Menjalani pernikahan selama 16 tahun menjadikan Indra Brasco (44) kaya ilmu seputar perannya sebagai ayah dan suami. Yang paling tajam, soal hadirnya ayah yang kadang masih setengah hati buat anak.
Siapa di antara mommies dan para ayah di sini yang masih suka sibuk sama gadget, pas lagi nemenin anak main? Ini nih yang kata Mas Indra Brasco, suami Mona Ratuliu (36) dan ayah dari ketiga anaknya, Mima (15), Raka (9), dan Nala (6), yang membuat sosok ayah juga tidak hadir secara utuh di dalam hati anak-anak.
Walau sibuk, menurut Indra, wajib hukumnya menyediakan waktu buat keluarga. “Walau sehari hanya 15 menit, ayah hadir sepenuhnya, saya yakin, anak akan tumbuh secara utuh.” Bentuknya bisa jemput anak sekolah, ngajak ngobrol dan lain-lain. Tapi kan sibuk, tapi kan banyak kerjaan, dan seribu satu macam alasan. Mengenai kendala ini, Mas Indra punya kiat khusus. Salah satunya ritual “untelan-untelan” sebelum tidur.
Untuk mendapatkan gambaran lengkap, bagaimana Mas Indra memperlakukan pasangan dan anak, di tengah kesibukannya menjalani bisnis co-working space-nya, ConnectInc dan event organizer, Inc Production yang sudah berusia 18 tahun, langsung saja simak obrolannya dengan Mommies Daily berikut ini.
Saya sih dari dulu, memang mendesain pingin hidup saya seperti apa. Alhamdulillah apa yang terjadi sekarang, hampir tercapai semuanya. Contohnya, dulu saya berkhayal punya bisnis pribadi. Yang bisa kapun mengatur waktu, dan itu terjadi. Selain itu, dari yang awalnya tinggal di rumah yang hanya 120 M, ketika lahir Mima, saya sudah bisa memberikan Mona rumah yang lebih besar dan layak. Singkatnya dulu kami adalah pasangan yang setelah menikah, merasakan perjuangan dari 0 dari segi finansial. Saya minta kesempatan sama Mona untuk membuat mimpi saya menjadi nyata – salah satunya punya rumah.
Beruntung saya memiliki Mona, dia orangnya tidak macam-macam. Dia adalah perempuan yang mau menerima saya apa adanya. Rayuan Dilan dulu sudah saya mainkan, hahaha. Saya bilang, “Sayang saya nggak punya apa-apa, tapi saya punya cinta.” Karena cinta itu, menjadi cambuk untuk saya membuktikan ke sebagian orang, yang sempat menganggap saya tidak mampu, untuk bisa melakukan yang lebih baik.
Di usia 29-35, saya tidak ada waktu buat Mima. Bahkan waktu lahiran saya hampir tidak bisa mendampingi Mona lahiran. Karena sibuk luar biasa kerja, untuk memberikan kehidupan yang layak untuk keluarga.
Jadi tools saya adalah mimpi yang terukur, dengan kondisi yang sedang dijalani. Dibarengi dengan rencana yang matang, dan fokus. Bahwa apa yang kita kerjakan, selama itu untuk kebahagiaan keluarga, pasti dikasih jalan sama Tuhan. Kalau bisa mencapai impian tersebut, tapi ternyata melebihi target, ya itu berarti bonus.
Setelah menjalani metode itu, dari 2002. Di 2006 saya bisa kasih hadiah rumah ke Mona. Selain itu, dari dulu kami juga punya impian ingin tinggal di apartemen, dan selalu mengucapkan hal-hal baik seputar itu. Misalnya pas lagi lewat jalan Terogong ada apartemen besar di situ. Kami selalu berucap, “Suatu saat kami ingin punya dan tinggal di apartemen.” Sekarang hal itupun tercapai.
