Sorry, we couldn't find any article matching ''
Marah Pada Anak dan Cara Agar Nggak Kebablasan
Kalau Anda tipe orangtua yang nggak pernah marah sama anak, jangan baca tulisan ini ya, karena artinya kita beda aliran dan Anda tidak membutuhkannya, hehehe.
Mungkin saya memang jenis manusia yang aneh bin ajaib kali ya, setiap kali ada orang yang bertanya ke saya bagaimana rasanya menjadi ibu (umumnya yang bertanya itu sedang hamil atau berencana hamil), porsi tentang hal menyenangkannya akan lebih sedikit dibanding porsi tentang hal yang menantangnya. Saya lebih banyak mengulas fakta bahwa punya anak itu penuh tantangan lho, bahwa punya anak itu akan penuh drama lho, bahwa punya anak itu nggak melulu ketawa tapi ada nangisnya juga!
Nggak sedikit juga yang menghakimi saya bahwa saya menakuti mereka. Padahal niat mulia saya adalah membuat mereka siap akan kemungkinan-kemungkinan yang nggak seindah di iklan televisi :D. Intinya, berpikir rasional aja, bahwa jadi orangtua itu memang penuh tantangan (terlebih secara emosi).
Jangan lantas merasa gagal atau merasa kita adalah orangtua yang buruk kalau kemudian sesekali kita kecolongan saat anak asik-asik mengemut ujung sepatunya, atau saat anak nggak mau makan, atau saat anak lagi nggak bisa bersikap sopan atau saat kita kelepasan marah dan emosi membludak menghadapi perilaku anak yang DUH banget.
Bicara tentang marah pada anak, saya merasa semakin kedua anak saya besar saya lebih mudah terpancing lho untuk marah. Mungkin juga karena di usia mereka yang semakin besar, mereka sudah semakin hobi ‘ melawan’ mamanya :D. Sudah semakin pandai menjawab mamanya. Gemas pakai banget. Belum lagi pengaruh dari lingkungan pergaulan.
Ada kalanya saya bisa sabar menghadapi perilaku mereka. Nggak jarang saya berasa ingin berubah menjadi Hulk dan membanting apa saja yang ada di dekat saya, apalagi kalau mereka mendadak kurang ajar (iya anak saya juga pernah kurang ajar kok). Yang saya takutkan adalah kalau saya kebablasan marah kemudian mengeluarkan kalimat-kalimat yang nantinya saya sesali.
So, what am I doing ketika emosi saya kayaknya bakal bleber? Ini beberapa hal yang coba saya terapkan agar jangan sampai saya kemudian melakukan atau mengucapkan hal-hal yang akan saya sesali:
1. Menjauh dan berhitung
Menjauh dari anak. Bisa keluar kamar, keluar ruangan atau matikan dulu teleponnya (kalau berantemnya di telephone) dan jangan baca dulu WA-nya, kemudian berhitung. Sampai berapa? Ya sampai marahnya saya berkurang. Bisa sampai sepuluh atau sampai 50 hingga 100. Ini memberikan otak saya waktu untuk berpikir dan memberikan hati saya waktu untuk mereda.
2. Mencari benda lain untuk pelampiasan emosi :D
Biasanya saya suka memukul bantal ketika sudah benar-benar nggak tahan menghadapi anak yang warbiasak sikapnya. Masuk ke kamar, kunci, ambil bantal, pukul keras-keras. Energi negatif jadi lumayan tersalurkan.
3. Teriak aja
Lagi-lagi ini saya lakukan dengan cara menutupi wajah saya dengan bantal lalu berteriak yang kencang. Lebih plong aja ketika berteriak. Apakah ini lantas membuat saya nggak pernah berteriak ke anak-anak? Ya tetap pernahlah. I am only human, beb.
4. Do something physical
Melampiaskan emosi dalam kegiatan yang menuntut kegiatan fisik itu sangat sangat membantu. Bisa olahraga, bersih-bersih rumah, cuci mobil, menyapu halaman atau menyortir benda-benda yang sudah nggak terpakai.
5. Bicara jujur pada anak
Kadang, ada masanya kita perlu berbicara jujur tentang perasaan kita ke anak, agar anak juga tahu kalau mama ini juga bisa merasa sedih dan sakit hati lho! Saya pernah bilang ke anak saya, “Mama sedih dan marah lho kalau kalian kurang ajar sama mama.”
6. Kenali apa yang memicu marahnya saya menjadi luar biasa
Berawal dari anak bertanya kenapa pak supir nggak kunjung datang menjemputnya, kemudian berakhir dengan jawabannya yang kurang ajar. Nah, saya paling nggak tahan dikurang ajarin anak. Jadi begitu anak saya kurang ajar, saya mudah banget tersulut emosinya. Kalau sudah mengenali pemicu amarah, saya biasanya akan memaksa diri untuk fokus kepada masalah utamanya. Masalah utama adalah anak yang bosan menunggu si supir. Fokus di situ, cari jalan keluarnya. Kemudian bagian anak yang kurang ajar menjadi catatan untuk saya bahas ketika saya sudah lebih tenang.
7. Pelukan aja yuk
Ini lumayan ngaruh saat anak-anak masih usia sekitar 7 – 8 tahun. Kalau saya dan mereka mulai ‘berantem’ dan saya lagi lelah beragumentasi, saya ajak mereka pelukan. Biasanya mereka bengong dulu, kemudian nurut pelukan, ahahaha.
Saya percaya, anak-anak itu adalah cerminan dari kita orangtuanya. Jangan kita hanya mau mengakui mereka sebagai “anaknya siapa dulu dong,” pada bagian yang membanggakan saja.. They also are mirrors, reflecting back to us the ugliest parts of ourselves. They listen to how we talk, how we act. They listen and repeat our tone.
Share Article
COMMENTS