Monica Christasia Maharani, mengaku lebih bahagia ketika menjadi mompreneur. Menjalankan bisnis di dunia beauty, dengan kakaknya beauty blogger, Lizzie Parra. Apa penyebabya? Dan bagaimana brand BLP Beauty bertahan di tengah persaingan lipstick lokal yang kiat menggeliat?
Monica Christasia Maharani (28), atau akrab disapa Ita, pernah mencicipi berbagai peran ibu. Mulai dari ibu rumah tangga, menjalani bisnis makanan kecil-kecilan, dan dua tahun terakhir hatinya terpaut menjadi mompreneur. Membesarkan BLP Beauty, sebagai Business Director, bersama saudara kandungnya Lizzie Parra. Katanya ada kepuasaan tersendiri, ketika ia melihat brand lipstick lokalnya berkembang, layaknya melihat perkembangan putranya Argya (4).
Dari suaminya Wendy Iswarajti (33), Ita merasakan mendapatkan dukungan penuh menjalankan peran sebagai ibu, istri sekaligus mompreneur. Sekaligus, merasakan kebahagiaan seutuhya sebagai perempuan. Mau tahu nggak apa saja yang membuat Ita merasa lebih bahagia, padahal di sisi lain, dia kan jauh lebih sibuk. Belum lagi waktunya tersita untuk pekerjaan di kantor.
Yuk, langsung simak obrolan Mommies Daily dengan perempuan jebolan Universitas Prasetiya Mulya, Jurusan Marketing dan penyuka warna coklat ini.
BLP launching di Juni 2016, dan saya masuk di Agustus 2016. Awalnya kami tidak menyangka BLP akan sebesar ini. Hari pertama launching, Lizzie Para kakak saya, juga nggak menyangka kalau demand-nya setinggi itu. Bahkan stock untuk satu tahun, itu habisnya hanya dalam jangka waktu satu bulan. Di BLP saya pegang bisnis development-nya. Sementara Lizzie Parra pegang, produk development dan marketingnya.
Tantangannya, sepertinya semua start up pernah merasakannya, kalau kami itu masih tim yang kecil. A-Z kami masih mengerjakannya sendiri , contohnya pas harbolnas, saya masih turun tangan melipat-lipat kardus. Tapi enaknya karena ini perusahaan sendiri, waktunya lebih fleksibel. Bisa antar anak dulu ke sekolah, atau kalau anak lagi sakit, saya bisa mobile working. Hanya saja di sisi lain, kami dituntut untuk hadir 24 jam. Nggak kenal waktu dan hari, misalnya ada keputusan yang harus segera diambil, mau tidak mau kita harus turun tangan.
Sebisa mungkin pada saat di kantor kita fokus dengan pekerjaan. Begitu kita di rumah, saya akan fokus dengan anak. Makanya tim saya sudah sangat mengerti, kalau saya pasti akan slow respond. Karena pasti saya akan fokus pada Argya. Selain itu juga memanfaatkan, libur pengganti saat kami harus lembur. Di hari itu, saya akan di rumah saja.
Jangan mencari kesempurnaan, tapi lebih fokus pada apa yang essential. Misalnya, waktu dulu saya masih di rumah saja, saya bisa masakin masakan anak saya sendiri, dengan aneka macam masakan, termasuk camilannya saya buat sendiri. Sekarang harus lebih low expectation, ya sudah camilannya beli jadi nggak apa-apa. Atau makanannya, yang tadinya, kreasinya bisa sampai tiga macam, sekarang sebisanya si mbak di rumah saja. Lalu dulu tuh, suami saya hanya mau makan masakan saya, sekarang kalau sudah capek, sampai rumah delivery makanan saja, nggak masalah.
Hal lainnya urusan ART, sesederhana selama dia menjalankan tugasnya seperti saya minta, itu sudah cukup banget buat saya. Bagian mendidik, dan membuat DIY untuk stimulasi perkembangannya itu tetap tugas saya sebagai ibunya. Di pekerjaan kantor juga seperti itu, kalau lagi nggak bisa terlalu fokus karena ada masalah tertentu. Kita tidak bisa menyalahkan diri sendiri. Ya sudah jalankan saya apa yang ada di depan mata, lakukan yang terbaik. Nanti pada akhirnya ada hal-hal nggak sempurna, kita harus belajar let it go.
