Ditinggal berpulang istri tercinta 2015 lalu, saat berjuang melahirkan buah hati mereka. Galih Sedayu mencoba bangkit dan ikhlas.
Tak mudah bagi siapapun ditinggal oleh orang yang kita sayang, apalagi pasangan hidup. Seperti yang dialami Ignasius Galih Sedayu (43), seorang pekerja kreatif asal Bandung, Pemilik Air Foto Network (Perusahaan Jasa & Edukasi Fotografi) dan Ruang Kolaborasa (Perusahaan Konsultan & Manajemen Kreatif).
2015 silam istrinya meninggal setelah melahirkan putri kembar mereka. Galih masih harus merelakan salah satu putrinya ikut istri ke pangkuan Tuhan. Namun Galih harus melanjutkan hidupnya, berkarya untuk kelangsungan masa depan kedua putrinya Eufrasia Tara Sedayu (8) & Eleonora Thalia Sedayu (3).
Bagaimana cerita lengkap Galih sebagai single parent, yang mendapatkan dukungan penuh dari keluarga, teman serta sahabatnya?
Saya akhirnya menyadari bahwa segala hal yang kita miliki dalam kehidupan itu sifatnya hanya sementara. Termasuk orang-orang yang paling kita sayangi. Jadi menerima kenyataan seraya mengikhlaskan adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan dalam hidup agar kita tetap dapat melangkah ke depan. Meski kesedihan itu pasti tak mudah dilupakan.
Tentunya sangat berbeda. Tanggung-jawab yang tadinya diperankan oleh istri, kini harus diperankan oleh saya sebagai seorang ayah. Terutama dalam hal membesarkan anak-anak. Tidak ada lagi fungsi istri sebagai penyeimbang dalam hal mengatur dan mendukung.
Setiap bulan di momen kepulangan Tya ke pangkuan Sang Khalik (tanggal 23), saya selalu mengajak Thalia untuk berdoa dan menebar bunga di makam mamanya. Di sanalah saya sering menjelaskan kepada Thalia kalau Mama Tya kini sudah tinggal di Surga bersama Kaka Trima (Alm saudari perempuan Thalia), namun senantiasa hadir tersenyum di hati kami.
Kedua Putri tercinta saya. keluarga (kedua orangtua dan mertua yang turut membantu membesarkan anak-anak), teman & sahabat dalam komunitas. Ketiga hal tersebut dipersatukan atas kehendak Sang Semesta dalam kata “Syukur”.
Tara rutin mengikuti terapi dan sekolah khusus. Namun saya tetap memperlakukan serta menganggap Tara & Thalia sama yakni sebagai anak yang normal. Tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.
Tara diasuh oleh eyangnya (mama saya) yang rela meninggalkan rumahnya di Cipanas dan bersedia tinggal bersama dengan saya & Tara di Bandung. Thalia diasuh oleh kedua mertua saya (kakek & nenek Thalia) di rumah mereka. Namun biasanya tiap weekend, Thalia tinggal di rumah saya. Tidak ada pesan khusus kepada mereka, karena saya yakin dan percaya bahwa mereka bisa mengasuh dan membesarkan kedua putri saya dengan baik. Sebagaimana kedua orangtua saya berhasil mengasuh dan membesarkan saya sendiri sejak kecil.
Biasanya saya banyak berkonsultasi dengan dokter anak, Mami ASI Thalia (Sahabat baik saya), teman-teman yang memiliki pengalaman yang mirip dengan yang saya alami, serta membaca beberapa artikel dari internet.
Kadang saya berpikir dan khawatir bagaimana kalau saya tidak bisa memberikan kasih sayang kepada anak selayaknya seorang ibu, tidak bisa membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus anak, dan tidak bisa menjadi ayah yang baik. Namun karena kecintaan terhadap anak dan keluarga, rasa khawatir itu hilang, sambal menjalani dan menghadapi semua permasalahan yang ada.
Mesti berusaha keras agar kita jadi panutan dan menjadi contoh baik bagi mereka kelak. Menjadi orangtua sekaligus guru dan sahabat bagi anak-anak. Sepertinya itu tantangan terbesarnya.
Tetap belajar, tetap berusaha, tetap bersyukur agar kita bisa tetap bertahan hidup.
“Being a single parent is twice the work, twice the stress and twice the tears, but also twice the hugs, twice the love and twice the pride.”
Quote di atas menurut saya bisa mewakili perjuangan Galih membesarkan Tara dan Thalia. Tetap semangat Mas Galih!