Di masa depan, ada empat kemampuan penting anak yang sebaiknya dimiliki untuk menentukan kesuksesan mereka. Apa saja itu? Dan bagaimana STEAM Expo dapat mengakomodir kebutuhan anak untuk masa depannya?
Beberapa waktu lalu, saya sempat berdiskusi dengan suami, mengenai sekolah untuk anak kami Jordy. Diskusi semakin panjang, saat kami ngobrol tentang kesesuaian antara nilai-nilai yang kami anut dengan sekolah yang kami incar. Masih lama sih, memang Jordy memasuki usia SD, tapi yang namanya pendidikan, tentunya tidak bisa ditentukan secara mendadak, oleh karena itu, penting untuk mencari kandidat sekolah mana saja yang pantas kami perhitungkan dari sekarang.
Insight menarik soal memilih sekolah, saya dapatkan dari berkunjung ke STEAM Expo Sampoerna Academy, Sabtu 10 Maret lalu, di Jakarta tepatnya L’Avenue Campus. STEAM Expo sudah dilakukan sebanyak tiga kali di mana merupakan pameran sebagai wadah dari para murid masing-masing grade untuk dapat menunjukkan proyek STEAM yang mereka persiapkan secara individu maupun kelompok yang dikompetisikan untuk mendapat berbagai hadiah.
STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts dan Math) merupakan pendekatan yang digunakan Sampoerna Academy bersama dengan pendekatan PBL (project-based learning), dari metode ini, diharapkan para murid punya kemampuan penting yaitu Creativity, Collaboration, Communication, dan Creative Thinking. “Karena di STEAM Expo ini, mereka harus memikirkan penemuan apa yang bisa dibuat. Dan ini juga sifatnya dikompetisikan. Perlu membuat proyek dari apa yang sudah mereka pelajari. Kedua, bagaimana bisa berkolaborasi dengan teman,” jelas Frida Dwiyanti, Kepala Sekolah tingkat primary Sampoerna Academy. Ke-4 skill ini pula yang diharapkan bisa menjadi bekal anak bersaing di abad 21 kelak.
Dengan cara yang disebutkan Ibu Frida tadi, menurut saya, anak-anak memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan apa yang sudah mereka pelajari sehingga pelajaran yang diterima tentu akan lebih diserap dengan baik. Alih-alih harus menghafal sekian teori dari buku pelajaran, dan membosankan juga nggak sih, kalau sistem belajar hanya text book, mommies?
Contoh karya murid di tingkat SD, ada tim yang memaparkan konsep malam dan siang dengan cara yang menarik. Bagian malam diwakili dengan kotak berwarna hitam, pengunjung bisa masuk ke dalamnya, dan merasakan simulasi berada di malam hari. Dan sebaliknya, di kotak yang mewakili siang hari pengunjung akan merasakan suasana berbeda karena seluruh kotak dicat warna putih.
Di level yang lebih tinggi, yaitu secondary, hasil karya akan dilombakan. Proyek yang dikerjakan tak melulu harus berasal dari mata pelajaran dikelas. Bisa juga datang dari fenomena yang mereka lihat dan alami, tapi juga digabungkan dengan salah satu sub bidang pelajaran yang mereka terima di kelas. Satu proyek yang menyita perhatian saya, datang dari dua murid kelas 9 (SMP kelas 3) yang berjudul “Trend of Coffee Consumption in Sampoerna Academy.”
Ada pula “Game Project”, yang berawal dari hobi main game. Hasil kerjasama Areliano dan Rasyad yang duduk di tingkat 5, membuat konsep permainannya bertahan selama mungkin. Ada tiga level yang wajib dituntaskan. Pesan penting yang ingin mereka berdua sampaikan adalah, selalu ada cara dan strategi untuk bertahan. Cara menstimulasi orang untuk berpikir tidak hanya dengan satu cara, namun justru sebaiknya selalu berpikir dari sisi yang berbeda, untuk mendapatkan solusi.
Selain itu, ada pula proyek brilian lainnya dari berbagai tim anak-anak yang layak diacungi jempol. Baik dari segi ide konsep maupun praktiknya. Yaitu, Bluetooth Door Lock, Hot and Cold Water Dispenser, Wind Powered Bank, dan Cleaning Robot.
Saya mau tepuk tangan dulu boleh, ya? “Kok ya kepikiran, ya anak-anak ini melakukan sekian proyek yang sebetulnya konsepnya sederhana. Tapi pesan dan hasil di balik masing-masing proyek semuanya kuat dan bisa diaplikasikan.” Begitu kira-kira bunyi gumaman saya, saat mendatangi dan mengamati beberapa proyek di Sampoerna Academy ini.
Selidik punya selidik, masih hasil berdiskusi seru dengan Ibu Frida, apa yang dilakukan murid-murid, tak lepas dari perlakuan para guru di Sampoerna Academy yang selalu mengakomodir rasa ingin tahu para murid sejak ada di jenjang preschool dan elementary. Karena menurut Ibu Frida di masa itu, adalah masa-masa untuk mencari tahu jawaban-jawaban, eksplorasi. Sikap bertanya anak-anak ini harus diwadahi. “Nah di sekolah kami, pembicaraan selalu fokus pada STEAM ini,” tegas Ibu Frida.
Nah, pada saat pulang ke rumah. Sebetulnya orangtua bisa “melanjutkan” tugas guru di sekolah agar empat kemampuan penting Creativity, Collaboration, Communication, dan Creative Thinking, terasah. Dan nantinya mampu bersaing secara global.
Ibu Frida berpesan, “Orangtua harus siap kiranya anak pulang, membawa pertanyaan, kritis atau bahkan sesuatu yang belum pernah terpikir orangtuanya. Mendukung dengan tidak memberikan jawaban, tapi memberikan jalan. Artinya tidak mengarahkan dengan jawaban langsung. Orangtua memberikan kesempatan ke anak untuk semakin berkembang dengan pertanyaannya.”
STEAM Expo tempo hari, benar-benar membuka referensi saya mengenai iklim pendidikan yang ideal untuk Jordy kelak. Hmmm, suatu saat nanti mudah-mudahan Jordy bisa menjadi salah satu anak yang unjuk kebolehan di STEAM Expo Sampoerna Academy, minta doanya ya, mommies :)