Ketika Anak Menulis Surat Ingin Lari dari Rumah

Kids

Mommies Daily・25 Apr 2018

detail-thumb

Ditulis oleh: Febria Silaen

Beberapa waktu lalu, secarik kertas mendarat manis di depan pintu kamar. Begini isi surat itu. Kalau aku lari dari rumah boleh? Kalau masih marah aku pergi! Dah

Begitu isi singkat surat yang ditulis di kertas berwarna kuning bergambar Mickey Mouse. Dan yang menulis surat itu adalah putri semata wayang saya, Janet (8).

Jujur sebagai ibu ketika membaca surat itu saya kaget dan cemas. Ya, saya merasa khawatir dan sempat berpikiran negatif. Duh, bagaimana ini kalau anak beneran kabur dan lari dari rumah? Kok, kecil-kecil sudah berani menulis surat seperti ini!

Sebelum saya memberikan reaksi atas surat itu, saya mencoba menarik napas panjang dan membaca isinya berkali-kali. Sambil sesekali mendengar dari luar kamar, apakah ada bunyi pagar yang terbuka. Saya juga sempat mengintip dari jendela kamar. Aman, anak saya sepertinya tetap ada di rumah. Dan akhirnya setelah merasa tenang, saya melipat surat itu dan keluar dari kamar.

Saya berada di kamar memang karena sedang menahan emosi dan amarah karena perilaku yang kurang baik dan tidak sopan yang dilakukan oleh anak saya. Buat saya masuk kamar dan berdiam diri membantu untuk mengurangi ocehan penuh emosi yang nanti berujung tidak baik.

Ketika Anak Menulis Surat Ingin Lari dari Rumah - Mommies Daily

Sebab, saya ingat Bu Elly Risman, Psi, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati dan pemerhati anak pernah mengatakan, tarik napas panjang sebanyak tiga kali ketika amarah mulai muncul. Selanjutnya beliau juga mengatakan agar kita sebagai orangtua menjaga lisan saat berbicara kepada anak. Kita harus bisa menahan diri untuk tidak marah, membentak bahkan menyakiti secara fisik ketika anak melakukan kesalahan.

Karena orangtua yang marah-marah, akan membuat anak tumbuh menjadi anak yang "ganas" dan ada kemungkinan ia pun akan membenci orangtua sedikit demi sedikit hingga tidak tahan hidup bersama. Aduh, amit-amit saya tidak mau itu terjadi.

Jadi saya memilih untuk berdiam diri di dalam kamar. Ketika keluar kamar, saya sama sekali tidak membahas tentang surat itu. Jujur, saya bingung mau bicara apa menyikapi perilaku anak saya. Saya pun sempat membahas masalah ini kepada salah satu teman yang juga kebetulan pemerhati anak dan psikolog Wisesty Marrysa, Psi.

Menurutnya, anak yang berani menulis surat seperti itu menggambarkan karakter anak yang memiliki kepercayaan diri yang kuat, mandiri dan memiliki daya juang tinggi. Itu sisi positif, tapi sisi buruknya sifat keras kepala juga mendominasi. Sehingga untuk karakter anak seperti anak saya, tidak bisa disikapi dengan mengomel atau marah. Tetapi melalui diskusi panjang. Dan model anak seperti anak saya, tidak bisa memakai cara berkomunikasi satu arah. Apalagi dengan bentakan dan hardikan ketika mereka salah.

Ditambahkan lagi oleh psikolog yang memiliki tiga anak ini, anak dengan kepercayaan diri dan keberanian tinggi ini membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri. Hindari memberikan banyak batasan. Peran orangtua adalah menentukan batasan dan memerhatikan. Jika dianggap keluar jalur, diberitahu dengan pengertian melalui diskusi. Jadi untuk tetap dalam aturan orangtua, bukan memberikan pagar sebagai batasan.

Dan ternyata setelah ngobrol panjang dengan sesama para ibu dan bertukar pengalaman tentang pola asuh anak, saya mendapati, kalau keinginan kabur pun ternyata pernah dialami para orangtua ketika kecil. Seperti cerita teman saya bernama Widya. Dirinya mengaku pernah kabur karena kesal sama ibunya. Kabur pada malam hari pergi ke musala dan sempat menggegerkan warga karena dicari-cari.

Setelah puas mendapatkan referensi, saya pun memiliki modal untuk bisa membahas tentang surat ancaman kabur itu kepada anak. Dua hari setelah surat kabur saya terima, akhirnya saya memutuskan untuk mengajaknya berbicara. Sepulang sekolah saat makan bersama, saya pun mulai membuka obrolan. Ya, tentu dimulai dari percakapan ringan seputar aktivitas di sekolah. Kemudian saya mulai masuk ke soal surat tersebut. Saya mulai dari pertanyaan sebagai berikut :

Ibu : “Memang kalau kamu kabur mau ke mana?"

Janet : “Mau ke rumah Opung “(nenek dalam bahasa Batak)

Ibu : “Hahaha kabur kok dekat banget. Itu mah Ibu gampang carinya. Kamu tahu nggak, kabur itu nggak enak. Jauh dari rumah dan belum tentu bisa balik lagi loh. Terus kamu susah cari makan, nggak bisa tidur di kamar yang enak. Dan nggak bisa ketemu ibu setiap hari. Ibu sedih.”

Mendengar itu, anak saya langsung memeluk dan bilang “Aku sayang Ibu”

Momen berharga itu saya manfaatkan dengan memeluk dan bilang “Ibu juga sayang kamu. Sayang sekali. Jangan diulang lagi ya, bilang mau kabur .”

Dan akhirnya kami berdamai tanpa harus berdebat panjang.