Dan dari dulu, kalau saya punya keinginan, selalu diresapi. Contohnya, mengucapkan “mantra”, suatu hari saya harus punya ini, nggak selewat saja. Contohnya di awal kehidupan sebagai anak rantau, saya pernah bekerja sebagai supir. Bos saya punya mobil Mercy, pas mencuci mobil itu, selalu saya awali di bagian setir, sampai ke ujung mobil yang ada lambang Mercy. Selalu saya barengi doa, setiap hari, “Suatu hari saya akan punya ini.” Dan itu terjadi!
Saya selalu ingin menginformasikan ke teman-teman, rekan kerja maupun tim di kantor. Hadir lah secara lahir batin, sepenuhnya. Itu yang kadang tidak dimilik ayah-ayah. Gambarannya, pulang ke rumah setelah office hour. Badan sudah lelah, beban untuk besok sudah kepikiran, misalnya ada deadline. Sementara anak lagi cerita dengan excited.
Tapi karena ayahnya tidak hadir secara lahir batin untuk anak, tidak menyediakan hati dan telinga untuk anak. Bahkan tidak bertatap mata, karena gangguan gadget atau nonton film. Anak merasa kehadiran sosok ayahnya tidak utuh di dalam hatinya. Walau sehari hanya 15 menit, ayah hadir sepenuhnya, saya yakin, anak akan tumbuh secara utuh.
Waktu yang paling tepat menurut saya adalah saat pulang sekolah. Kita tanya seputar sekolah. Biasanya sih, mereka akan menumpahkan ceritanya. Nah, kita juga harus menghadirkan mata, hati dan telinga 100%.
Bahwa saya merasakan surga di rumah, rumah buat saya surga dunia. Setiap saya pulang ke rumah, merasakan kenyamanan, bersama anak-anak. Ngeliat mereka, sudah seperti keindahan luar biasa. Ngumpul dan ngobrol dalam formasi lengkap. Dan hal kecil-kecil seperti, menunggu saya pulang di depan lift, dengan formasi lengkap, itu sangat sangat berpengaruh memompa energi positif.
Rutinitas-rutinitas sederhana tapi menyentuh, seperti Mona selalu menunggu saya benar-benar hilang dari pandangan saat berangkat kerja, baru masuk ke dalam rumah. Meski sekarang sudah pindah ke apartemen, hal itu tetap kami tauladani ke anak-anak. Jadi apapun yang kita lakukan, anak akan melihat dan akan menirunya.
Sebagai ayah saya bekerja keras untuk merebut hati anak-anak, karena sosok Mona buat anak-anak, seperti angel. Walau istri sendiri, saya salut dengan dia. Pandai menempatkan posisinya sebagai ibu dan istri yang luar biasa.
Di situlah tantangan saya sebagai ayah. Bagaimana cara merebut hari anak-anak. Ini hebatnya Mona. Mona memberikan kesempatan untuk saya masuk. Contohnya: segala hal yang berkaitan dengan teknologi gadget dan film. Mona akan minta anak-anak, tanya ke saya. Bahkan ada waktu-waktu tertentu, Mona membiarkan saya kencan dengan masing-masing anak.
Yang pertama tentukan target. Apa yang mau kita capai, berikut dengan target waktunya. Karena timeline itu sangat menentukan kecepatan kita mencapai target. Kalau kita punya keinginan dan sudah merencanakan waktu, ternyata molor, berarti kecepatan kita kurang. Nah, faktor apa nih yang menyebabkan hal tersebut? Apa usahanya kurang, atau dukungan dari keluarga yang kurang maksimal. Selain itu, jika kita punya bisnis sendiri. Usaha kita wajib mengikuti zaman.
Contohnya ketika saya mengamati bisnis EO, posisi bargaining-nya sudah tidak terlalu tinggi. Saya beralih membuat co-working space. Setelah sudah pasti keluarga tinggal di apartemen, rumah tinggal kami, direnovasi menjadi co-working space. Tentu didahului dengan meyakinkan Mona.
Ada, setiap hari kami lakukan. Namanya, “untel-untelan”. Lebih ke rekreasi hati. Kepenatan dan kesibukan setiap hari, di-refresh dengan ritual ini. Melepaskan semua lelah, dari fisik dan batin. Ritual ini kami lakukan di rumah, setiap jam 8-9 malam, dengan formasi lengkap. Mulai dari main gulat sama Raka, dan kadang saya memasukkan unsur olahraga.
