Saat seorang anak lahir, dia tidak terbentuk dengan pemikiran untuk berbuat jahat. Lantas, kenapa semakin banyak tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur?
Pagi ini, ponsel saya mendadak ramai dengan bunyi tang ting tung di salah satu WAG. Ketika saya intip, ternyata isinya sedang membahas mengenai tindak pemerkosaan terhadap anak perempuan berusia 8 tahun, yang dilakukan oleh 6 siswa Sekolah Dasar yang semuanya masih berusia 11 tahun ke bawah.
Sedih sudah pasti kita rasakan sebagai orangtua. Saya sampai nggak mau membayangkan bagaimana rasanya menjadi orangtua dari anak perempuan itu, maupun menjadi orangtua dari keenam anak laki-laki tersebut.
Marah? Ada perasaan marah, sayangnya saya nggak tahu harus marah ke siapa.
Gusar dan khawatir? Ini dua perasaan yang paling mendominasi saat ini. Khawatir dengan fenomena yang akhir-akhir ini terjadi. Bahwa semakin sering kita temukan tindak perkosaan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur.
Kenapa, kok bisa, di usia mereka yang seharusnya dipenuhi dengan kegiatan bermain bersama serta belajar, ternyata terjadi hal-hal yang memilukan seperti ini?!
Menurut mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo Psi, pada dasarnya anak tidak terlahir dengan pemikiran dan niat nyang jahat. Anak tidak terlahir dengan guidance bagaimana mereka memperlakukan sesama mereka. Kalau pada akhirnya anak melakukan hal-hal yang mengerikan, semua kembali kepada lingkungan tempat mereka bertumbuh dan berinteraksi.
Maka, ketika kita melihat seorang anak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan atau norma-norma yang berlaku, maka yang wajib kita pertanyakan adalah: Seperti apa lingkungan tempat mereka hidup? Apa yang mereka lihat dari lingkungan mereka dan dari orang-orang di sekitar mereka? Karena apa yang mereka saksikan sehari-hari itu menjadi acuan mereka untuk berperilaku.
Dalam kasus tindak pemerkosaan ini, bisa jadi seorang anak kerap melihat konten-konten pornografi baik itu di youtube, social media, buku bacaan atau film atau melihat ketika ayah dan ibunya melakukan hubungan seks.
Frekuensi mereka menonton atau terpapar bisa dibilang cukup sering, dan tidak ada intervensi dari orang dewasa yang menjelaskan bahwa apa yang mereka lihat atau tonton itu adalah hal yang tidak boleh mereka lakukan, sehingga mereka akan berpikir bahwa kegiatan itu adalah hal yang bisa untuk dilakukan.
Tidak bisa disalahkan juga karena sebagai anak-anak mereka belum memahami batasan yang jelas mengenai mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Apalagi jika mereka terekspos pornografi terus menerus, maka secara perlahan mereka akan menjadikan itu sebagai nilai-nilai yang ‘normal’ dalam hidup mereka. Jadi ketika mereka berada dalam situasi yang memungkinkan untuk mempraktikkan apa yang sering merka lihat, mereka terdorong untuk melakukannya.
Di sisi lain, bisa juga para pelaku ini merupakan korban pelecehan seksual!
Maka, kembali lagi, dibutuhkan peranan dan kepedulian dari orangtua serta masyarakat sekitar untuk membentengi anak-anak dari serbuan pornografi. Cepatlah tanggap jika anak-anak mulai sembunyi-sembunyi menonton atau melihat sesuatu di ponsel, terlihat asik dan tertawa-tawa dengan teman-temannya ketika melihat sesuatu di layar ponsel, namun begitu kita ingin ikut melihat mereka berusaha untuk menutupinya dan ketika kita tanpa sengaja mungkin memergoki anak melakukan kegiatan masturbasi.
Perhatikan juga dengan siapa anak-anak kita bergaul. Karena, selain serbuan konten pornografi melalui gadget, bisa juga pengaruh dari teman-teman bergaul membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak benar.
Kita harus ingat bahwa sebelum memasuki usia 20 tahun, anak-anak cenderung menggunakan emosi di dalam memutuskan sesuatu. Misalnya, mereka memahami bahwa melakukan tindakan A itu dilarang, namun begitu mereka dipaksa oleh teman-temannya, maka bukan akal sehat yang jalan namun lebih mengedepankan emosi.
Sekarang, dengan semakin banyakynya predator-predator yang ‘memangsa’ anak-anak, kita tidak bisa acuh terhadap anak-anak yang ada di lingkungan kita. Karena seperti kita selalu diingatkan, it takes a village to raise a child, maka kita semua memiliki peranan yang sama besar untuk mendidik dan melindungi anak-anak kita.
Karena ketika kita memilih untuk tidak peduli, berarti kita harus siap menerima risiko jika suatu saat anak kita yang akan menjadi korban atau mungkin sebagai pelaku.