Kebanyakan sukanya ya. Dukanya apa, ya. Mungkin bukan duka kali ya, tapi lebih kepada tantangan. BLP itu kan salah satu brand local yang pertama kali muncul. Tantangannya adalah, bagaimana kami bisa keep up dengan persaingan yang semakin ketat. Makin banyak pemain-pemain baru. Bagaimana kami bisa tetap memenangkan hati konsumen, bukan hanya dari sisi produk yang bagus. Tapi juga karena value yang kami bawa dari brand ini, apa yang bisa kami jual, selain produk yang bagus. Sukanya sudah pasti melihat perusahaan kami tumbuh berkembang. Hampir sama deh, seperti cerita Female Daily Network. Kantor kami dulu hanya muat sekitar 4 orang, sekarang berkembang dengan 12 tim. Yang dulunya dilakukan serba manual, pelan-pelan kami sudah punya sistem. Melihat brand ini tumbuh, hampir sama seperti melihat anak sendiri kita tumbuh.
Tetap harus professional. Saat dia salah, yang kita stop di situ. Dan pada saat dia melakukan pekerjaan dengan baik, kita kasih apresiasi. Selain itu, saya merasakan lebih banyak keuntungannya bekerja dengan saudara. Karena kami sudah tahu karakter masing-masing. Misalnya, salah satu dari kami sedang moody, atau lagi ada masalah. Ya sudah, kami bisa meng-cover pekerjaan masing-masing. Oh iya, bisnis ini investornya masih keluarga kami sendiri. Jadi kami bisa saling mengingatkan, mengerti satu sama lain. Nggak enaknya, cuma satu. Pada saat kumpul keluarga, urusan pekerjaan tidak mungkin luput dari obrolan keluarga.
Lakukan apa yang benar-benar disuka. Tapi ada dua hal yang kadang orang suka bingung, yaitu melakukan apa yang disukai dan melakukan apa yang dia bisa. Pada saat kita suka, itu sebetulnya nggak cukup. Tapi pada saat melakukan apa yang kita bisa, itu tuh ada kepuasaan yang saya dapatkan, karena ini bidang yang saya kuasai. Dan saya bisa menghasilkan sesuatu dari sini.
Contohnya, saya suka masak. Dan pernah bisnis makanan, tapi ternyata kepuasan yang saya dapatkan, nggak sebesar dengan apa yang saya lakukan sekarang. Saya nggak terlalu suka makeup, tapi saya saya suka banget bisnis development, suka banget melihat sebuah bisnis berkembang. Saya suka banget jualan, jualan, itu kepuasan tersendiri untuk saya. Nah, kalau masak, itu hobi saya. Harus bisa membedakan,dan hati-hati. Harus dibedakan, mana yang kita suka, mana yang kita bisa. Dan bedakan antara hobi dengan bisnis, karena menurut saya itu adalah dua hal yang berbeda.
Dan untuk ibu-ibu, cari bisnis atau kegiatan yang tetap bisa mengerti posisi kita sebagai seorang ibu. Contohnya di BLP, cuti bersalin kami tambah 3 bulan, bisa kerja dari mana saja. Saya sangat mendukung para perempuan, untuk membuka bisnis dan membuka lapangan pekerjaan untuk perempuan, yang bisa mommies dan baby friendly. Karena kalau bukan kita sesame perempuan, yang bisa mengerti, siapa lagi? Karena dari ibu yang bahagia dan hatinya tenang, menghasilkan hasil kerja yang maksimal, dan lebih berdaya.
5 tahun ke depan, kami mau tidak hanya di Indonesia, kami mau masuk ke pasar luar negeri dan di Indonesia pun kami sudah lebih mudah ditemukan. Baik offline maupun online. Dan harapannya 5 tahun ke depan, kami sudah punya gedung sendiri. Jadi kami bisa lebih banyak, merekrut tim perempuan. Ingin menciptakan lapangan pekerjaan yang nyaman buat perempuan, terutama ibu-ibu. Cita-citanya ingin menjadi brand lokal yang tidak dipandang aji mumpung. Maunya jadi brand yang sustainable. Semacam Bobbi Brown. Menjadi brand yang bisa dijangkau semua anak muda, perempuan Indonesia. Brand yang besar, tapi tetap punya idealismenya. Idealisme kami, mendorong perempuan untuk percaya diri. Self empowering, bahwa apapun warna kulit kamu, bentuk muka, jenis muka, tetap cantik. Tidak perlu makeup yang terlalu gimana banget. Makeup itu sebagai media untuk lebih percaya diri.
Kalau aplikasi, paling aku pakai plan and note. Karena untuk saya segala sesuatunya, tetap harus direncanakan, sesederhana belanja mingguan. Dan nggak terlalu banyak menggunakan aplikasi. Saya lebih suka tulis tangan saja, lebih mantap saja. Untuk urusan keuangan, saya masih menggunakan sistem amplop. Walaupun, punya dokumen excel dengan format khusus untuk mengatur cash flow keluarga.
Kadang kalau pekerjaan lagi banyak, kepingin balik lagi jadi ibu rumah tangga, karena ranah kerjaannya domestik, nggak ngomongin terlalu banyak angka yang ruwet. Tapi mungkin hikmahnya, menghargai apa yang kita punya sekarang. Karena saya pernah merasakan semua peran itu. Ibu rumah tangga, dan dulu juga pernah bisnis kecil-kecilan. Dan memang, semuanya punya plus minus sendiri.
