Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kata Siapa Anak Tunggal Tidak Mandiri dan Egois?
Hampir 5 tahun menantikan hadirnya anak ke-2, sepertinya saya dan suami harus mulai belajar ikhlas. Ya, siapa tahu rezeki kami memang hanya memiliki satu anak. Untuk itulah kami akan belajar bagaimana membesarkannya dengan cara yang benar dan mematahkan stereotype negatif anak tunggal yang terlanjur melekat.
Belum lama ini saya mendapat pertanyaan klasik yang sering ditanyakan saat kumpul keluarga.
"Bumi sekarang kelas berapa? Sudah besar banget, ya. Nggak mau punya adik lagi? Si A saja sekarang sudah punya adik. Bumi kok, belum?"
Reaksi saya? Duh, kalau nggak ingat tata krama, nggak ingat yang bertanya itu orang tua, rasanya saya mau jawab, "Umh, kalau anak bisa dibeli di toko, sih, sudah lama Bumi bisa punya adik. Sayangnya proses punya anak nggak segampang itu".
Hahahaha... tapi tenang, jawaban itu memang cuma di batin aja, yang keluar dari mulut cuma, "Iya, nih, mungkin masih belum rezeki. Mungkin Allah masih memercayakan satu anak saja. Padahal produksi, sih, jalan terus, lho...." *jawab sambil kasih senyum terbaik*
Kalau kemarin Thatha baru saja menuliskan keputusannya untuk memiliki anak satu. Sepertinya saya perlu belajar untuk memikirkan hal serupa. Sejak awal menikah, saya dan suami sebenarnya memutuskan untuk memiliki dua anak. Rencana ini jelas saja perlu disiapkan dengan matang. Urusan tambah anak nggak bisa pake semboyan “just do it” karena banyak banget faktor yang perlu disiapkan.
Makanya, beberapa bulan setelah melahirkan, saya dan suami pun sepakat menunda punya anak lebih dulu. Saya pun memutuskan pakai IUD. Baru setelah usia Bumi 3 tahun, program punya anak ke-2 kembali kami jalankan.
Sayangnya, sampai usia Bumi nyaris 8 tahun, saya belum hamil (lagi). Nggak usah ditanya, deh, bagaimana rindunya saya dan suami untuk memiliki anak ke-2, pun dengan anak kami, Bumi yang sudah getol pengen punya adik. Ada masanya dia selalu tanya, “Di perut ibu belum ada adiknya, ya. Coba cek ke dokter, bu. Perut ibu kan sudah gendut?” *ujung-ujungnya malah nyela ibunya*
Sampai pada akhirnya, saya dan suami pun sudah mulai berpikir, mungkin rezeki kami memang hanya satu anak. Bukan bermaksud untuk menyerah, dan putus asa, tapi kami juga harus belajar ikhlas. Menyiapkan mental supaya nggak selalu kecewa setiap kali si tamu bulanan hadir. Perlu belajar menerima kalau memang anak saya, Bumi akan menjadi anak tunggal.
Oleh karena itulah, saya pun mulau mencari tahu bagaimana cara membesarkan anak tunggal sehingga pertumbuhannya menjadi lebih maksimal. Tidak seperti stereotype yang melekat di lingkungan masyarakat yang menilai kalau anak tunggal itu cenderung manja, egosentris, dan antisosial.
Soalnya memang nggak seperti itu, kok. Mau punya anak satu, dua, tiga, lima, ataupun sebelas, kondisi anak manjadi mana, egosentris, atau antisosial tetep bisa terjadi. Semua tergantung bagaimana pola asuh orangtuanya. Artinya, kuncinya, ya, ada di tangan kita sendiri. Kelak, mau membentuk anak seperti apa?
Saya ingat sekali dengan apa yang dikatakan Mbak Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si bahwa semua akan berpulang bagaimana cara orangtua mengasuh. “Ya, kalau memang sedari awal sudah nggak tepat, mau anak satu atau selusin tetap saja bisa bikin anak manja dan tumbuh jadi anak yang nggak tangguh. Anak-anak sedari awal memang perlu bagaimana diajarkan cara berjuang, bagaimana anak bisa berbagi, tahu rasanya untuk menjadi kalah. Kalau memang nggak bisa berbagai dengan saudara kandung, hal itu kan tetap bisa dilakukan dengan siapapun. Misalnya, dengan temannya, pengasuhnya dan tentu saja dengan orangtua. Yang penting keterampilan sosial itu memang perlu dibangun sejak kecil,” papar Mbak psikolog anak dan keluarga yang lebih sering saya saya dengan panggilan Mbak Nina Teguh ini.
Lewat obrolan dengan Mbak Nina, setidaknya saya mencatat ada beberapa point penting bagi orangtua yang memutuskan untuk memiliki anak tunggal.
Terapkan Positive Perenting dengan cara yang benar
Mbak Nina melihat, tidak jarang orangtua yang memiliki persepsi yang keliru mengenai positive parenting. Positive parenting dianggapnya melakukan hal-hal yang sifatnya positive terus. Hanya saja tidak sedikit yang akhirnya salah tanggap mengartikannya, ‘Ooohh… jadi semua harus positive, jadi orangtua itu nggak boleh marah-marah sama anaknya, nggak boleh menghukum anak, tidak boleh membatasi anak, padahal hal ini justru keliru,” ujarnya. Memarahi anak, mengkukum anak tentu saja boleh kalau memang anak sudah melanggar batasan atau kesepakatan bersama. Anak juga perlu belajar mendapat konsekwensi jika melakukan kesalahan.
Peran besar orangtua justru sebenarnya adalah dengan memberikan batasan yang tepat. Bagaimana orangtua bisa mengatur perilaku anak agar tidak mengalami problem di kemudian hari, baik problem perilaku ataupun emosional anak. Bukan selalu memberikan toleransi dan melakukan pembenaran dengan mengatakan, "Ya.... namanya juga anak-anak, maklumi saja, dong".
Anak bukan raja dan ratu
Masih berkaitan dengan point di atas, mendidik anak apalagi anak tunggal bukan berarti bikin kita selalu menuruti keinginannya. Apa yang diinginkan anak dianggap sebagai titah. Jika terus dibiarkan kondisi seperti ini tentu bisa beraktibat fatal ketika anak sudah besar. Anak perlu tahu rasa kecewa, anak perlu belajar ridak semua keinginannya bisa dipenuhi. Kalau anak terbiasa menjadi raja dan ratu, sampai besar tentu saja tidak bisa mengendalikan emosinya. Ujung-ujungnya akan mengalami tantrum berkepanjangan. Mereka nggak paham bagaimana mengendalikannya.
Menurut Mbak Nina, idealnya batas tantrum pada anak hanya sampai anak berusia 4 tahun. Kalau anak berusia di atas 4 tahun masih tidak bisa mengendalinya tantrumnya. Sebenarnya itu bisa dijadikan indikator bahwa ada yang salah dengan pola asuh yang diterapkan.
Hindari bersikap terlalu protektif.
Iya, punya anak satu, rasanya pasti ingin dikekepin terus, ya? Apalagi kalau ingat dunia luar itu sangat kejam dan makin amburadul. Maunya anak lebih sering mengabiskan waktu di rumah saja. Tapi apa bisa? Jelas nggak. Rasa khawatir karena ia satu-satunya buah hati bukan berarti bikin kita membelenggu anak, membatasi dunianya. Kondisi ini justru tidak ‘menyelamatkan’ malag membuatnya tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan kurang percaya diri. Jadi, berikan saja kebebasan mengeksplorasi. Tapi tetap ada batasan.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS