Ditulis oleh: Febria Silaen
"Pernah merasa tidak punya arti dan bukan menjadi perempuan sempurna karena kondisi payudara yang harus ku relakan."
Hari esok bahkan hari ini tidak pernah ada yang tahu. Itulah kehidupan. Hari ini sehat, entah esok. Tapi semua hal yang pernah saya alami ini membuat saya belajar untuk menjadi perempuan yang selalu ada ketika dibutuhkan anak-anak dan tetap memiliki percaya diri. Bahwa saya adalah perempuan sempurna, meski payudara tak lagi sempurna.
Perjalanan cerita sebagai penyintas kanker payudara stadium 3 berawal pada pertengahan tahun 2009. Ketika itu saya masih bekerja di sebagai graphic designer. Di kantor, saya merasa ada yang tidak beres dengan payudara. Ketika saya cek, ternyata ada cairan yang keluar, cairan seperti ASI. Tapi berwarna merah bening keluar dari puting payudara.
Jujur, saya kaget. Tapi berusaha tenang dan mencari tahu di internet meski dalam hati pun saya sudah bisa menebak apa yang terjadi kalau kondisi yang saya alami, adalah tanda kanker payudara. Sampai di rumah, saya langsung menceritakan kejadian di kantor. Ngobrol sama suami, dan suami menyarankan untuk saya memeriksakan diri. Tapi saat itu saya masih enggan dan belum berani. "Ah nanti-nanti saja."
Belum lagi pendapat dari orang-orang terdekat yang menyarankan untuk saya mencari pengobatan non medis, membuat saya menunda untuk memeriksakan diri. Suami saat itu tidak terlalu memaksakan saya juga.
Tapi akhirnya pada tahun 2011 saya pun memberanikan diri memeriksa ke Yayasan Kanker Indonesia. Lalu pada tahun 2012 saya pun berkonsultasi ke dokter onkologi di rumah sakit di kawasan Rawamangun Hasilnya sungguh membuat saya kaget dan sedih. Dokter memvonis saya kena kanker ganas pada payudara. "Kanker payudara stadium 3. Saya harus di mastektomi"
Ketika mendengar vonis itu, yang langsung terbersit adalah soal biaya. Berapa rupiah yang harus kami siapkan? Apalagi ketika itu BPJS belum ada. Jadi kami harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mastektomi.
Selama perjalanan pulang, saya dan suami banyak diam. Masing-masing dari kami seperti memiliki pikiran masing-masing.
Dua minggu kami tertekan, stress. Ada banyak hal yang kami pikirkan. Mulai dari biaya hingga memikirkan bagaimana nanti anak-anak, siapa yang akan mengasuh.
Biaya, bagaimana anak-anak, bagaimana suami, semua jadi beban. Penyakit yang saya rasakan seperti bukan lagi hal utama. Belum lagi kondisi finansial, kalau saya akhirnya tidak bekerja karena menjalani pengobatan. Apakah suami bisa mencukupi kebutuhan kami dengan single income.
Namun, satu sisi saya merasa beruntung di tengah berkecamuk perasaan dan pikiran, saya bisa menjalani proses sakit ini tahap demi tahap. Mulai dari saya tahu tentang penyakit kanker payudara ini, lalu menjelaskan kepada anak hingga menjalani masa pengobatan.
Ketika, saya sudah divonis kanker payudara stadium 3, saya pun tidak menunda menceritakan kepada kedua anak saya. Meski ketika itu usia mereka masih kecil. Saya belajar untuk jujur pada mereka, tidak menyembunyikan sakit saya.
Saya terbuka menceritakan kalau sakit yang dialami adalah kanker. Ketika anak-anak bertanya kanker itu, apa saya sebut ada benjolan. Di mana letak benjolan? Saya jelaskan di payudara.
Dua anak saya memiliki karakter yang berbeda. Si kakak lebih banyak diam, berbeda dengan adik yang banyak bertanya.
Meski sulit, tapi bertahap saya menjelaskan tentang penyakit dan proses pengobatan serta efek samping yang saya akan hadapi dan mereka pun akan lihat. Saya meminta mereka untuk bisa mandiri, ketika saya sakit.
Namun, ternyata tetap saja butuh waktu untuk menerima itu semua. Baik saya, sebagai penderita maupun suami dan anak sebagai pendamping pasien kanker.
Hal yang cukup berat untuk diterima anak bungsu saya adalah ketika, saya memberitahu akan botak. Saya menjelaskan kepada si kecil bahwa obat kemoterapi sangat keras dan akan membuat rambut rontok. Jadi saya memutuskan untuk mencukur habis rambut.
Si bungsu butuh waktu dua bulan untuk bisa melihat saya dengan kondisi tanpa rambut, botak.
Setelah dua bulan, barulah si bungsu bisa beradaptasi. Sesekali saya pun berusaha menghibur diri dengan berkata "tapi mama tetap seksi kan, dek. Meski botak." :)
Berat, sesungguhnya berat untuk bisa percaya diri depan anak-anak. Tapi itu harus saya lakukan. Saya sempat bereksperimen dengan berbagai gaya ketika kepala gundul. Mulai dari memakai topi hingga menutup rambut dengan gaya ala orang gipsy dengan syal.
Tapi dari semua proses yang saya lalui, kemoterapi adalah hal terberat yang membuat saya down, merasa tidak percaya diri hingga akhirnya merasa menjadi manusia yang tak berguna.
Bagaimana tidak, sehari-hari sebelum sakit ini menghampiri, saya adalah perempuan bekerja dan ibu yang bisa menyiapkan semua keperluan keluarga. Namun, ketika kemoterapi, saya lemas tak berdaya. Ingin melakukan ini itu, tapi tubuh lemas. Efek kemoterapi lemas, mual membuat saya tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari sebagai ibu. Sedih sekali.
Saya juga pernah mengalami sangat tidak percaya diri sebagai perempuan. Saya merasa bukan menjadi perempuan yang utuh dengan kondisi payudara yang tidak lagi sama seperti dahulu.
"Jujur ada perasaan takut, suami melirik orang lain. Ya tentu itu adalah ketakutan yang wajar bukan dari seorang istri. Apalagi dengan kondisi sebagai pasien kanker payudara.
Tapi semua masa-masa sulit itu bisa saya lalui bersama suami dan kedua anak saya. Kini saya bisa menikmati kembali peran sebagai perempuan dengan bekerja paruh waktu. Menjadi ibu yang dibutuhkan anak-anak.
Rasa percaya diri saya tumbuh seiring waktu untuk bisa menatap hari-hari yang indah bersama anak-anak. Bersama suami dan anak untuk menikmati kebahagiaan dan tawa bersama.
Payudara yang hilang satu, tidak menghilangkan kebersamaan dan waktu bersama keluarga tercinta. Sebab, kami sama-sama berjuang untuk mencintai kehidupan.
Diceritakan oleh Glo (46) tahun, ibu dua anak Evans (13) dan Petra (12).