Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Jangan sepelekan remaja zaman now (kalau mereka sedang sensi). Apa sih, yang bisa bikin mereka marah?
Menginjak usia 11 tahun si Pi (anak saya), saya merasa kewalahan menghadapi ‘tantrum’nya yang bisa meledak sewaktu-waktu. Saya sebut tantrum karena mengingatkan saya pada saat anak dia masih balita, yang kerap moody, uring-uringan, sensi, dan marah hanya karena hal-hal sepele. Bikin keki!
Misal, setiap kali saya mengingatkannya bahwa waktu main game-nya sudah habis, ia akan meminta tambahan waktu, ia mau berhenti sambil menaikkan intonasi suara atau menjawab dengan marah dan suara kencang, “Iyaa! Oke Bu, Oke!”
Lain waktu, ia marah-marah sampai menangis karena taksi online pesanan tak kunjung sampai. Pernah juga, tiba-tiba ia menangis kencang saat sedang saya ajak bertamu ke rumah teman saya di luar kota. Ia marah ketika ia merasa sudah menyampaikan berulang kali suatu cerita, dan saya lupa apa yang ia katakan. Dan, masih banyak lagi daftar kemarahannya, yang sebagian besar datang di saat tak terduga.
Saya masih merasa aneh. Badan makin gede (tingginya hanya selisih 5 cm dengan saya), topik pembicaraannya sudah seperti orang dewasa. Selera musiknya ABG banget. Tapi makin tantrum.
Ketika saya curhat ke seorang teman psikolog yang dua anaknya baru melewati masa remaja, ia mewanti-wanti saya. “Remaja itu darahnya sedang panas. Mereka sedang nggak nyaman dengan perubahan pada tubuhnya sendiri. Makanya, orang tua jangan ikutan panas,” begitu sarannya.
Menurut sebuah artikel di Live Science, usia remaja kebanyakan ditentukan pada rentang usia antara 11 - 19 tahun. Ini dianggap sebagai masa kritis. Pada fase inilah, keterampilan kognitif dan kemampuan baru akan muncul. Karena belum pandai menggunakan kecerdasan barunya itu, remaja jadi banyak melakukan percobaan. Terkadang orang tuanya sendiri dijadikan kelinci percobaan. Banyak remaja melihat konflik sebagai sarana untuk mengekspresikan diri atau memahami sudut pandang orang lain.
Nah, di bawah ini adalah daftar yang bisa memicu kemarahan remaja, berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman teman, ditambah dari berbagai sumber.
1. Disalahpahami oleh orang tua. Miskomunikasi sering terjadi. Kadangkala, dampaknya bisa fatal.
2. Kritik negatif. Tokoh-tokoh jahat di film biasanya menjadi jahat karena mereka sering mendapat stigma negatif, terutama pada fase remaja. Satu contoh, tokoh Gru di film Minion. Ketika kita terus menerus mengkritik kekurangan anak, ia akan merasa sebagai anak yang gagal. Bukannya tidak boleh mengkritik, tetapi ada baiknya diimbangi dengan pujian.
3. Ditanya, “Gimana sekolah?” Begitu mereka sampai rumah. Kalau sedang tidak mood, mereka bisa saja menafsirkan pertanyaan itu sebagai, “Gimana nilaimu?” Kesannya orang tua terlalu menuntut dan sedang menginterogasi.
4. Mereka marah ketika emosi kita meledak (akibat ulah mereka juga sih). Kalau kita bereaksi dengan kemarahan, mereka akan menanggapinya dengan lebih marah. Kalau kita panik, mereka akan lebih panik. Sebelum kita menuntut mereka untuk mengelola emosi, orang tuanya dulu yang harus ditata anger management. Beda banget dengan zaman orang tua kita dulu, yang kalau orang tua marah, anak takutnya setengah mati. Anak zaman sekarang? Nggak ada takutnya sama orang tua.
5. Saat kita membocorkan rahasia yang ia sampaikan ke kita, lalu bocor ke teman-temannya. Maksudnya sih, sharing sesama ibu, eh tapi sampai juga ke telinga temannya. Perlakukanlah informasi tersebut sebagai informasi berharga, yang hanya boleh bocor atas seizin dia.
6. Saat saya ngomel panjang. Ha…ha…ha…. Ketika anak melakukan kesalahan, umumnya orang tua akan ngomel dan menceramahi anak, “Makanya harus begini…harus begitu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.” Ternyata hal ini bisa jadi bumerang. Anak jadi semakin membangkang dan merusak kepercayaan anak ke kita.
7. Fait accompli jadwal anak. Mereka bukan lagi bocah yang kemanapun mau ikutin jadwal orang tua. Mereka adalah individu yang ingin menentukan sendiri waktunya. Makanya, kalau ada acara yang mengharuskan anak ikut, saya harus ‘minta izin’ dulu ke dia.
8. Ketika saya terlalu ikut campur membantu memecahkan masalah anak. “Ini harusnya pakai lem saja.” “Jangan pakai pensil.” “Gambarnya gedein dong.” Jangan pernah ikut campur pada ‘proyek’ yang sedang dikerjakan anak. Kalau saya sudah mulai ‘gatal’ atur-atur dan mengkritik proyeknya, ia akan marah besar. Ia akan membutuhkan saya, hanya kalau ia meminta tolong saja.
9. Mereka marah ketika dibanding-bandingkan, dengan kakak atau adiknya. Atau juga temannya. Atau, kalau kita bandingkan dengan diri kita saat seusia mereka dulu.
10. Mengkritik teman-temannya. Anak akan menafsirkannya sebagai kritikan langsung terhadapnya.
Mari kita perpanjang urat sabar menghadapi anak remaja kita yaaaa.