Ritual ini dampaknya untuk kami membawa pesan, kehadiran anak-anak adalah rezeki yang luar biasa dan membuat kami sebagai orangtua bahagia. Karena masih banyak orang yang bingung mencari kebahagiaan dan ketenangan.
Untuk soal bisnis dan kehidupan parenting. Saya lebih banyak learning by doing, dan saya orangnya audio visual. Kalau baca itu, jadinya ngantuk. Malah lebih banyak Mona yang menerjemahkan, khususnya untuk buku-buku parenting. Contohnya, kalau Mona lagi ada seminar atau talkshow saya pasti ikut, jadinya ikut menyimak, menyerap informasi-informasi. Dari dunia bisnis, saya lebih suka mendengarkan pengalaman orang lain.
Pertama, bekerjalah karena sesuatu yang kamu suka, itu akan fokus. Misalnya, saya nyaman banget membuat co-working space ini. Semua detail saya perhatikan, mendampingi tim yang sedang membuat di dinding contohnya.
Tapi, kalau bisa, jangan bekerja sesuatu yang berdasarkan hobi. Alasannya, hobi itu adalah lepas dari tanggung jawab dan tekanan, hobi itu ya senang-senang. Lagi stres main musik, dengan itu semua stres hilang, itu bagus. Begitu hobi menjadi pekerjaan, dua unsur tadi masuk (tanggung jawab dan tekanan.)
Mendengarkan musik sendirian dan nanyi. Walau suara tak seberapa, harus saya keluarkan, hahaha. Selain itu juga sama keluarga, ya. Dalam konteks me time dengan Mona, kami biasanya traveling berdua saja.
Sempat jenuh. Di usia 40 saya seperti ingin pindah model bisnis, dari EO ke bisnis lain. Akhirnya mencari sesuatu yang baru, tapi cari sesuatunya yang kita suka, jangan “lari” terlalu jauh, karena nanti yang bicara emosi. Waktu itu sedang booming start up. Saya sempat sekolah start up, di usia 41. Saya mulai mempelajari, apa sih yang dibutuhkan anak-anak muda ini. Salah satunya wadah mereka untuk bekerja. Makanya saya merintis Connectinc, sebagai co-working space.
Banyak banget ya. Tapi yang paling andal, adalah peran Mona. Dia memberi kesempatan saya belajar sendiri, dia tidak penah memaksakan. Waktu buku “ParenThink” Mona hadir, dan kami sadar pola asuh ke Mima salah. Mona itu yang berubah dulu, tanpa harus memaksakan ke saya. Awalnya kami sering berantem, dan akhirnya kami memutuskan, supaya Mima nggak bingung, jadi kami punya otoritas masing-masing. Masing-masing kami punya aturan atau kesepakatan yang diberlakukan ke Mima dan salah satu dari kami tidak boleh melanggar.
Dan Mona memberikan tauladan. Saya melihat anak-anak semakin dekat dengan Mona, dan saya menjadi momok. Mereka merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya. Dulu Mima sempat mengalami hal itu. Dan Mona membiarkan saya melihat kemajuan, dia mempraktikkan ilmu buku “ParenThink” ke anak-anak. Lalu hadir Raka, dan saat itu saya sudah “sadar.” Semua hobi yang biasanya saya laksanakan di akhir pekan, tidak lagi saya kerjakan. Karena Raka adalah anak laki-laki yang butuh sosok ayah atau role model seutuhnya.
Sampai sekarang, saya punya alasan mendampingi Mona untuk selalu mendengarkan ilmu yang dia bagi di seminar. Karena yang harus disadari orangtua, hanya satu kok – selau upgrade ilmu parenting. Karena kita tidak bisa memberlakukan semua pola asuh yang pernah didapat dari orangtua kita dulu. Banyak penyesuaian di sana sini.
Terima kasih untuk sesi ngobrolnya Mas Indra. Sukses selalu di kehidupan keluarga dan bisnisnya :)