banner-detik
ETC

Kenapa Saya Nggak Mau Punya Banyak Anak?

author

annisast29 Jun 2018

Kenapa Saya Nggak Mau Punya Banyak Anak?

Karena capek. Ahahaha. Memang itu doang kok penyebabnya. Tapi tentu nggak puas dong ya kalau saya cuma bilang saya nggak mau punya anak lagi karena capek. Padahal untuk sekarang ini, satu rasanya sudah lebih dari cukup.

banyak-anak

Alasan berikutnya adalah saya nggak keibuan. Semua perempuan punya naluri keibuan itu mungkin benar, cuma dikasih jatahnya SEBERAPA BANYAK itu saya yakin beda-beda. Karena saya juga nggak terlalu suka anak-anak. Saya bukan tipe tante yang sanggup dititipi ponakan seharian apalagi harus ngajak jalan-jalan ke mall.

Saya juga nggak yakin saya bisa adil. Iya sih orang bilang punya anak dua cintanya nggak terbagi malah bertambah. Tapi saya belum percaya diri saya akan bisa maksimal mengurus lebih dari satu anak.

Karena anak saya satu, saya kasih semua yang saya bisa, belajar parenting banyak sekali, konsultasi psikolog, dan menyiapkan stok sabar yang entah berapa banyak sampai saya jarang sekali lho membentak anak. Hampir tidak pernah TAPI saya nggak yakin bisa kasih semaksimal ini untuk anak kedua. Lagian, banyak orangtua yang diam-diam mengakui memang lebih sayang pada anak yang satu dibanding anak yang lain kan meski sudah setengah mati berusaha adil? :)

Juga jangan salah, saya percaya pada rezeki dalam bentuk uang. Setiap anak punya rezekinya sendiri, jangan takut kekurangan uang, orang bilang (meski orangtuanya yang harus kerja extra keras yaaa). Tapi nggak tuh, saya nggak takut kekurangan uang untuk mengurus anak. Ya asal mau kerja, kan?

Yang saya takutkan adalah saya kehilangan diri saya.

Saya takut semua energi saya di masa muda ini habis hanya untuk mengurus anak. Ketika mereka besar, usia saya sudah tidak produktif lagi. Kemudian saya menyesal menghabiskan waktu untuk orang lain (baca: anak saya) kemudian menghibur diri dengan bilang “berkorban demi anak”.

Duh, jangan sampai. Kenapa harus ada korban segala, punya anak kan bukan perang. Tidak perlu ada korban karena saya memang tidak mengorbankan apa-apa. Mendidik dan membesarkan anak jadi kewajiban saya karena sudah melahirkan dia. Anak saya tidak punya utang apa-apa pada saya.

Oiya, saya juga tidak siap dengan kekhawatiran yang pasti jadi berlipat ganda. Sebetulnya kehamilan saya lancar, proses kelahiran ada drama tapi juga lancar. Nightmare muncul di 3 bulan pertama, anak saya kolik, tidak pernah bisa tidur malam.

Bulan-bulan berikutnya sampai umur 2 tahun, dia masih bangun 2-3 kali setiap malam. Sampai 3 tahun dan berhenti menyusu, dia masih bangun sekali tiap malam. Mungkin saya trauma, mungkin juga sesederhana tidak mau capek lagi, tidak mau khawatir lagi. Khawatir anak sakit, khawatir harus izin dari kantor berlama-lama.

Kekhawatiran berlipat juga dikasih kebahagiaan berlipat? Ah, saya nggak perlu serakah. Sekarang saja sudah cukup, sudah sangat bahagia. Tidak pernah kurang apapun.

Saya sudah tidur nyenyak lagi, saya sudah kembali produktif, kerja full time, belajar gambar, belajar menjahit. Saya sudah tak perlu lagi pusing memikirkan ASI, MPASI, toilet training dan tetek bengek lainnya.

Kalau kalian bilang “sabar aja itu cuma terjadi di 4 tahun pertama”, ya sejujurnya saya nggak rela 4 tahun saya berikutnya harus kembali fokus pada individu lain. I want my own life.

Saya egois? Saya sih nggak ngerasa begitu ya. Menurut saya, yang egois itu justru orang-orang yang memutuskan punya anak tanpa rencana. Tanpa tahu harus mempersiapkan apa sebagai orangtua. Bukan uang, bukan pakaian, tapi mental mendidik dan merawat sampai ia dewasa.

“Nanti anaknya kesepian lho! Nanti pas kalian tua nggak ada yang mengurus lho!”

Oh tentu saya juga sudah riset soal ini. Teman-teman saya yang anak tunggal nggak semuanya ngerasa kesepian tuh. Ada yang kesepian, tapi itu pun yang orangtuanya memang kurang berperan.

Kalau soal masa tua sendirian? Duh ya, saya membesarkan anak bukan sebagai investasi. Nenek saya anaknya lima, hidup sendirian sampai akhir hidupnya. Ibu saya anaknya tiga, kini tinggal berdua dengan ayah saya. Cepat atau lambat, kita akan tetap sendirian kan.

Jadi, punya anak satu, punya anak banyak, atau tidak punya anak sama sekali itu kesepakatan masing-masing pasangan. Tak perlu jadi bingung apalagi mempertanyakan keputusan orang lain atau menganggapnya aneh. You’re not in their shoes. You don’t live their life. Yang paling penting: sudah sepakat dengan suami mau punya anak berapa? :)

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan