Sorry, we couldn't find any article matching ''
Gender-Neutral Parenting, Seberapa Bahaya?
Maraknya gender neutral parenting di luar sana membuat saya bertanya-tanya, benarkah tindakan ini atau salah? Apa kata Psikolog Anak dan Remaja?
Di Amerika Serikat gelombang pola asuh anak berasaskan gender neutral, yaitu mengasuh anak tanpa mengategorikannya sebagai laki-laki atau perempuan apapun genital yang dimiliki si anak, sepertinya kian dahsyat. Selebriti macam PINK dan Kate Hudson ditengarai ikut meramaikan pola asuh ini.
Iya, sih, fenomena ini belum sampai di Indonesia. Tapi ketika ngobrol dengan beberapa teman yang sudah menjadi orangtua, mereka tak mempermasalahkan gaya pengasuhan aneh (menurut saya) ini. Sehingga mungkin hasil diskusi saya dengan mbak Vera Itabiliana, Psikolog Anak dan Remaja bisa memberi sedikit info mengenai bahayanya gaya pengasuhan gender neutral.
Didominasi individu yang Gender-Fluid
Penting diketahui bahwa penganut Gender Fluid Identity adalah yang paling banyak menerapkan pola asuh Gender-Neutral Parenting. Duh, apa pula ini Gender Fluid Identity? Seseorang yang lebih memilih untuk tetap fleksibel tentang identitas gendernya daripada berkomitmen pada satu gender. Mereka dapat berfluktuasi antara kedua jenis kelamin atau mengekspresikan banyak jenis kelamin pada saat yang bersamaan. Terus terang kepala saya langsung cenut-cenut baca ini, sih :(
Mbak Vera menjelaskan bahwa Gender Fluid Identity ini muncul akibat banyak faktor. Antara lain mungkin saja diawali dari individu-individu yang mengalami kelainan hormonal tapi tidak tertangani dengan baik (kelainan hormon dapat menyebabkan kebingungan identitas gender). Bisa juga disebabkan oleh pemikiran yang menolak batasan-batasan yang selama ini ada, misalnya batasan bagaimana seorang perempuan harus berperilaku. Pengasuhan orangtua? Sangat mungkin. Maka dapat dipastikan lingkungan sangat berpengaruh pada pembentukan kesadaran gender dan peran-perannya.
Pengaruh Gender Neutral Parenting terhadap anak
Nyatanya, banyak orangtua di Amerika Serikat yang sudah mantap (menentukan) gendernya tak rikuh menerapkan pola asuh gender-neutral. Kalau kata mbak Vera ini sebetulnya membawa pengaruh besar ke anak. Dalam tumbuh kembangnya, anak dipengaruhi oleh nature (bawaan) dan nurture (apa pun yang diterima anak sejak pembuahan, termasuk pengasuhan). Ketika ia besar dalam gaya asuh kontroversial ini, maka ia pun akan mengikuti konsep ini dengan tidak mengotakkan dirinya sebagai gender tertentu.
Masalah bisa muncul ketika anak berinteraksi dengan anak lain yang tentu memiliki gaya pengasuhan berbeda. Anak bisa menjadi bingung dan dianggap aneh oleh temannya. Anak dan juga orang tuanya akan berbenturan dengan nilai yang ada di lingkungan. Jika kemudian dari segi pemikiran dan fisik si anak sudah berbeda, ia akan menjadi sasaran empuk bullying. Konsep ini, tuh, malah bikin bingung anak-anak.
Jika apa yang diajarkan kepada anak seperti kesetaraan hak, misalnya, anak perempuan boleh main bola, anak laki-laki wajar bermain boneka, menurut mbak Vera masih sangat bisa diterima. Atau bagaimana orangtua mengajarkan bahwa pekerjaan rumah tangga nggak melulu bagiannya ibu, sementara ayah keluar rumah mencari uang. Batasannya lebih ke orientasi seksualitas, seperti menyukai lawan jenis dan kesadaran bahwa once you're a boy, you stay a boy.
Besarkan anak sesuai nature-nya
Dr Stella Mavroveli, seorang psikolog kepribadian dari Imperial College London mengatakan, "Kita harus menerima bahwa perbedaan fisik dan psikologis antara pria dan wanita itu nyata adanya. Orang tua perlu membiarkan anak-anak berkembang dalam lingkungan yang tidak terlalu preskriptif, misalnya perempuan cuma kerja di dapur atau laki-laki haram pegang sapu. Tapi jangan terlalu ekstrim soal gender neutral ini. Pola pengasuhan ini bisa membuat anak makin bingung, dan kedepannya malah akan membutuhkan lebih banyak terapi psikologi.”
Mbak Vera juga menambahkan kalau orangtua sebenarnya tinggal mengikuti map sesuai dengan jenis kelamin si anak tanpa membatasi potensi atau kemampuan. Yang paling penting buatlah anak merasa nyaman dengan dirinya. Nyaman dengan dirinya yang laki-laki. Nyaman dengan dirinya yang perempuan, sehingga tidak ada keinginan untuk berubah.
Ya, sih, menurut saya juga pola asuh ini cuma buat mereka yang udah nggak tahu lagi mau cari apa di hidup ini. Banyak hal menurut saya yang lebih penting diajarkan pada anak selain netralitas jenis kelamin seperti bagaimana bersikap sopan, menghargai orang lain, tidak menyakiti hati sesama, serta hidup dalam rasa toleransi yang besar. Setuju, kan?
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS