Menghadapi anak yang sebentar lagi akan memasuki usia remaja, saya akhirnya mengenal satu ketakutan baru: Patah hati pada anak sendiri.
Kilas balik ke masa anak-anak masih bayi hingga balita, itulah masa ketika mereka masih menganggap saya adalah dunianya. Masa ketika mereka melihat saya denga tatatapn penuh kekaguman. Masa ketika masalah parenting terbesar saya mungkin hanyalah menjawab ‘teror’ pertanyaan yang tiada henti.
Dan kemudian, baaaaaam!!! Mereka semakin besar, usia mereka merangkak naik, saya pun kini menjadi partner berdebat yang tiada henti (fiuuuh).
Fast forward,
Anak pertama saya saat ini berusia 12 tahun, nggak terhitung berapa banyak dia membuat saya tertawa, membuat saya merasa bangga dan membuat saya merasa bahagia. But well, hidup itu ibarat roller coaster kan ya, termasuk dalam urusan membesarkan dan mendidik anak. Maka di balik semua rasa bahagia itu, saya juga harus berkata jujur, bahwa memasuki usia pra remaja anak saya pun tak jarang berubah wujud menjadi lawan tangguh yang kerap membuat saya mengelus dada, menahan tangis hingga khawatir akan merasa patah hati pada anak sendiri, karena ucapan atau tindakan yang dia lakukan ke saya.
A roller coaster of emotions
Perubahan ini yang paling saya rasakan. Dalam satu jam periode waktu, dia bisa mempunya dua emosi yang sangat bertolak belakang. Dia bisa maraaaaah hingga membanting pintu dan mengunci diri di dalam kamar, untuk kemudian 30 menit kemudian, dia bisa ngobrol lagi dengan saya seolah-olah tidak pernah terjadi pertengkaran di antara kami. Dia semacam lupa bahwa sebelumnya dia telah berteriak dan mengatakan “Aku benci mama…”
Baca juga:
10 Alasan Pemicu Marah Pada Remaja
Bagaimana dengan saya? Saya bukan malaikat, itu sudah pasti! Nggak jarang emosi saya pun tersulut dan saya nyaris ingin memukulnya (ini harus saya akui). Tapi puji Tuhan sih, hingga detik ini saya tidak pernah memukul anak saya.
Ada masa ketika di tengah kemarahan, saya masih bisa bertanya baik-baik dan memberikan jawaban dengan nada yang manis.
Ada masa ketika saya masih sanggup berdiri dan menatap wajahnya serta menyuruh dia untuk meminta maaf atas apa yang telah dia lakukan.
Ada masa ketika akhirnya saya menyerah, keluar dari kamar, masuk ke kamar saya, menangis, berdoa sama Tuhan agar saya diberikan kesabaran. Karena saya takuuuuut, akan mengeluarkan kata-kata yang kelak akan saya sesali. Dan membuat saya merasa patah hati dengan sikapnya.
Namun satu hal yang pasti, setelah semua emosi negatif mereda, saya akan mencari waktu berdua dengan si kakak, membicarakan apa yang terjadi tadi, dan meminta maaf satu sama lain.
Baca juga:
Membangun Self Esteem Pada Anak Remaja
Dia asik dengan dunianya sendiri
Kadang saya rindu momen untel-untelan dengan si kakak di kamar
Kadang saya rindu mendengar antusiasmenya saat saya ajak pergi bersama
Kadang saya rindu dengan ocehannya yang tiada henti bercerita tentang apa pun
Karena kini, diajak pergi dia sudah milih-milih. Kalau merasa nggak seru untuk anak seusianya, ya mendingan dia di rumah main sama teman-temannya atau nonton bola *__*.
Karena kini, setiap kali ditanya
“Gimana kak hari ini seru di sekolah?” “Seru.”
“Main apa tadi sama teman-teman?” “Ya main macam-macam”
“Ada yang nggak nyenengin di sekolah?” “Biasa aja.”
Kalau sudah begini, saya yang harus pintar-pintar cari momen untuk ngobrol atau mengajak jalan bareng. Biasanya, si kakak senang bercerita kalau lagi nggak ada adiknya di dekatnya :D, atau saat mau tidur.
Jadi saya juga nggak mau terlalu maksa. Saya mencoba berpikir positif bahwa bukannya ada yang dia sembunyikan, tapi memang dia sedang irit bicara, karena menganggap privacy adalah segalanya di usianya itu. Tapi serius, positive thinking menghadapi anak remaja itu penting banget, kalau nggak kitanya jadi super parno.
Pada akhirnya, saya belajar, bahwa menjadi orangtua dengan anak remaja saya perlu meningkatkan kembali skill emosi saya. Kemampuan untuk mengatur marah, kemampuan untuk memahami kapan saya harus keras dan kapan saya harus lunak, kapan saya harus banyak bicara dan kapan saya harus banyak mendengarkan. Kapan saya harus turun tangan dan kapan saya harus membiarkan.
Baca juga:
And finally, as a parents with teenager, put yourself in their position. Because, after all you were once there yourself!