Dari semua yang pernah saya rasakan. Saya paling bahagia sekarang, pada saat menjadi working mom. Karena saya merasa punya kendali terhadap takdir saya sendiri. Yang kedua, saya bisa kasih lihat ke anak saya, kalau kita mau sesuatu, ya kita harus bekerja. Apapun yang kamu bisa. Berikutnya, saya bisa berbagi ilmu yang saya punya. Dan membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain, rasanya seperti sense of achievement yang terus terang, pada saat saya bekerja.
Kalau dulu anak masih bayi, saya masih khawatir, dengan millestone-nya. Sekarang saya lebih santai, terlebih Argya sudah 4 tahun, saya lebih bisa menerima kelebihan dan kekurangan anak, karena saya pun juga punya keduanya. Selanjutnya, banyak belajar dari para pakar. Pergi ke seminar-seminar parenting, selain itu juga baca buku, termasuk buku yang pernah di keluarkan MD. Baca blog orang-orang juga. Dan konsultasi ke psikolog tumbuh kembang anak. Waktu itu saya sempat bertanya-tanya tentang kemampuan bicara Argya, tapi ternyata nggak ada apa-apa. Tapi dari situ, jadi ketahuan di titik mana saja, kelebihan dan kekurangan. Saya pribadi lebih baik tahu di awal, dan nggak harus nunggu ada masalah baru pergi ke psikolog anak, ya.
Dukungan dari suami itu penting banget ya. Kalau yang suami saya berikan, dia memberikan saya waktu dan ruang untuk bekerja, untuk mengembangkan diri, itu sudah luar biasa banget. Dia membebaskan saya melakukan itu semua, selama anak dan suami masih terurus. Yang berikutnya, memahami saat saya tidak bisa menjadi istri dan ibu yang sempurna, itu luar biasa banget. Contohnya, sekarang frekuensi saya masak sudah berkurang, kalau dulu bisa full seminggu, sekarang jadi seminggu 3 kali, dia tidak pernah ngeluh.
Selain itu, saat pekerjaan saya lagi sangat padat. Misalnya waktu bulan November 2017 lalu, saya ada event di luar kota dan luar negeri berturut-turut, dia mengambil alih peran saya sebagai ibu, karena dia tahu, saya nggak tenang kalau anak saya terus-terusan dengan pengasuhnya. Dia akan ambil cuti, atau akhir pekan Argya seharian penuh dengan bapaknya. Atau kalau saya lagi harus pulang larut, suami saya bisa pulang lebih dulu ke rumah. Untuk sehari-hari, tugas bersih-bersih Argya sebelum tidur, adalah tugas suami, supaya ibunya bisa mandi lebih lama, hitung-hitung me time, ya, hahahaha. Hal-hal sesederhana seperti itu, yang lebih sangat terasa manfaatnya, dibandingkan ngasih bunga atau buat puisi.
Pada saat merasa, “Gue tuh sudah kenal banget sama pasangan gue.” Ternyata nggak juga lho. Dengan sejalan waktu, ternyata makin banyak sifat atau fakta baru yang ditemukan tentang suami. Banyak hal yang selalu harus kita pelajari, selalu digali dari pasangan. Semakin lama kita hidup bareng, kita berubah, begitu juga dengan pasangan. Jadi menurut saya, jangan pernah bosan untuk mengenal pasangan.
Berikutnya tidak ada konflik, bukan berarti pernikakan kita sehat. Tapi juga bukan berarti, pasangan yang setiap minggu debat, lebih nggak sehat dibandingan dengan yang adem ayem. Jadi justru, setelah terjadi konflik, merasa makin dekat. Karena kita merasa sudah melalui ujian A. Dan saya merasa tahu dia lebih dalam. Perlahan kita makin bisa toleransi dengan perubahan-perubahan atau kekurangan dari pasangan.
Orangtua yang bisa jadi tempat diskusi. Yang bisa sebagai teman, dia bisa cerita segala hal, karena kalau saya lihat Argya tipenya seperti bapaknya, introvert. Dia butuh waktu untuk sosialisasi dengan teman dan lingkungan baru, lebih senang main sendiri.
Waaah, selalu senang dan ikut termotivasi deh mendengar cerita-cerita sukses usaha yang dibangun oeh perempuan-perempuan muda, salut! Semoga, makin banyak kantor yang mommies dan kids friendly seperti BLP Beauty, ya. Jadi makin juga, perempuan yang tetap menjalan perannya sebaga ibu dengan baik, tapi juga kalau Mbak Ita, tetap bisa berdaya dan berkarya dengan maksimal :)