yang dia bawa ke hadapan saya, kami akan mencari solusi, bukan malah anak mendapat makian.
5. Sadar, bahwa problem is a part of our daily life. Dan anak perlu belajar itu dalam hidupnya. Tugas kita sebagai orangtua ya membantunya mencari solusi tanpa membuat dia melepaskan tanggung jawab dari akibat kesalahan yang dia buat. Maksudnya?
Misal, anak ketinggalan tugas sekolah, ya jangan ujug-ujug kita antar tuh tugas ke sekolahnya. Kalau nanti dia ditegur atau dimarahin guru? Ya itu risiko yang memang harus dia tanggung. Itu tanggung jawab dia untuk menjelaskan ke gurunya, kenapa dia nggak membawa tugas sekolah. Solusi? Ya ajarkan dia untuk menyiapkan keperluan sekolah dari sore hari.
Bagi saya, adanya komunikasi yang terbuka adalah salah satu ciri hubungan keluarga yang sehat, benar nggak sih? Agar kita bisa memiliki komunikasi yang baik dengan anak, di mana anak tidak keberatan untuk bicara apa pun pada kita, orang tuanya, banyak hal yang harus kita pahami sebagai orang tua.
Gabung yuk di acara Power Hour by Mommies Daily yang akan diadakan pada tanggal 4-6 September 2020, dan akan membahas banyak sekali topik menarik dengan menghadirkan narasumber ahli. Bisa cek dan daftar di sini ya :). Ini salah satunya, kita akan ngobrol santai dengan ibu Herdiana Kiehl dan mbak Anna Surti selaku Psikolog Keluarga seputar tantangan dan tips menciptakan hubungan keluarga yang sehat, tak hanya antara orang tua dan anak, namun juga antara suami dan istri.